Dahlan Iskan, Diskresi, dan Jebakan Hukum

Dahlan Iskan, Diskresi, dan Jebakan Hukum

PENETAPAN Dahlan Iskan (DI) sebagai tersangka dugaan korupsi kasus pembangunan gardu listrik mengejutkan banyak pihak. Sosok DI yang berasal dari perusahaan swasta (private sector) telah memberikan warna tersendiri dalam mengelola BUMN dan birokrasi (public sector). Misalnya, ketika DI memimpin rapat direksi PLN di halaman kantor setelah olahraga. Juga, ketika DI membuka pintu tol untuk mengurai kemacetan. Ironisnya, upaya DI, baik ketika menjadi Dirut PLN maupun menteri BUMN, dalam melakukan gebrakan untuk mengubah budaya kerja birokrasi yang prosedural dan formalistis –yang lebih mementingkan kemasan dan proses– menjadi birokrasi yang lebih mengutamakan substansi serta hasil agar responsif terhadap kebutuhan publik ternyata justru mengorbankan dirinya sendiri. DISKRESI PEJABAT PUBLIK Seorang pejabat publik diangkat untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat melalui organisasi publik yang dikelolanya. Diskresi bisa dilakukan pejabat publik untuk merespons kondisi yang dihadapi dalam rangka kepentingan yang luas. Misalnya, kepentingan publik. Davis menyatakan, pejabat publik memiliki diskresi di mana pun karena keterbatasan kekuasaan yang dimilikinya sehingga memungkinkan membuat keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (dalam Hill, 2013: 237). Kemudian, untuk konteks Indonesia, UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengartikan diskresi sebagai ‘’keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan’’. Diskresi, karena sifatnya yang dilakukan dalam kondisi mendesak dan keterbatasan kekuasaan, berpotensi menerabas prosedur formal. Dalam kondisi normal, prosedur formal memang harus diikuti. Tetapi, dalam kondisi yang tidak normal untuk mengatasi persoalan yang konkret, prosedur formal sementara bisa dikesampingkan dengan alasan yang rasional. Karena itu, ketika masyarakat mengeluhkan kondisi listrik selama bertahun-tahun, yaitu minimnya pasokan listrik, sudah sewajarnya pejabat publik yang terkait dengan penyediaan energi listrik merespons keluhan tersebut. DI berargumen, dirinya ‘’tidak tahan dengan keluhan masyarakat atas kondisi listrik ketika itu’’ (http://www.tempo.co/read/fokus/2015/06/06/3187/dahlan-iskan-tersangka-proyek-gardu). Dalam konteks kebijakan publik, tindakan tersebut merupakan hal yang wajar sepanjang tidak mengambil keuntungan pribadi dari proyek tersebut. JEBAKAN HUKUM Selanjutnya, bagaimana hukum kita melihat tindakan tersebut? Penetapan DI sebagai tersangka menunjukkan bahwa aparat hukum kita masih mengutamakan prosedur dan formalitas yang harus diikuti dalam pengelolaan pemerintahan, bahkan dalam kondisi mendesak sekalipun. Hal itu membuat unit-unit pemerintah tidak bisa leluasa mengambil tindakan cepat untuk merespons kebutuhan publik yang mendesak karena terbelenggu prosedur formal yang harus selalu diikuti. Isu korupsi merupakan isu yang sensitif dan menakutkan bagi pejabat publik. UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 mengartikan korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Cakupan pengertian itu hanya menjangkau tindakan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, tidak menjangkau sektor swasta. Pengertian tersebut bisa menimbulkan multafsir terhadap tindakan diskresi yang dilakukan pejabat publik. Sebab, walaupun tidak mengambil keuntungan pribadi, bila suatu keputusan atau tindakan menguntungkan orang lain dan merugikan keuangan negara, seorang pejabat bisa dituduh melakukan korupsi. Bahkan, memotong prosedur untuk kepentingan publik bisa dianggap suatu pelanggaran. Hal itu menjadi jebakan bagi pejabat publik yang melakukan diskresi ketika menghadapi masalah yang harus direspons secara cepat. Akibatnya, timbul ketakutan untuk mengambil keputusan atas persoalan yang mendesak dan harus segera diselesaikan. Sebab, di kemudian hari mereka bisa dipermasalahkan dan dituduh melakukan korupsi. Sebagai perbandingan, Selandia Baru, negara yang terkenal paling bersih dari korupsi, justru tidak memiliki definisi korupsi secara khusus. Serious Fraud Office (SFO), lembaga pemberantasan korupsi di negara tersebut, menggunakan definisi korupsi dari Asian Development Bank (ADB). Yaitu, tindakan pejabat publik atau swasta yang secara tidak benar dan tidak sah memperkaya diri atau orang dekatnya atau membujuk orang lain untuk melakukannya dengan menyalahgunakan posisi jabatannya (https://www.sfo.govt.nz/what-is-corruption). Di negara tersebut, bukan hanya sektor publik, sektor swasta pun bisa dijangkau lembaga antikorupsi jika ada unsur penyalahgunaan posisi jabatan. Perumusan ulang arti korupsi, tampaknya, perlu dilakukan terhadap UU tersebut. Jika orang lain itu adalah masyarakat luas yang diuntungkan dari suatu kebijakan publik, apakah juga disebut korupsi? Ketika suatu keputusan atau tindakan dilakukan untuk kepentingan publik yang luas, tidak ada penyalahgunaan jabatan, dan tidak ada keuntungan pribadi yang secara sengaja diambil pejabat publik, tidak seharusnya perbuatan tersebut dianggap korupsi. PERUBAHAN MIND-SET Perlu ada perubahan mind-set, khususnya di kalangan auditor dan aparat penegak hukum, tentang diskresi. Sepanjang tidak ada keuntungan pribadi yang secara sengaja diambil pembuat kebijakan, tidak seharusnya disebut korupsi. Selain itu, yang perlu dinilai adalah manfaat yang bisa diperoleh negara atau masyarakat dari diskresi oleh pejabat publik sehingga keputusan tersebut bisa memberikan nilai. Sebagaimana dikatakan Moore (1995: 40), jika kebijakan yang dibuat pemerintah memberikan manfaat bagi masyarakat, terciptalah public value (nilai publik). Jika menilai kebijakan hanya dari aspek kerugian keuangan negara, barangkali bisa dicari kerugian negara yang timbul dari semua kebijakan. Kembali ke kasus DI, tindakan yang dilakukan bisa diterima sebagai diskresi jika dia bisa membuktikan tiga hal. Pertama, proyek tersebut benar untuk kepentingan publik dan memberikan manfaat yang besar kepada publik atau negara. Kedua, ada urgensi proyek tersebut sehingga prosedur yang seharusnya dilalui cukup beralasan untuk dikesampingkan. Ketiga, tidak ada moral hazard dengan cara mengambil keuntungan pribadi dari proyek itu. (*) *) Penulis adalah Peneliti bidang administrasi publik di Lembaga Administrasi Negara; saat ini menjalani pendidikan Master of Public Administration (Policy) di Flinders University, South Australia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: