Tak Perlu Usir BTNGC

Tak Perlu Usir BTNGC

Ada Zona Tradisional untuk Rakyat KUNINGAN – Polemik TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai) terus menuai kontroversi. Kali ini datang dari akademisi Uniku, Bambang Yudayana SHut MSi. Dia mengeluarkan tinjauan dari sisi regulasi yang selama ini jadi acuan konservasi. Lantaran masalah itu dianggap sederhana, Bambang meminta agar para pemangku kepentingan segera menghadap Menteri Kehutanan RI. Menurut dia, perubahan status TN (Taman Nasional) menjadi Tahura (Taman Hutan Raya) tidak dianggap urgen. Justru sebaliknya, perubahan status tersebut malah membuat kewenangan pengelolaan hutan Ciremai beralih ke Pemprov Jabar. Itu karena melibatkan beberapa kabupaten. “Saya kira penyelesaiannya itu kita duduk bersama. Baik itu kepala daerah, ketua DPRD, LSM, tokoh masyarakat dan akademisi kehutanan. Kita samakan persepsi dan rumuskan apa yang menjadi harapan masyarakat, kemudian bersama-sama untuk menghadap langsung ke menteri (Menhut, red),” ujarnya kepada Radar, kemarin (9/6). Beberapa hal yang perlu diseragamkan persepsinya, kata Bambang, yaitu menyangkut zonasi. Ketentuan zonasi tersebut mengacu pada pasal 1 pada Permenhut No P.59/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi TN. Di situ disebutkan, TN adalah kawasan yang dicadangkan sebagai hutan konservasi. Tujuannya untuk melestarikan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. “Selain fungsi konservasi, TN juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, menunjang kegiatan budidaya, rekreasi dan pariwisata,” sebutnya. Dia melanjutkan, zonasi TN merupakan suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona. Proses tersebut mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan data dan analisis data, penyusunan draf rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tapal batas dan penetapan dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. “Sejauh ini kita belum mendengar adanya penentuan zonasi. Kalau ada, perlihatkan buktinya. Karena zonasi tersebut harus melibatkan semua pihak. Kami dari akademisi kehutanan, tidak merasa dilibatkan,” sergahnya. Zona dalam kawasan TN, menurut Bambang, bukan hanya meliputi zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan saja. Tapi juga terdapat zona lain yang mencakup zona tradisional, zona rehabilitasi serta zona religi, budaya dan sejarah. Pembagian zonasi tersebut, kata dia, mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh Menhut sendiri. “Nah, zonasi tradisional ini merupakan bagian dari TN yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahannya mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam,” terang dia. Zona tradisional tersebut, sambung Bambang, untuk pemanfaatan potensi tertentu TN oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional, meliputi perlindungan dan pengamanan. “Kemudian, pemanfaatan potensi dan kondisi sumber daya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku,” tandasnya. Jadi menurut dia, yang perlu dilakukan segera sekarang ini adalah menentukan zonasi-zonasi. Celah masyarakat bisa mengakses TN itu berada pada zonasi lain-lain yang di dalamnya terdapat zona tradisional. Sehingga dalam penyelesaiannya tidak perlu mengusir BTNGC selaku pengelola TNGC. “Tinggal kita duduk bersama baik itu bupati, ketua dewan, LSM, tokoh masyarakat, akademisi kehutanan dan lainnya. Kita sepakati apa yang mesti diperjuangkan, kemudian datangi langsung Menhut untuk menyuarakan hal itu,” pungkasnya. (ded)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: