Presiden Jokowi Bersikap, Tidak akan Revisi UU KPK

Presiden Jokowi Bersikap, Tidak akan Revisi UU KPK

Singgung Kasus Dahlan, Minta Research Tidak Mudah Dipidanakan JAKARTA- Presiden Joko Widodo akhirnya menunjukan komitmen untuk melindungi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Setelah mendapat sorotan tajam media, Jokowi memutuskan menghentikan revisi UU No 30 /2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Atas keputusan tersebut, KPK menyambut positif dan menyebut selama ini pembantu presiden yang tak bisa menterjemahkan komitmen Jokowi. Penolakan presiden terhadap revisi UU KPK itu diungkapkan Pimpinan KPK Taufiequrahman Ruki setelah mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden kemarin. “Iya, presiden menolak rencana dan usulan revisi UU KPK,” tegas Ruki setelah rapat terbatas. Agenda rapat yang juga diikuti KPK saat itu adalah berkaitan dengan strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi. De­ngan penolakan yang telah disam­paikan presiden tersebut, lanjut Ruki, DPR otomatis tidak bisa me­maksakan untuk terus melan­jutkan agenda revisi UU KPK. Pasalnya, selain DPR, pemerintah juga merupakan pihak lain dalam proses pembuatan UU. “Terus terang buat saya, buat kami di KPK, hal itu sangat melegakan. Dengan demikian, kita akan terbebas dari polemik dan saling mencurigai,” bebernya. Menurut dia, agenda revisi yang diketahuinya sebenarnya baru akan dilakukan pada 2016 nanti. Bukan, mulai digulirkan pada tahun ini seperti sekarang. “Nggak tahu kenapa ada percepatan,” sindir Ruki. Dia menegaskan, secara prinsip insitusi yang dipimpinnya sebenarnya tidak anti terhadap upaya revisi UU KPK. Namun, lanjut dia, kesemuanya harus dilandasi niatan untuk makin mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi. SINGGUNG KASUS DAHLAN Pemidanaan terhadap sejumlah kebijakan Dahlan Iskan selama menjabat sebagai Dirut PLN dan Menteri BUMN mendapat tentangan dari istana. Presiden Joko Widodo berharap para penegak hukum tidak menghukum orang yang tak perlu dihukum, apalagi kalau konteksnya kebijakan. Sikap presiden itu disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan. Dia menyebut presiden menginginkan adanya harmonisasi undang-undang serta para lembaga penegak hukum di Indonesia. “Presiden ingin aturan yang ada diharmonisasikan. Jangan sampai terjadi tumpang tindih dan malah bisa menghambat investasi,” kata Luhut. Presiden tak ingin peraturan yang tumpang tindih dan belum adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum malah menimbulkan ketakutan dan jadi celah untuk menghukum orang yang tidak perlu dihukum. “Misalnya menghukum pejabat yang membuat menjalankan,” ujarnya. “Kejaksaan Agung, Polri maupun KPK harus punya kesamaan pandangan terkait hal tersebut,” ujarnya. Dia menjadikan contoh pemidanaan Dahlan Iskan oleh Kejaksaan yang malah menimbulkan ketakutan para pejabat. “Sekarang ini pejabat pada takut, karena (kasus) Pak Dahlan,” singgung Luhut. Selain soal kebijakan, upaya research yang dilakukan institusi pemerintah juga tidak bisa serta merta dianggap merugikan keuangan negara, ketika terjadi masalah dalam pelaksanaannya. Pernyataan itu tentu merujuk pengusutan Kejaksaan Agung terhadap kasus pengadaan mobil listrik oleh tiga perusahaan BUMN. Pengadaan itu sendiri sebenarnya bagian dari penelitian untuk pengembangan mobil listrik di Indonesia. Menurut Luhut, upaya-upaya research baru bisa dianggap merugikan negara ketika ada bukti kalau uang negara masuk ke kantong pribadi.”Jadi, kearifan begini harus clear. Supaya keputusan kedepan jangan jadi ragu-ragu,” tegasnya. Presiden ingin pemerintah melakukan percepatan pemba­ngunan di banyak bidang. Oleh karena itu upaya itu tidak terha­lang persoalan-persoalan tudi­ngan merugikan keuangan nega­ra. “Kami mau speed up semua nih, harus dikencengin. Nah, dikencengin ini pasti ada lah yang menyerempet-menye­rempet sedikit, yang bisa terus diman­faatkan, eh kamu korupsi, ya jangan begitu juga,” ingatnya. Terpisah, pengacara Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra kemarin (19/6) menyampaikan tak benar kalau kliennya banyak menjawab lupa saat diperiksa kasus mobil listrik, seperti yang disampaikan Jaksa Agung, H.M. Prasetyo. “Kalau ada yang lupa mungkin pada tanggal-tanggal saja. Itu memang harus dikroscek lagi. Tapi semua fakta sudah dijawab, saya tidak yakin itu Jaksa Agung membaca BAP-nya. Kami dan penyidik punya kok BAP-nya,” terang Yusril. Jaksa Agung H.M Prasetyo memang mengatakan saat diperiksa, Rabu (17/6), Dahlan banyak menyebut lupa. Oleh karena itu pemeriksaan terhadap Dahlan bakal kembali dilakukan pada Rabu pekan depan (24/6). “Pak Dahlan diperiksa sebagai saksi,” ujarnya. Dalam kasus mobil listrik ini, Yusril melihat kasus itu lebih ke arah perdata. Yakni terkait kontrak antara tiga perusahaan BUMN dan Dasep Ahmadi. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM itu juga menilai perkara itu sangat jauh dari unsur korupsi, apalagi jika dikaitkan dengan posisi Dahlan saat itu sebagai menteri BUMN. Dia setuju jika publik melihat perkara yang membelit Dahlan tersebut bermotif politik. (dyn/gun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: