Kapan Lagi Ada Wakil Walikota Cirebon?

Kapan Lagi Ada Wakil Walikota Cirebon?

Oleh: Syamsudin Kadir SECARA berturut-turut pada Rabu (10 dan 17 Juni 2015) lalu saya didaulat menjadi narasumber acara Selamat Pagi Cirebon di Radar Cirebon Televisi (SPC RCTV). Pada SPC pertama yang mengangkat seputar pecah kongsi partai politik saya dipanelkan dengan Pak R. Panji Amiarsa (Wakil Ketua DPC Partai Demokrat Kota Cirebon) dan Mba Sri Maryati (Politisi Partai Golkar Kota Cirebon). Kemudian pada SPC kedua yang membincang soal partai politik dan dinamika politik itu saya dipanelkan dengan Saudara Umar S. Clau (Direktur Human Institute). Karena yang diperbincangkan pada acara yang dipandu Saudara Afif Rivai itu masih seputar dinamika politik, termasuk penentuan Wakil Walikota Cirebon yang belum juga selesai; dari sejak dua momen itu hingga kini saya menjadi terus menerus dihantui dua pertanyaan sederhana: Masih adakah kepekaan etis para elite politik di Kota Cirebon? Kapan lagi ada Wakil Walikota Cirebon? BIANG DAN MASALAH Dalam catatan saya, kerumitan dan dinamika yang menghantui proses sekaligus penentuan Wakil Walikota Cirebon akhir-akhir ini paling tidak disebabkan beberapa elemen sekaligus hal yang melingkupinya. Pertama, basis koalisi yang dibangun partai politik pengusung yang “karut-marut”. Siapa pun memaklumi bahwa visi kepemimpinan pasangan Ano-Azis (Walikota-Wakil Walikota Cirebon periode 2013-2018) dibangun kesepahaman elemen pengusung dan pendukung pasangan tersebut di masa pemilukada lalu. Namun, dalam konteks substansi, ternyata visi tersebut berjangka pendek dan hanya terbangun di atas kertas kesepakatan; bukan untuk jangka panjang dan dalam alam kesadaran. Jika saja visi tersebut merupakan akumulasi dari kehendak yang berbasis pada kolektivisme dan berjangka panjang, maka saya yakin polemik elite parpol seputar penentuan Wakil Walikota tidak akan terjadi berlama-lama seperti yang terjadi saat ini. Kedua, menipisnya kepekaan etis para elite parpol (pengusung) di Kota Cirebon. Kita tentu tidak perlu menagih banyak kepekaan etis kepada rakyat-publik. Sebab dalam teorinya, rakyat itu bagaimana perilaku elite pemimpinnya. Lebih jauh, justru para elite politiklah yang semestinya meningkatkan saldo kepekaan di saat kondisi rakyat yang terus menghadapi berbagai persoalan pendidikan, kesehatan sosial, budaya, ekonomi yang serba rumit dan pelik ini. Jika publik menghadirkan kritik, pihak-pihak tertuduh, mereka (para elite politik) itu biasanya sibuk membela diri di berbagai media massa (cetak dan elektronik) dengan bersandar pada argumen legal-formal. Dengan dalih seperti itu, terpancar hilangnya kesadaran bahwa pejabat publik adalah representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis terhadap suasana kehidupan dan kebatinan rakyat yang terjebak berbagai persoalan hidup. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum dan nalar jabatan struktural. Dalam rasa keadilan, pejabat publik dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menanggung simpul terlemah dari rakyat kecil yang terempas dan terputus. Sederhananya, sang pejabat publik merasa tidak pantas dan tidak mau menerima berbagai kelengkapan yang serba “wah” dari negara, manakala masih ada seorang warga di daerah atau kota-nya yang miskin atau yatim piatu dan layak mendapatkan bantuan. Sang pejabat akan muncul rasa iba, empati dan kasih sayang dalam dirinya saat banyak rakyat masih “layak dibantu”, “perlu didengar” dan “wajib diadvokasi”. Lalu, apakah masih pantas dianggap memiliki kepekaan etis jika para elite parpol masih sibuk dengan agenda politik sesaat dan jauh dari agenda pembangunan yang sudah lama dinanti rakyat banyak? Jika kepekaan masih tersisa, mengapa penentuan Wakil Walikota begitu rumit dan membutuhkan waktu yang sangat lama? Saya dan sebagian besar publik menanti jawaban faktual para elite politik. Bukan sekadar basa-basi di berbagai media massa (cetak dan elektronik) seperti yang dipertontonkan beberapa waktu terakhir.   JALAN KELUAR Berbagai perilaku politik yang saya sebutkan di atas akan tersisikan manakala para elite politik itu memiliki tonggak sekaligus radar. Tonggak atau radar tersebut nantinya diharapkan mampu menghadirkan kepekaan etis para pemimpin dalam kehidupannya, terutama di ruang publik Kota Cirebon. Pertama, nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Dalam konteks ini, terutama di Ramadan ini, para elite politik mesti terus merasa bahwa jabatan yang diembannya adalah amanah rakyat dan (terutama) Sang Kuasa yang kelak pasti dimintai pertanggungjawaban di dunia juga di akhirat. Dengan begitu, tak sedikit pun peluang untuk lalai—apalagi khianat—dengan amanah yang dititipkan Allah dan yang dimandatkan rakyat. Kedua, suara nurani. Dalam konteks ini para elite politik perlu selalu bertanya dalam dirinya (baca: nuraninya) tentang apa dan bagaimana jabatan yang ia dapatkan. Apakah sudah dimanfaatkan sesuai standar prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan? Apakah tugas-tugasnya selama ini mampu menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat banyak? Apakah jabatannya mampu dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana mestinya, atau malah “digadai” demi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok atau parpol-nya semata yang bersifat sesaat; sehingga penentuan Wali WaliKota berlama-lama? Ketiga, mengingat mati. Sederhana saja, elite politik mesti sesering mungkin bertanya dalam diri, “apakah dengan perilaku lalai terhadap mandat rakyat yang jauh dari nilai-nilai luhur sebagaimana yang digariskan Sang Kuasa dan konstitusi, saya mampu sampai ke tempat tujuan akhir?” “Andaikan Allah menghadirkan kematian di saat saya terjerat berbagai perilaku lalai yang penuh intrik syahwat duniawi, apakah saya menemukan kebahagiaan sejati di akhirat kelak?”; dan seterusnya. Saya sangat percaya, bahwa semakin banyak mengingat kematian, maka akan semakin sedikit peluang untuk ingkar dan lalai terhadap amanah rakyat. Mengingat kematian akan menambah saldo kesungguhan dan kesetiaan untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan rakyat Kota Cirebon tercinta. Itulah yang membuat jabatan bukan sekadar “beban” tapi juga “bank” pahala bagi kebahagiaan dunia juga akhirat. Di atas segalanya, saya sangat percaya bahwa beberapa hal tersebut sedikit-banyak dapat mengobati sekaligus memberi jawaban atas pertanyaan saya dan publik banyak di awal tadi:  kapan lagi ada Wakil Walikota Cirebon? Akhirnya, sungguh bijak pernyataan Bung Yudi Latif ketika mengatakan, “Politik adalah dimensi manusia secara keseluruhan dalam menciptakan kemaslahatan bersama. Maka dari itu, etika menjadi bagian esensial di dalamnya. Rusak etika, rusak politik”. Jadi, miliki dan jagalah kepekaan diri, karena jabatan dan kehidupan ini pada intinya ada pada kemampuan tiap diri untuk menjaga kepekaan dirinya dalam ruang publik secara etis. Itulah makna lain etika dalam kehidupan publik. Semoga tercerahkan! (*)   * Penulis adalah Direktur Eksekutif Mitra Pemuda, Penulis buku POLITICS, Pegiat PENA dan Pendidikan Islam di Institut Islam Bunga Bangsa Cirebon-II BBC, Jawa Barat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: