DPR Setuju Revisi UU KPK
Pimpinan KPK Minta Didahului Revisi UU KUHP dan KUHAP JAKARTA - Polemik ancaman pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 dijawab Presiden Joko Widodo dengan penolakan. Namun, penolakan Presiden itu tidak menghalangi langkah DPR untuk tetap memasukkan revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Dengan alibi hasil rapat badan legislatif (baleg) bersama dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly belum direspons dengan pembatalan, DPR tetap memasukkan revisi UU KPK menjadi salah satu dari 39 prolegnas prioritas 2015. Ketua Baleg Sareh Wiyono menyatakan, dalam rapat baleg tanggal 16 Juni lalu, pemerintah melalui MenkumHAM telah mengusulkan tiga RUU untuk masuk prolegnas 2015. \"Usulan pemerintah adalah RUU Bea Materai, Revisi Undang Undang 15 tahun 2003 terkait Pemberantasan Terorisme, dan Revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pemberantasan Korupsi, menggantikan RUU Perimbangan Keuangan Daerah,\" kata Sareh dalam pidato perubahan prolegnas prioritas 2015 di paripurna DPR, kemarin (23/6). Dalam pembahasan, DPR bersama pemerintah sepakat Revisi UU KPK masuk di prolegnas prioritas 2015. Menurut Sareh, keputusan DPR untuk menyetujui revisi UU KPK adalah adanya komitmen pemerintah melakukan perubahan terkait kewenangan penyadapan, perubahan kewenangan penyidikan dengan disinergikan dengan kejaksaan, pembentukan pengawas, dan kewenangan terhadap kewenangan kolektif kolegial pimpinan KPK termasuk larangan terlibat di politik praktis. \"Akhirnya Baleg memutuskan menyetujui usulan tersebut,\" kata politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu. Sareh tidak menyinggung sama sekali terkait penolakan pemerintah terkait pembahasan revisi UU KPK. Sareh hanya memberi isyarat bahwa penolakan terhadap pembahasan RUU harus diajukan secara resmi. \"Karena penambahan dan pengurangan sebuah RUU hanya dilakukan di rapat paripurna,\" tegasnya. Dalam catatan yang disampaikan Sareh, selain revisi UU KPK, baleg juga sepakat memasukkan RUU Bea Materai sebagai tambahan prolegnas. Baleg tidak menyetujui usulan pemerintah terkait revisi UU Pemberantasan Terorisme dengan alasan tertentu. \"Baleg menilai revisi UU Terorisme tidak urgent dilakukan saat ini,\" tandasnya. Tidak ada satupun interupsi terhadap usulan prolegnas prioritas itu, dan langsung disetujui sepuluh fraksi yang ada di DPR. Sementara itu, KPK tetap menolak revisi UU KPK. Sebab, perubahan aturan itu bukan menguatkan KPK, namun justru melemahkan lembaga antirasuah itu. Hal itu disampaikan plt Pimpinan KPK, Johan Budi kemarin (23/6). Johan menjelaskan, revisi itu jelas akan mengurangi kewenangan KPK dalam hal penyadapan. Menurut dia, selama ini penyadapan sangat penting bagi KPK. \"Operasi tangkap tangan (OTT) di Musi Banyuasin Palembang lewat penyadapan,\" jelasnya. Menurut Johan, selama ini mekanisme penyadapan sudah diatur dengan ketat. Penyidik yang akan melakukan penyadapan harus izin terlebih dulu pada pimpinan. Nomor yang disadap juga harus berhubungan dengan kasus yang diselidiki. Mantan Juru Bicara KPK itu mengatakan, memang revisi KPK masuk dalam prolegnas tahun 2014-2019. Namun dia tetap meminta DPR dan pemerintah untuk merevisi UU KUHP dan KUHAP terlebih dulu. Baru setelah dua produk hukum itu selesai, revisi UU KPK bisa dilakukan. Namun, permintaan itu hanya sebagai masukan. \"Tapi kami serahkan semuanya ke DPR dan pemerintah,\" ucapnya. Di bagian lain, pihak istana justru memilih menahan diri untuk menyampaikan sikap lebih lanjut atas hasil paripurna DPR yang tetap meneruskan tahapan revisi UU KPK. Meski Presiden Jokowi telah lebih dulu menyampaikan penolakan atas agenda revisi, kemarin, Kepala Staf Kepresiden Luhut Panjaitan justru menyatakan kalau masih akan menunggu lebih lanjut perkembangan kedepan. Tunggu saja lah, kita lihat nanti. Lagi puasa kok bicara yang hot-hot,\" elak Luhut, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin. Tanggapan senada juga disampaikan Mensesneg Pratikno. Dia bahkan juga mengelak dengan melemparkan bola panas itu ke Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. \"Tanya menkum HAM,\" kelit Pratikno. Meski belum mengungkap langkah lebih lanjut yang akan dilakukan pemerintah, dia menyatakan kalau belum ada perubahan sikap presiden, hingga kemarin. \"Kan sudah dinyatakan kemarin (penolakan revisi UU KPK, Red),\" imbuh mantan rektor UGM tersebut. Silang pendapat memang mewarnai pandangan internal pemerintah menyangkut agenda revisi UU KPK tersebut. Setidaknya, Wapres Jusuf Kalla dan Menkum HAM Yasonna yang berada di pihak berseberangan dengan pandangan presiden. Keduanya cenderung setuju perlu ada revisi UU yang mengatur kelembagaan KPK tersebut. Soal situasi tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memiliki pandangan tersendiri. Politikus PKS itu menilai kalau presiden sudah tidak berada di posisi menolak agenda revisi tersebut. Sikap penolakan yang awalnya disampaikan, dia menilai, hanya karena belum mendapat masukan yang utuh saja.“Nggak akan presiden menolak, karena sekarang presiden mulai mendapat masukan tentang apa yang selama ini terjadi dengan KPK dan memang harus dievaluasi,\"kata Fahri, dalam keterangannya. Indikasi tidak akan menolak revisi UU KPK tersebut diantaranya terlihat, menurut dia, ketika pemerintah belum mengirimkan surat resmi penolakan terkait rencana revisi.\"Saya rasa, presiden sekarang mulai mengerti,\" imbuhnya.(ba y/aph/dyn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: