DPR Takut Operasi Tangkap Tangan

DPR Takut Operasi Tangkap Tangan

Masih Ngotot Lanjutkan Rencana Revisi UU KPK  JAKARTA- Meski mendapatkan penolakan dari Presiden Jokowi, DPR rupanya terus melanjutkan rencana merevisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu kewenangan lembaga antirasuah itu yang akan dikurangi oleh anggota dewan yaitu kewenangan penyadapan. Menurut KPK, pengaturan penyadapan itu merupakan bentuk kekhawatiran anggota dewan akan menjadi korban Operasi Tangkap Tangan (OTT). Hal itu disampaikan Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji, kemarin (26/6). Dia mengaku tidak paham dengan pihak yang bersemangat untuk merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 itu. Khususnya menghilangkan atau mengurangi kewenangan penyadapan atau wiretapping KPK. Menurut Indriyanto, ada dua kemungkinan mengapa banyak pihak termasuk DPR yang ingin mengurangi kewenangan penyadapan. Pertama, pihak tersebut kekhawatiran ke depannya akan menjadi sasaran OTT KPK. Sebab, sampai saat ini sudah banyak anggota dewan yang menjadi korban OTT. Salah satu contohnya yang terakhir yakni penangkapan dua anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin Palembang dalam kasus suap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBNP) 2015. Mereka yaitu Adam Munandar dari partai Gerindra dan Bambang Karyanto dari PDIP. Yng kedua, Indriyanto berpikir bahwa ada pihak yang cemburu atau iri dengan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Menurut Guru Besar Pidana Universitas Indonesia (UI) itu sebenarnya  kewenangan penyadapan KPK sampai saat ini diperbolehkan. Hal itu diatur dalam pasal 26 UU nomor 31/1999 yang diperbarui menjadi UU nomor 20/2001 tentang Tipikor. KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan dari proses penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan.  Sehingga, mereka menggunakan segala cara agar kewenangan itu segera dihilangkan dari KPK. Namun, meski mempunyai kewenangan yang istimewa, lembaga superbodi itu tak luput dari pemeriksaan. Indriyanto mengatakan kinerja penyadapan KPK selalu mendapatkan evaluasi secara teknis dan administratif dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). \"Pemeriksaan selalu dilakukan dengan basis tight dan strict,\" jelasnya. Lebih lanjut, Indriyanto kembali menegaskan revisi UU KPK harus didahului dengan harmonisasi aturan di atasnya. Seperti UU KUHP, KUHAP, dan UU Tipikor. Menurut dia, jika revisi dilakukan tanpa adanya harmonisasi, maka akan menimbulkan overlapping dan berlebihan. \"Akan menimbulkan disharmonisasi dan merusak tatanan unifikasi dan kodifikasi hukum,\" terangnya. Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga ada konflik kepentingan yang besar di balik dukungan seluruh anggota dewan terhadap revisi UU KPK. ICW sepakat jika kengototan itu merupakan ketakutan DPR terhadap KPK. Maklum, sejak KPK berdiri pada 2004, sudah 76 politisi Senayan yang masuk penjara lembaga antirasuah tersebut. Dari jumlah itu ada 11 politisi DPR dan DPRD yang terjerat korupsi karena penyadapan dan penuntutan maksimal oleh KPK. Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho menduga kekompakan politisi Senayan mempercepat revisi UU KPK karena untuk \"penyelematan diri\" dan \"balas dendam\" semata. Tuduhan DPR adanya abuse of power di KPK sebagai justifikasi pentingnya revisi UU KPK, menurut Emerson juga tak didukung bukti yang kuat. \"Demikian pula tidak ada kondisi darurat yang menjadi dasar dimasukkannya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015,\" tegas Emerson. Satu-satunya cara yang harus dilakukan pemerintah, jika masih berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi adalah; menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK. Menurut dia, Presiden harus melakukan tindakan tersebut dengan tidak menugasi menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan UU KPK.  \"Kalau pemerintah tidak terlibat, maka proses pembahasan revisi dapat dikatakan cacat hukum,\" terang Emerson. (aph/gun/end)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: