Karanggetas Potensi Jadi Malioboro

Karanggetas Potensi Jadi Malioboro

KEJAKSAN- Potensi wisata di Kota Cirebon terus dikembangkan. Hanya saja, penataan wajah kota terhalang maraknya jumlah pedagang kaki lima (PKL). Karena itu, penataan terintegrasi dengan pengembangan pariwisata. Jl Karanggetas disebut mampu menjadi Jl Malioboro seperti di Jogjakarta. Hal ini disampaikan Kepala Disporbudpar Kota Cirebon Drs Dana Kartiman kepada Radar, Selasa (7/7). Dana Kartiman menjelaskan, wisata merupakan kehidupan. Saat ada keramaian dan terjadi transaksi, maka pariwisata otomatis akan timbul dengan sendirinya. Untuk itu, penataan wajah kota yang dipadukan dengan PKL, dapat dilakukan secara terintegrasi dengan bekerja sama antar SKPD terkait. Menurut Dana, terpenting penampilan PKL harus rapih dan tertata. “PKL jangan menetap. Sistemnya buka tutup. Jadi kalau pagi sampai sore siang tidak nampak ada bekas keramaian,” ucapnya. Pengaturan dilakukan pula pada tempat tertentu sebagai penunjang pariwisata. Seperti daerah Keraton Kasepuhan dan Alun-alun Kejaksan. Pada dua tempat itu, lokasi sudah matang dan penataan PKL dapat dilakukan sekaligus sebagai daya tarik wisata kuliner dan suvenir khas Cirebon. Tidak hanya itu, lanjut Dana Kartiman, Kota Cirebon memiliki jalan seperti Jl Malioboro. “Jl Karanggetas bisa diubah menjadi Malioboro. Kalau membuat keramaian baru seperti PKL di BAT, itu tidak baik,” tukasnya. Sentra PKL di Kota Cirebon tidak bisa dilakukan pagi hingga siang hari seperti halnya di Jl Malioboro. Sebab, lanjutnya, suasana yang panah dan macet menjadi persoalan. Untuk PKL yang ditata, cukup dengan kuliner dan cinderamata. Dalam hal ini, Disperindagkop hanya perlu melakukan penataan. “Tidak perlu anggaran. Menata PKL harus disediakan ruang terbuka hijau agar tidak monoton dan membosankan,” ucap Dana. Secara umum, pemkot tidak bisa menutup jalan rezeki mereka. Tetapi, PKL harus mengikuti aturan pemkot. Kepala Disperindagkop UMKM Kota Cirebon Drs Agus Mulyadi MSi mengatakan, penataan PKL menjadi destinasi wisata sangat dimungkinkan. Sebab, kuncinya ada pada penataan. Hanya saja, masalah ada pada titik lokasi PKL. Pasalnya, dalam Peraturan Walikota (Perwali) tentang Penataan PKL telah menetapkan lokasi sementara. Sedangkan, kalau dijadikan tujuan wisata harus memiliki lokasi permanen. “Di situ jelas berbeda. Karena itu perlu kawasan khusus agar mereka tetap bisa berjualan dan menjadi destinasi wisata,” terangnya. Sementara, lanjut Agus Mulyadi, sangat sulit mencari lahan di tengah kota untuk dijadikan kawasan sentra PKL yang menjadi destinasi wisata seperti Jl Malioboro Jogjakarta. “Kalau di tengah kota sulit. Penyediaan lahan bisa dilakukan dipinggiran. Tetapi, dipinggiran tidak efektif. Destinasi wisata itu sentra kuliner dan cindermata, bukan PKL yang lain,” paparnya. Untuk itu, memerlukan anggaran yang cukup banyak dan penataan serius. Dalam jangka pendek, Disperindagkop UMKM menginginkan adanya kawasan lokasi PKL sementara. Yaitu alun-alun Kejaksan akan ditata dan tidak menggusur. PKL yang ditata di alun-alun hanya di dalam saja. Untuk PKL diluar alun-alun, lanjut Agus, akan ditertibkan. Pihaknya memberikan toleransi batas berjualan sampai setelah Idul Fitri. Setelah itu akan digelar diskusi. Selanjutnya, dapat dibuat PKL wisata dengan menggunakan tendanisasi pemberian hibah dan membentuk koperasi. Agar jumlah PKL yang telah ditata tidak terus bertambah. “Koperasi itu fungsinya menjaga dari pertumbuhan PKL baru. Mereka yang paling mengetahui. Kita terbatas untuk melakukan pengawasan langsung,” ucapnya. (ysf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: