Kultur Pengaruhi Kebijakan Publik

Kultur Pengaruhi Kebijakan Publik

\"\"KESAMBI – Peluncuran 11 buku perspektif keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan. Kemudian Fahmina gathering, dan peresmian gedung baru yang terpadu dengan kawasan pendidikan menjadi suasana Kenduri 11 tahun Fahmina Institute, di Jalan Swasembada No 15, Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, Rabu (28/12). Senior program officer Asia Foundation, Lies Marcoes mengatakan, sepuluh tahun pertama Fahmina sudah sanggup meletakkan visi dan misi. Karena itu melalui bangunan pemikiran dan gerakan ideologis yang berkakrakter Islam rahmatan lilalamin tidak boleh berhenti. “Isu perempuan menjadi salah satu pilar. Tapi isu-isu lainnya juga harus menjadi perhatian Fahmina. Seperti isu-isu sosial, hubungan antar agama. Fahmina sudah punya pondasi dan dasar metodologi. Hanya dengan ini Fahmina bisa berkembang,” kata perempuan yang juga anggota dewan kebijakan Fahmina ini kepada Radar. Menurut Lies, secara geografis maupun sosiologis Cirebon cukup strategis dalam mengembangkan gerakan civil society. “Letaknya di pantura dan lahir dari masyarakat yang pluralis. Cirebon menjadi oase untuk pergerakan civil society,” katanya. Ia menjelaskan, dengan 11 tahun Fahmina jangan merasa puas dengan hal yang sudah dicapai. Melainkan, tantangan berikutnya adalah kaderisasi. Bangunan universitas menjadi bahan baku dalam kaderisasi. Lies berharap momentum 11 tahun, Fahmina tetap istiqomah dengan cita-cita yang sudah dibangun. Sementara, Ketua Dewan Kebijakan Fahmina, KH Husain Muhammad berharap, momentum 11 tahun Fahmina akan lahir generasi-generasi baru yang peka terhadap isu-isu kemanusiaan. “Saya pesimis dengan kondisi Indonesia saat ini. Makanya untuk membenahi Indonesia harapan ada pada anak-anak muda yang komitmen terhadap memperjuangkan nilai-nilai kemanusian, keadilan, keislaman, dan keindonesiaan,” katanya. Husein menyadari, kultur sangat berpengaruh dalam perumusan kebijakan publik. Sehingga untuk merubah sebuah kebijakan harus melalui perjuangan yang bersifat kultur. “Kami tidak akan berhenti memperjuangkan perempuan dari peradaban patriarkis yang usianya sudah ratusan tahun,” katanya. Sedangkan Mohamad Hasanudin tamu undangan, menilai pandangan-pandangan Fahmina seringkali berbeda dan kontroversial. Namun, perbedaan merupakan hal yang wajar dan rahmat. “Yang penting bagaimana bisa menyinergiskan perbedaan-perbedaan tersebut,” kata alumni Pon-Pes Dar Al-Tauhid Arjawinangun ini. (hsn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: