Cirebon Kota Sampah

Cirebon Kota Sampah

Oleh: Jay A. M. LEBARAN hari kedua kemarin penulis diminta membantu kolega asal Banten untuk memesan kamar hotel yang tidak kurang dari lima kamar. Mereka datang berombongan. Pada mulanya mereka datang kemari untuk keperluan bersilaturahmi dan berziarah ke makam orang-orang tua mereka yang sudah tiada. Tetapi mereka manfaatkan juga kesempatan yang masih dalam suasana Lebaran ini untuk berlibur. Jadilah penulis ini \"guide\" kambuhan, karena mereka menganggap penulis \"akamsi\" alias anak kampung sini. Maka lokasi-lokasi tertentu yang biasa didatangi para turis itu pun masuk dalam agenda mereka. Semua berjalan lancar. Mereka senang makan mi koclok Mang Sam di Jalan Pekiringan, makan nasi Jamblang di sisi Jalan Bypass Desa Jamblang, juga beramai-ramai mendatangi kampung batik: Desa Trusmi. Lalu ada pertanyaan yang tentu sulit bagi siapa pun orang Cirebon untuk menjawabnya: mana lokasi wisata sini selain kompleks kuburan yang terkenal di sisi kanan dan kiri Desa Astana Gunung Jati itu? Penulis repot mesti menjawab ke mana mereka mesti pergi bertamasya. Gronggong yang sambil lalu? Taman Ade Irma yang sedang diusahakan untuk kembali bagus atau istilahnya direvitaliasasi? Pemandian air panas yang lingkungannya juga sangat panas di Gempol? Pantai Kejawanan yang jorok itu? Atau Tirtamaya yang terbilang Indramayu? Atau juga di Telaga Remis yang sudah diklaim sebagai bagian dari Kuningan? Susah, amat susah, karena bagi orang yang terbiasa plesiran pastilah semuanya itu tidak memadai untuk berwisata. Tetapi, ada satu pertanyaan yang lebih susah untuk dijawab oleh penulis, si akamsi: kenapa sampah bertebaran di mana-mana? Padahal, misalnya, sekitar Pasar Pagi itu tidak lain termasuk pusat Kota Cirebon. Di ruas-ruas jalan sekitarnya banyak berdiri bangunan penting seperti rumah dinas Bupati Cirebon yang biasa disebut Pendopo, rumah dinas Wali Kota Cirebon, Masjid Attaqwa, Kantor Wali Kota, Gedung DPRD Kota Cirebon, hotel-hotel, dan seterusnya. Atau di Kabupaten Cirebon, sampah menggila di tempat yang orang padat berlalu lalang untuk mendatangi pusat Batik Trusmi yang terkenal seantero jagat itu. Tentu semua yang tinggal di setiap lokasi tersebut paham dan sering membikin plang: kebersihan sebagian dari iman. Kita juga sadar bahwa kebersihan sangat perlu untuk menjaga wajah kota, menjaga kesehatan, juga menjaga lingkungan tampak baik (estetis). Tetapi kenapa sampah menjadi pemandangan umum yang menjijikkan? Pertanyaan ini lebih sulit dijawab. Justru karena selama ini kita juga sering merasakan sendiri, tetapi seperti tidak punya daya dan upaya. Apakah perlu, untuk menjawab pertanyaan itu kita libatkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyebut la haula wala quwwata illa billah, tiada daya dan upaya melainkan dengan (kekuatan/pertolongan) Allah Swt? Sedih rasanya mendengar Tuhan dilibatkan dalam urusan sampah di kota dan kabupaten ini. Akhirnya, setelah berkelililing ke beberapa lokasi, yang terbilang permukaan atau wajah kota, umumnya tampak kotor oleh sampah, penulis tidak bisa mengelak ketika satu dari 24 orang tamu dari Banten itu menyebut Cirebon sebagai \"kota sampah\". Sambil menahan napas, penulis tutupi saja kenyataan bahwa di perkampungan di kecamatan-kecamatan yang jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon, atau di kampung-kampung padat sekitar Jagasatru, sekitar Pelabuhan, dan banyak lagi lokasi di Kota Cirebon, sampah sebenarnya lebih banyak lagi, lebih mengerikan lagi. Alangkah tepat julukan itu. Memang dalam tulisan ini, frase \"Cirebon kota sampah\" merujuk ke Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon sekaligus. NOMENKLATUR DINAS KEBERSIHAN Di dalam tata pemerintahan Kota dan Kabupaten Cirebon, dinas yang mengurusi kebersihan adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Tetapi baiklah kita bicarakan saja dulu perkara kebersihan. Lebih khusus lagi kali ini kebersihan macam mana yang diurus oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cirebon. Alasannya, untuk urusan ini dua pemerintahan setali tiga uang. Penulis beruntung tinggal tidak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon. Kantor-kantor berdiri megah, Masjid Agung juga sebentar lagi punya menara mentereng yang pembangunannya pasti menelan biaya tidak murah. Tetapi soal kebersihan siapa yang peduli? Kalau Anda mengitari bagian dalam dari kampung-kampung semacam Tukbonan, Tukmudal, dan tuk-tuk lain di Kelurahan Sumber dan Tukmudal, yang letaknya bersebelahan dengan perkantoran itu, sampah bertebaran, sungai-sungai tak terurus, keruwetan di mana-mana. Jangan salah kira, di sekitar ini, truk sampah rajin mondar-mandir saat pagi sebelum fajar tiba. Tinggal taruh sampah rumah tangga atau sampah komersial yang Anda miliki di depan rumah atau toko Anda (tentu dalam keadaan sudah terbungkus atau di dalam tong), para petugas itu dengan sigap mengumpulkannya di dalam bak truk, lalu mengangkutnya ke penampungan. Jadi Dinas Kebersihan sudah bekerja bukan? Masalahnya, itu tidak berlaku di kecamatan-kecamatan lain. Perlakuan Dinas Kebersihan ini tidak akan dirasakan oleh warga selain di sekitar pusat pemerintahan itu saja. Bahkan di Kecamatan Sumber pun, kelurahan seperti Kenanga, Kaliwadas, dan seterusnya, truk pengangkut sampah itu tidak beredar. Bagaimanakah nasib sampah yang menjadi pemandangan umum di Desa Kroya, Kecamatan Panguragan, misalnya? Lihatlah, sudah bertahun-tahun sampah menjadi masalah di Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, dan membuat nyamuk sangat banyak beredar, beranakipinak, berdenging dan menyanyi kor dalam orkestra yang tak sudah-sudah. Efeknya? Bupati perlu tahu bagaimana kemiskinan juga bermula dari sini. Harap menjadi catatan, di kecamatan-kecamatan yang relatif lebih maju seperti Arjawinangun, Palimanan, Weru, dan seterusnya, keadaan serupa tidak sulit kita temukan. Dengan kata lain, benarlah Cirebon kota sampah. Lalu nomenklatur Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kabupaten Cirebon itu berarti apa? Bukankah nomenklatur itu merujuk pada seluruh wilayah yang diklaim sebagai Kabupaten Cirebon dengan 40 kecamatan berikut 424 desa/kelurahannya? Atau memang sebaiknya Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kabupaten Cirebon diubah saja menjadi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kecamatan Sumber. Atau lebih tepat lagi menjadi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kelurahan Sumber dan Tukmudal. Penulis ingat sebuah lagu gubahan grup musik asal Inggris, Queen, yang salah satu lariknya berbunyi: too much love will kill you. Ya, cinta saja kalau berlebihan akan membunuhmu, apalagi sampah. Too much garbage must be kill you, Pak Bupati dan Pak Wali Kota. (*)   *) Jay A. M., warga Tukmudal, Sumber, penikmat rock and roll.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: