Selebriti Ikut Adu Nasib di Pilkada

Selebriti Ikut Adu Nasib di Pilkada

Bukan Jaminan Memang PILKADA serentak tahun ini kembali diwarnai oleh sejumlah artis yang maju menjadi calon kepala daerah. Mereka hendak mengadu nasib di pilkada kali ini mengikuti jejak sejumlah pendahulunya yang telah sukses memenangkan pilkada. Tak hanya mengandalkan popularitas, tapi juga keyakinan bahwa mereka mampu memimpin daerah pemilihannya. Hingga berita ini ditulis pukul 20.00 tadi malam, ada enam calon yang yang berlatar belakang sebagai selebriti. Di antara enam calon berlatar belakang selebriti yang maju, lagi-lagi calon dari Partai Amanat Nasional (PAN) mendominasi. Setidaknya ada empat calon yang diajukan oleh PAN. Mulai dari Zumi Zola di Pilgub Jambi, Pasha Ungu sebagai calon wakil walikota Palu, Emil Dardak sebagai calon bupati Trenggalek, hingga Helmi Yahya di Pilkada Ogan Ilir. Kemudian Dedy Gumilar alias Miing Bagito yang maju sebagai calon wakil bupati Karawang. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menampik jika PAN mencalonkan banyak artis di pilkada 2015. Menurut Zulkifli, yang murni berlatar belakang artis saat ini adalah Pasha, sementara sosok yang lain sudah memiliki pengalaman di berbagai bidang. “Dari 269 daerah yang maju pilkada, yang maju ya cuma satu, si Pasha,” terang Zulkifli. Menurut Zulkifli, sosok Zumi Zola sudah sukses sebagai Bupati Tanjung Jabung Timur. Sudah saatnya bagi dia dicalonkan sebagai calon gubernur. Sosok Helmi Yahya selain artis cenderung sebagai seorang produser acara yang sukses. Sementara Emil Dardak, dipilih di Trenggalek karena merupakan tempat kelahiran ayahnya, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak. Hal yang sama juga berlaku terhadap Pasha. “Pasha kan kader PAN. Dia itu putra daerah (di Palu), diminta untuk membangun daerahnya untuk menjadi kepala daerah,” ujarnya. Zulkifli menilai, tidak perlu membeda-bedakan latar belakang calon kepala daerah. Saat ini, calon kepala daerah berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari incumbent, anggota dewan, TNI, Polri, pegawai negeri, termasuk artis. Semuanya adalah masyarakat yang memiliki kesempatan untuk maju. “Semuanya punya hak politik yang sama,” ujarnya. Menurut Zulkifli, latar belakang tidak perlu menjadi faktor utama. Hal yang terpenting adalah bagaimana calon itu bisa memberikan kontribusi kepada daerah, apabila terpilih nantinya. “Yang penting memiliki wawasan kebangsaan. Nantinya dia bisa membangun kepada semua wilayah, tidak hanya yang memilihnya saja, tapi juga wilayah pendukung calon lain. Artinya, tidak membeda-bedakan,” ujarnya. Pencalonan TB Dedi Gumelar atau Miing Bagito sebagai calon wakil bupati Karawang merupakan keputusan langsung DPP PDIP, yang dilanjutkan oleh DPD PDIP Jawa Barat. Ketua DPD PDIP Jabar TB Hasanuddin menyatakan, sosok Miing bukanlah muka baru. Di periode lalu, Miing sudah menjabat sebagai anggota DPR di Komisi X. “DPP mempertimbangkan aspek popularitas, elektabilitas,” kata Hasanuddin yang juga anggota Komisi I DPR itu. Karena Miing bersama Ahmad Marjuki selaku calon bupati adalah keputusan langsung dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, seluruh kader PDIP wajib melaksanakan. Fenomena artis nyalon di sejumlah pilkada tidak bisa menjamin pasangan calon itu bisa memenangkan pesta demokrasi di daerah. Pengamat politik yang juga akademisi Rhenald Kasali menyatakan, fenomena terpilihnya artis menjadi wakil rakyat atau kepala daerah hanyalah strategi politik di awal era demokrasi di Indonesia. “Di awal demokrasi pemilihan langsung, rakyat tidak kenal politisi, tapi kenal artis. Sekarang jamannya sudah berubah,” kata Rhenald saat dihubungi. Di masa lalu, jelas Rhenald, masyarakat hanya bisa memilih yang ganteng, yang cantik untuk terpilih mewakili mereka. Namun, faktanya, ternyata beberapa artis tidak mampu perform dengan baik. Sebaliknya, para politisi mulai menunjukkan kinerjanya. “Lihat saja Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Risma (Walikota Surabaya), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), dan banyak lagi. Masyarakat sekarang lebih butuh figur seperti itu,” kata pendiri Rumah Perubahan itu. Menurut Rhenald, di era sosial media saat ini siapapun bisa mengukur kualitas calon dengan mudah. Calon di pilkada juga dituntut melakukan camera branding, atau memperkenalkan diri mereka secara visual melalui sosial media. Dengan camera branding yang interaktif, semua pihak bisa berinteraksi. “Di situ akan ketahuan apakah auranya untuk melayani kelihatan atau tidak. Kalau artis selama ini bisa melayani, politisi pun sekarang bisa,” ujar Rhenald. Tingkat popularitas artis, kata Rhenald, tidak bisa menjadi ukuran. Artis selama ini hanya terkenal pada fragmen media, terkecuali pada beberapa kasus artis tertentu yang mampu merakyat. “Ada contoh seperti Iwan Fals. Namun, pertanyaannya, dia mau atau tidak,” ujarnya. Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menam­bahkan, jika dibandingkan dengan pileg, jumlah artis yang maju di pilkada memang minim. Hal ini terjadi karena berbagai faktor. “Jika di pileg, slot untuk mencalonkan banyak sekali, kalau di pilkada kan belum tentu satu parpol bisa mengajukan calon, karena tergantung kursi,” ujarnya. Selain itu, kata Qodari, dibutuhkan modal finansial yang besar untuk memenangkan pilkada dibandingkan di pileg. Karena itu, seorang artis taruhannya lebih besar untuk maju pilkada dibandingkan maju sebagai calon anggota dewan. Lain halnya dengan figur Rano Karno yang menjadi Gubernur Banten, selain memiliki modal finansial, juga memiliki tingkat popularitas yang tinggi. “Artinya, maju di pilkada memang lebih sulit, lain halnya dengan pileg, masih bisa iseng-iseng berhadiah (terpilih, red),” ujarnya. Menurut Qodari, parpol tentu sudah melakukan survei untuk menentukan bahwa artis itu layak maju di pilkada. Sosok Pasha misalkan, selain diendorse oleh PAN, vokalis band Ungu itu juga memiliki popularitas. Namun, popularitas artis tidak menjamin dirinya bisa terpilih dengan suara mayoritas. “Artis itu ada dua macam, ada yang diterima masyarakat, ada yang tidak. Lagi-lagi ukurannya perlu survei,” tandasnya. Sementara Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan dari pengalaman pilkada sebelumnya, popularitas sese­orang memang membe­rikan pengaruh dalam pilkada. Hanya saja, popularitas itu tidak selalu linear dengan elektabilitas. (bay/byu/and)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: