Demokrasi dan Urgensi Pilkada Serentak

Demokrasi dan Urgensi Pilkada Serentak

SUDAH menjadi maklum bahwa demokrasi merupakan sistem politik dimana ruang dan kesempatan untuk berkompetisi dibuka lebar bagi semua elemen bahkan individu. Untuk tujuan ini maka dipilihlah mekanisme yang menghasilkan para penggawa institusi atau lembaga yang disebut dengan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Pada praktiknya sistem tersebut mengalami masa rumitnya, dimana para penggawa yang diberi mandat untuk menjalankan rumusan dan nilai-nilai demokrasi terjebak dalam berbagai tindak-tanduk tak menentu. Bukan saja pelanggaran hukum dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tindak amoral dan pelanggaran terhadap prinsip etis, bahkan para penggawa terjebak dalam konflik kepentingan dan saling “mengunci”. Ujung-ujungnya, demokrasi menjadi defisit aksi atau dengan istilah lain “defisit demokrasi”. Lagi-lagi, rakyat tetap menjadi objek penderita yang dikorbankan. Jika mengkaji ini lebih jauh, istilah “defisit demokrasi” awalnya merupakan kritik terhadap legitimasi dan keterwakilan dalam Masyarakat Ekonomi Eropa pada akhir 1970-an yang kemudian diadopsi dalam kajian politik secara luas. Dari banyak definisi, dapat disimpulkan bahwa, pertama, defisit demokrasi adalah situasi tidak terpenuhinya secara maksimum nilai-nilai demokrasi di dalam prosedur dan lembaga negara. Ketidakcukupan itu tercermin dari tidak berfungsi secara optimalnya lembaga-lembaga negara, terutama karena terhambatnya pengaruh dan aspirasi rakyat kepada pemerintah dalam memenuhi kehendak atau kebutuhan kenyamanan dan kesejahteraan rakyat. Kedua, defisit demokrasi adalah rendahnya kinerja institusi lembaga negara sehingga kepercayaan publik menurun dan pada gilirannya menggerus legitimasi kultural terhadap penggawa termasuk pemerintahan demokratis yang berkuasa. Samuel Huntington (1991) bahkan pernah menyebut kegagalan kinerja ini dapat memicu arus balik ke arah otoritarianisme pada negara-negara yang mengalami transisi demokrasi. Kinerja lembaga negara tentu harus dapat diukur dengan pencapaian kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat semata, termasuk soal soliditas berbagai lembaga negara dalam menjalankan mandat rakyat. Hal ini akan terjadi manakala fungsi pelayanan publik (rakyat) tidak berjarak dengan rakyat, baik secara kultural maupun secara fungsional. URGENSI PILKADA SERENTAK Untuk mengatasi defisit demokrasi—yang sudah dimulai sejak 17 tahun yang lalu itu—yang harus kita lakukan adalah menutup defisit demokrasi yang masih menganga dalam “neraca” kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Prioritas terbesar adalah menunaikan beberapa agenda mendesak, pertama, menjaga legitimasi lembaga-lembaga dalam rezim pemerintahan demokratis dengan cara memastikan kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat. Langkah ini juga akan membawa kita melangkah dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang lebih substantif, yaitu demokrasi yang membawa faedah konkret bagi rakyat. Pada level demokrasi praktis, sesngguhnya pileg dan pilpres lalu merupakan momentum awal untuk itu. Walau masih dipenuhi banyak catatan kaki, kita tetap optimis bahwa ke depan para penggawa di berbagai lembaga atau institusi—termasuk kepala daerah (gubernur, bupati/walikota)—mampu mengabulkan kehendak rakyat. Kedua, dalam konteks kekinian sekaligus sebagai kesempatan adanya efek yang lebih meluas, maka pilkada serentak mesti dijadikan sebagai tonggak sejarah penting bagi pematangan demokrasi dan demokratisasi tersebut. Karena itu, pilkada yang segera berlangsung (9 Desember 2015) bukan saja merupakan momentum politik biasa—dalam konteks siklus demokrasi—melainkan momentum sejarah untuk Indonesia naik kelas menjadi negara demokrasi yang lebih stabil dan fundamental yang dibangun dari kekayaan dan keragaman potensi daerah. Atas dasar itu, kita pun masuk dalam agenda ketiga, sebagai penting yang lebih mendesak, yaitu memastikan pilkada serentak yang segera menjelang berjalan dengan baik dan menghasilkan para pemimpin atau kepala daerah yang mampu mewujudkan kehendak rakyat, terutama dalam membangun daerah dimana mereka memimpin. Agenda ini akan berjalan dengan baik manakala semua elemen seperti Pemerintah, KPU, KPUD, Bawaslu, Panwaslu, Partai Politik, Para Calon, Pemilih, Civil Society dan sebagainya mampu menjalankan perannya secara maksimal dan bertanggung jawab. Kita tentu tidak boleh berpuas diri pada terbentuknya postur demokrasi prosedural. Dalam konteks pembangunan kita mesti naik jenjang proses demokrasi yang baik mesti membuahkan hasil yang baik pula. Prosedur demokrasi baru bicara pada basis legitimasi. Sementara berikutnya kita melangkah pada substansi demokrasi, yaitu berbicara kemanfaatan sebuah proses dan sistem demokrasi bagi rakyat—dalam konteks pilkada serentak terutama pembangunan daerah. Meminjam ungkapan Anis Matta (2014), demokrasi bukan sekadar sistem yang mekanistik, melainkan juga menjadi cara menyelesaikan masalah, alat untuk menavigasi kehidupan, yang kita anggap tepat bagi pembangun bangsa dan negara. Maka, memantapkan budaya demokrasi—menurut Riyas Rasyid (2010)—berarti menggali lebih dalam substansi nilai-nilai sejati demokrasi sambil tetap menjaga sikap terbuka untuk mengkritik dan memperbaikinya. Tidak ada sistem yang sempurna, yang ada adalah sistem yang dirasa tepat untuk menyelesaikan masalah dalam jangka waktu tertentu. Revisi seka­ligus korek­si ter­hadap praktik demok­rasi akan semakin memantap­kannya, termasuk dalam proses pilkada dan otonomi daerah yang sudah menjadi pilihan politik pasca reformasi (Riyas Rasyid, 2010). Pilkada serentak sejatinya adalah momentum terbaik untuk memperkaya khazanah kebangsaan yang diselimuti berbagai gagasan positif seluruh elemen bangsa (berbasis daerah), di samping untuk memilih pemimpin yang terbaik yaitu yang mampu mengamini kehendak rakyat dan menstimulus rakyat hingga level bawah agar mengambil bagian dalam proses pembangunan secara masal dari lingkungan terdekat darinya. Jika itu yang terjadi, maka terwujudlah—apa yang disinggung oleh JW Gardner (1988)—peran penting pemimpin yaitu menciptakan “state of mind” atau situasi psikologis di dalam masyarakatnya dengan cara melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang menggerakkan orang dari kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama yang lebih tinggi.” Semoga saja begitu! (*) *) Direktur Eksekutif Mitra Pemuda, Penulis buku “POLITICS; Membangun Adab Politik”, Pegiat PENA di IAI Bunga Bangsa Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: