Tuntut Stop Alih Fungsi Lahan

Tuntut Stop Alih Fungsi Lahan

MAJALENGKA – Ratusan massa yang tergabung dalam Gerakat Petani Majalengka (GPM) kembali menggelar aksi demontrasi, menuntut Perum Perhutani agar tidak melakukan alih fungsi lahan dan tidak melakukan pungutan liar, Senin (24/8). Kali ini GPM membawa lebih banyak massa, yang sebelumnya hanya puluhan kini bertambah menjadi ratusan. Aksi massa dimulai dari lapangan Gelanggang Generasi Muda (GGM) menuju pendopo dan berahir di Perum Perhutani. Ketua GMP Ade Nanang menjelaskan, aksi ini adalah lanjutan aksi sebelumnya yang menuntut Perhutani agar menghentikan perluasan tanaman karet dengan cara pergantian pola tanam di lahan kawasan hutan tumpang sari. Nanang mensinyalir kegiatan tersebut sebagai agenda pengusiran petani dari lahan garapan secara perlahan. “Kami mendatangi kembali Perum Perhutani dan pemda, karena selama ini aspirasi kami dibiarkan dan tidak ditanggapi. Oleh karena itu dalam aksi ini kami membawa massa yang banyak, menuntut kembali Perum Perhutani untuk menghentikan budidaya tanaman karet dan menghentikan pungutan liar. Kami juga mengutuk keras intimidasi kepada para petani yang dilakukan oleh oknum mandor dan mantri perhutani serta orang-orang suruhannya,” jelasnya. Perhutani yang diwakili Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Kasubsek PHBM) Dadang Supriatna menyanggah penilaian massa yang melakukan aksi. Menurut Dadang, dalam pelaksanaan di lapangan tidak ada pungutan liar. Selama ini pengelola lapangan dibentuk sesuai surat keputusan, ada aturan dan statusnya juga legal. “Permasalahannya mereka itu sebenarnya hanya ingin dibebaskan dari sharing saja. Dengan tujuan untuk menghindari kerja sama dengan salah satu lembaga masyarakat. Seperti Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Tanjung Biru Desa Mekarmulya. Sejauh ini masyarakat Mekarmulya tidak ada masalah,” jelasnya. Dirinya juga menyanggah bahwa nominal Rp2 juta yang dikatakan sebagai nominal pungli. Menurut Dadang itu tidak ada, yang ada hanya setiap hasil panen para petani diminta 15 persen dari hasil panen oleh LMDH. Itupun bersifat tidak wajib karena tarif itu dihitung dari produktivitas panen. “Contohnya jika hasil panen 5 ton, itu dipontong 15% dan dikali dengan harga gabah per kilo. Tetapi hal itu diukur dari produktivitas, dan jika petani gagal panen mereka bebas dari pungutan tersebut,” ungkapnya. Dadang menegaskan, untuk alih fungsi lahan tergantung kebijakan pimpinan dan faktor yang menunjang kenapa dialihkan karena biasanya disesuaikan dengan karakter wilayah tersebut. “Kalau karakternnya cocok untuk karet, ya kita tanam karet. Tapi jika cocoknya tanaman yang lain ya kita gunakan tananaman lain. Jika di lapangan ada oknum yang tidak menaati aturan dan tidak bertanggung jawab, mereka akan diberi sanksi dan bisa dicopot jabatannya,” puungkas Dadang. (bae)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: