Bergerak Menuju Kota Metropolitan

Bergerak Menuju Kota Metropolitan

Permasalahan permukiman kumuh di perkotaan seperti menjadi keniscayaan. Di Kota Cirebon, yang berkembang menjadi Kota Metropolitan, permukiman kumuh banyak dijumpai di sejumlah wilayah seperti Kelurahan Panjunan, Kasepuhan dan Lemahwungkuk. Tiga wilayah ini masuk dalam rencana prioritas. \"coverstory\"WALIKOTA Cirebon, Drs Nasrudin Azis SH menyampaikan, penanganan permukiman kumuh akan bergantung dari upaya-upaya Program Peningkatan Kualitas Permukiman (P2KP). Program ini merupakan program lanjutan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang mengarah kepada penanggulangan masalah permukiman penduduk. “P2KP ini laboratorium program untuk meningkatkan pemukiman di Kota Cirebon. Perihal program dan sumber anggaran ini tentu harus dibicarakan,” ujarnya kepada Radar, usai membuka lokakarya permukikan kumuh di Aula Bappeda, Kamis (27/8). Menurutnya, pemkot sendiri memiliki program bantuan rutilahu dan masih berjalan baik di Dinsosnakertrans maupun dari DPUPESDM. “Jadi kita terus menerus berupaya permukiman di Kota Cirebon agar lebih baik,” ungkapnya. Azis mengatakan, masalah permukiman kumuh harus menjadi perhatian khusus dari pemkot dan masyarakat, karena berangkat dari keprihatinan persoalan permukiman di kota besar. Terlebih Kota Cirebon yang berkembang pesat, maka harus juga menata permukiman dengan baik. “Persoalan ini tugas kita semua. Kita harus bertanggung jawab menyusun permukiman terpadu. Mumpung belum parah kita antisipasi. Mencari konsep terbaik dalam menata permukiman di Kota Cirebon,” katanya. Sementara, Kepala Bidang Fisik dan Lingkungan Kota Cirebon, M Arif Kurniawan menyebutkan, berdasarkan aturan, apabila dalam suatu daerah permukiman kumuh di bawah 15 persen, maka penanganan cukup dilakukan oleh pemerintah daerah. Tetapi, apabila di atas 15 persen, akan mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat. Selama ini, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang sudah terbentuk, menjadi mitra dan aset yang perlu diberdayakan. Berkaitan dengan kawasan kumuh, pemerintah sendiri menetapkan berdasarkan tujuh pilar komponen permukiman kumuh, yakni dilihat dari fisik bangunan, drainase, penanganan kebakaran atau bencana, infrastruktur jalan, air bersih, sampah dan penanganan instalasi air limbah. Menurutnya, penanggulangan permukiman kumuh di Kota Cirebon sendiri sudah ada dalam kebijakan RPJMD Kota. Pemkot berupaya mengurangi lingkungan kumuh dari 30 persen menjadi 20 persen, serta menurunkan jumlah rutilahu 18 ribu menjadi 10 ribu. Pada kesempatan itu, Arif juga membeberkan, ada tujuh kawasan permukiman kumuh yang akan direvitalisasi dan menjadi proyek percontohan nasional. Yakni Kelurahan Kesepuhan, Panjunan, Lemahwungkuk, Pekalangan, Pekalipan, Pulasaren, dan Sumurwuni, Kelurahan Argasunya. “Tujuh lokasi ini akan menjadi prioritas penanganan untuk dijadikan kawasan bebas kumuh. Sebab, tujuh lokasi tersebut sudah di SK–kan oleh walikota tahun 2015,” ujar Arif kepada Radar, Jumat (28/8). Dia mengungkapkan, dalam sejarah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di tahun 2018–2019 menyebutkan beberapa kota/kabupaten yang ada di Indonesia menjadi kawasan bebas kumuh 100-0-100. Artinya, 100 persen air minum – 0 persen kawasan kumuh – 100 persen sanitasi air limbah. “Ini adalah program pak Jokowi untuk mengubah tujuh kawasan tersebut menjadi bebas kumuh. Anggaran yang digunakan dari APBN, sementara pemerintah provinsi hanya memfasilitasi pembangunan,” ucapnya. Penanganan tujuh kawasan permukiman kumuh tersebut, kata Arif, terutama dalam penataan bangunan, penyediaan air minum, saluran drainase, jalan lingkungan, air limbah, sampah, dan penanganan bencana termasuk damkar. Untuk sementara, Bappeda Kota Cirebon sedang membuat DED penanganan kawasan kumuh. Sementara biaya untuk membuat DED diperkirakan mencapai angka Rp400 juta. Salah satu kawasan kumuh di Kota Cirebon berada di pemukiman RT 6 RW 1 Pesisir. Di sana, berdiri bangunan semi permanen di sempadan sungai. Kadeg (50), warga setempat mengaku, masyarakat terpaksa tinggal di sempadan sungai, lantaran kesulitan ekonomi. “Gimana lagi, kalau tidak di sini (sempadan sungai, red) masa tidur di kolong jembatan?” ungkapnya. Mereka yang menempati sempadan sungai seluruhnya merupakan warga asli pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Bangunan yang dibuat semi permanen itu, ada yang menjadi tempat tinggal adapula yang menjadi tempat usaha. “Mereka bangun sendiri memanfaatkan tanah yang sedikit. Kalau suatu saat dibutuhkan mau ditertibkan ya silakan, asal pemerintah bisa mencari solusinya,” tuturnya. (jml/sam)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: