Dicoret, Capim KPK Berstatus Tersangka

Dicoret, Capim KPK Berstatus Tersangka

JAKARTA- Kabareskrim Komjen Budi Waseso (Buwas) kembali menyulut konflik antara Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Buwas menyebut ada seorang capim KPK yang statusnya menjadi tersangka. Belum diketahui siapa capim KPK yang menjadi tersangka. Kabareskrim menuturkan bahwa memang ada seorang tersangka di antara 48 capim yang disodorkan pansel KPK. Hal tersebut sudah diberitahukan pada pansel. “Tapi, saya tidak mau menyebut­kan namanya. Bukan wewenang saya,” paparnya, di Mabes Polri, kemarin (28/8). Tindakan pidana yang dilakukan seorang capim tersebut juga belum jelas. Namun, orang nomor tiga di Polri itu hanya memastikan ada dua tipe kasus yang tersangkut capim KPK. Yakni, kasus dugaan korupsi dan pidana umum. Soal capim yang menjadi tersangka dari kasus apa, dia enggan buka-bukaan. “Kami telusuri sesuai keinginan pansel,” jelasnya. Apakah tersangka ini lolos ke 19 capim yang kali terakhir difil­ter? Dia mengaku tidak menge­tahuinya. “Saya tidak tahu yang 19 ini siapa saja. Tapi, saya tidak menyebut dari asalnya internal KPK ya,” ujarnya. Dia menegaskan pihaknya tak ingin mengarahkan atau meng­kriminalisasi pimpinan KPK. Hal tersebut murni temuan Polri. “Saat ini proses penye­lidikan masuk ke penyidikan, semua kasus berlanjut,” jelasnya. Saat ditanya mengapa tidak dibuka sejak awal? Dia mengaku bahwa yang paling utama telah diserahkan semua berkas clean and clear-nya pada pansel. “Ya mereka saja, ini kan pertimbangan dan sudah dilaporkan ke kapolri,” ujarnya. Terpisah, Pansel KPK telah mene­rima informasi tentang salah satu capim KPK berstatus ter­sang­ka oleh Bareskrim terse­but. Pansel memastikan calon yang ber­sangkutan telah gugur. Juru bicara Pansel KPK Betti Alisjahbana menyatakan, bahwa capim berstatus tersangka tersebut diputuskan tidak lolos setelah tes wawancara yang dilaksanakan beberapa hari lalu. “Info (tersangka, red) itu baru masuk setelah kita meloloskan 19 nama,” kata Betti. Seperti halnya Budi Waseso, dia juga enggan membuka identitas capim KPK yang berstatus tersangka oleh polisi tersebut.  Menurut dia, hal tersebut masih rahasia. “Jadi, belum bisa disampaikan,” elaknya. Di antara 19 nama yang lolos seleksi tahap akhir, ada tiga nama yang memiliki latarbelakang KPK. Mereka adalah Plt Wakil Ke­tua KPK Johan Budi, Direk­tur Gratifikasi KPK Giri Suprap­diono, dan Direktur Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi Sujanarko. Di sisi lain, ada pula sejumlah capim yang memiliki latarbelakang polisi dan TNI. Mereka adalah Bigjen Basaria Panjaitan (Widyaismara Madya Sespimti Polri), Mayjen (purn) Hendardji Soepandji (mantan Aspam Kasad), Irjen Yotje Mende (mantan Kapolda Papua). Selain itu, ada pula beberapa nama pejabat atau mantan pejabat. Di antaranya, Hakim Ad hoc tipikor PN Jakpus Alexander Marwata, Komisioner Ombudsmen Budi Santoso, Staf Ahli Kepala BIN Saut Situmorang, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, dan Direktur Perdata Jamdatun Kejagung Sri Harjati. Masyarakat terus berharap pansel capim KPK tidak salah memilih delapan kandidat yang akan dibawa ke presiden. Peneliti politik LIPI, Prof Ikrar Nusa Bhakti berharap pansel hati-hati dalam memutuskan layak tidaknya capim dari polisi dan jaksa dimasukan dalam delapan besar. Ikrar mengatakan pansel harus benar-benar menelusuri perjalanan karir calon yang mewakili polisi maupun kejaksaan. Sebab, selama bertahun-tahun terjadi fenomena yang tidak benar dalam proses rekrutmen maupun pembinaan karir di kedua institusi tersebut. Dia mencontohkan adanya suara-suara dari internal polri maupun kejaksaan bahwa untuk menjadi polisi dan jaksa bukan barang gratis. Begitu pula dalam hal pembinaan karir. Agar bisa mengikuti pendidikan maupun penempatan jabatan juga ada biayanya. ‘’Kalau tidak dengan biaya bisa juga karena kebijakan jendela,’’ katanya. Kebijakan jendela yang dimaksud Ikrar ialah kebijakan karena faktor kedekatan. Misalnya saja seorang pejabat di Polri mengangkat sejumlah pejabat karena satu angkatan di akademi kepolisian (Akpol). Ikrar menyebut pansel memegang peranan penting agar tidak memasukan orang yang salah di DPR. Sebab DPR tentu akan memilih orang yang berasal dari hasil saringan pansel. ‘’Masyarakat juga jangan berhenti mengawal proses seleksi ini di pansel. Yang tak kalah penting nanti juga proses pemilihan di DPR,’’ ujarnya. Tak menutup kemungkinan praktek fit and proper test di DPR juga berjalan dengan tidak benar. Misalnya saja mereka akan memilih orang yang punya kedekatan ideologi dan yang sanggup bermain di ranah money politics. Oleh karena itu Ikrar menyarankan agar pansel tak serta merta meloloskan orang-orang yang populer. Apalagi orang-orang yang punya kedekatan di eksekutif maupun legislatif. ‘’Menurut saya orang yang tidak terkenal tapi punya integri­tas, lebih layak dipilih dari pa­da mereka yang po­puler dan pu­nya kede­katan dengan ini itu,’’ katanya. Orang yang tidak punya kedeka­tan de­ngan pihak mana­pun di­nilai lebih tidak kom­pr­oni ketika menjadi pimpin­an KPK. (idr/dyn/gun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: