MEA dan Pentingnya Perkuat UMKM
Oleh : Wahyudi* MASYARAKAT Ekonomi ASEAN (MEA) telah disepakati pada 22-25 Agustus 2015 lalu di Malaysia. Ini berarti pertanda bahwa langkah bergulirnya perdagangan bebas MEA semakin diperkuat dalam hitungan bulan ke depan; akhir tahun 2015. Konsekuensinya, setiap negara yang tergabung dalam MEA pada akhirnya dipaksa sejarah untuk segera memetakan, menentukan pilihan dan langkah cerdas untuk menghadapinya. Visi ekonomi yang tertuang dalam blue print MEA 2015-2025 menitikberatkan pada empat garis besar; yakni menuju pasar tunggal dan basis produksi, kawasan regional ekonomi berdaya saing tinggi, kawasan regional berbasis pembangunan yang merata, dan memiliki peran yang kuat dalam rantai pasokan global. Titik tekan dan semangat yang terkandung dalam visi ekonomi MEA tersebut sejatinya menekankan penguatan dan integrasi usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM). Di sinilah babak baru sejarah UMKM memasuki pintu cerahnya. Sebab sektor ekonomi ini harus dengan sadar disiapkan dengan perhatian yang besar dan kebijakan yang mendukung arah penguatan kapasitas berbagai aspek; permodalan, manajemen, produk, SDM, pemasaran dan kemampuan ekspansi. Tak hanya itu, sebab ada faktor eksternal seperti birokrasi dan regulasi yang juga peranannya mesti diperbaiki untuk memperlancar perkembangan UMKM. Agenda ini seharusnya dipandang sebagai pekerjaan besar yang mesti dipandu oleh kepempinan ekonomi nasional yang besar pula. Lalu persoalan apa yang hendak dibedah dalam tulisan ini? Sebenarnya secara tekstual, persoalan yang hendak diulas dalam tulisan ini memiliki kadar yang sederhana. Tidak harus menguras pemikiran yang mendalam, sebab mahasiswa jurusan tata boga juga bisa memamparkannya. Yakni soal kecepatan dan kesiapan yang dilakukan masing masing negara dalam mempersiapakan kontribusinya di era MEA. Pertama-tama kita akan menyaksikan secara komparatif dan kontradiktif jika dihadapkan pada soal penilaian aspek kecepatan dan persiapan memperkuat potensi masing-masing negara anggota MEA. Misalnya, Negara Thailand dengan penuh kesadaran dan kecepatannya sejak lama telah menyiapkan dan memperkuat sektor UMKM dan niaga waralabanya. Produk UMKM dan niaga waralaba Negara Thaliland itu sukses mengembangkan sayap ekspansifnya ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. “Negeri Gajah Putih” tersebut sadar sejak awal membangun potensinya dengan mengintegrasikan antara sektor industri, agrikultural, investasi dan pemasaran secara serius. Inilah kunci suksesnya. Tak mau ketinggalan, Malaysia juga melakukan langkah yang hampir sama dengan “Negeri Gajah Putih” tersebut. Malaysia memperkuat sektor UMKM dengan memberikan akses perbankan yang baik. Beserta kerja sama lain yang memperkuat UMKM-nya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejauh mana persiapan yang dimiliki? Potensi apa yang bisa diandalkan? Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, apakah persiapan Indonesia sudah mendahului langkah negara lain? Atau justru Indonesia kalah start dari yang lain? Di sinilah kita tidak boleh tertidur, sebab negara lain sudah berlari. MODAL DAN POTENSI DI DEPAN Berbagai lembaga riset dan ahli terkait menganalisis dan memetakan bahwa, kekuatan Indonesia berada pada modal yang cukup besar untuk menghadapi era MEA. Dengan modal dan potensi yang besar ini Indonesia seyogianya bisa menjadi negara nomor satu di Asia dengan kontribusi dan peranan yang siginifikan di ASEAN. Potensi Indonesia yang besar tersebut harus dikelolah dengan kepemimpinan ekonomi yang kuat. Sebab untuk menghadapi MEA, Indonesia memiliki modal yang cukup berbobot. Pertama, potensi pasar kita sebesar 135 juta konsumen dengan nilai 1,9 juta dolar AS. Kedua, pemerintahan Jokowi memprioritaskan pembangunan di sektor infrastruktur penopang perekonomian nasional. Jika terealisasinya baik, maka sektor infrastruktur tersebut menjadi modal besar yang memiliki daya tarik bagi masuknya investasi. Sedangkan modal spesifik bagi pengembangan sektor UMKM, pertama soal suntikan dana untuk membangun desa di 74.093 desa dengan nilai Rp20,77 triliun pada tahun ini. Mengingat desa adalah basis dan pusat pertumbuhan sektor UMKM. Dengan fokus dan perhatian pembangunan ini, setidaknya ada harapan agar desa tumbuh berkembang yang berdampak pula bagi perkembangan UMKM-nya. Kedua, Indonesia telah membentuk badan pendukung MEA bernama Komite Persiapan Pelaksanaan MEA yang bertugas menyiapkan pendanaan untuk sosialisasi, edukasi publik dan bimbingan kepada pemangku kepentingan di daerah. Ketiga, Kementerian Koperasi dan UMKM telah meluncurkan program “UMKM Naik Kelas” untuk meningkatkan daya saing. Di mana pada tahun ini ditagetkan 200.000 UKM dapat naik kelas. YANG PERLU DIKRITISI Dengan modal tersebut, kita dihadapkan pada beberapa pemetaan kritis yang bisa menjadi tantangan ke depan. Pertama, pada saat berlangsungnya MEA kita dihadapkan situasi ekonomi global yang tak bersahabat dan pelemahan nilai tukar rupiah. Kedua, pembangunan infrastruktur yang diandalkan sebagai daya tarik investasi sampai hari ini belum terbukti realisasinya. ketiga, UMKM kita belum mendapat akses perbankan yang memadai. Keempat, kita kalah start dengan negara lain dalam memperkuat UMKM-nya. Negara lain sudah lari sedangkan kita baru mulai melangkah. Kelima, belum ada blue print atau roadmap yang jelas terkait pengembangan UMKM dengan terencana. Jika sudah ada berarti pelaksanaannya perlu ditingkatkan. Dari situ hanya satu yang tersisa yang dimiliki Indonesia, yakni potensi pasar sebesar 135 juta konsumen. Akhirnya pertanyaan yang muncul adalah posisi Indoensia dalam kompetisi era MEA akan menjadi produsen atau pasar (konsumen)? Di sinilah yang harus dikaji dan dikritisi. Kita selama ini tertidur, sedangkan negara lain sudah berlari dan berekspansi. Di sinilah soal kesiapan dan kecepatan Indonesia dalam menyambut MEA perlu kita jawab. Sebab mahasiswa jurusan tata boga selalu bertanya-tanya soal ini. (*) *Penulis adalah Pendiri PT Wanakaya Fortune Indo, Pendiri Lembaga Bahasa Jerman GTM Cirebon, Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon, Aktivis HMI MPO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: