Dimensi Sosial dan Pendidikan dalam Ibadah Kurban

Dimensi Sosial dan Pendidikan dalam Ibadah Kurban

Oleh: H Tolkha Nawawi HARI Raya Idul Adha sudah usai. Momentum yang oleh masyarakat asli Cirebon disebut Riyaya Agung atau Hari Raya Besar dan juga biasa dikenal Hari Raya Haji ini, salah satu hari suci bagi umat Islam. Tak hanya di Arab Saudi atau Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Idul Adha tak hanya soal sejumlah ritual keagamaan yang saling terkait satu sama lain seperti haji, salat id, kurban, dan lainnya. Lebih luas dari itu, menyuguhkan makna yang dalam bagi hidup dan kehidupan manusia. Idul Adha, Kurban, dan ibadah haji di Tanah Haram adalah satu kesatuan kepatuhan umat sebagai wujud penghambaan. Ketiganya diikat dalam rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Makkah, terutama saat-saat puncaknya. Ibadah haji adalah sebuah ritual bersifat internasional yang diikuti berjuta-juta muslim dan muslimat dari seluruh dunia. Ajaran ini merupakan peringatan atas napak tilas Nabi Ibrahim yang mempertunjukan kepada umat Islam tentang arti ketaatan dan keikhlasan dalam beribadah dan penghambaan kepada Allah SWT. Bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji disyariatkan untuk merayakan Idul Kurban dengan beberapa ritual mulai dari puasa Arofah, salat Idul Adha, menyembelih hewan kurban dan lainnya. Kurban, bila ditelusuri dari akar sejarahnya, memuat banyak ajaran yang sangat positif. Tidak melulu soal berbagi satu sama lain atau dimensi sosial sebagai upaya menghilangkan kesenjangan, tetapi juga memuat petunjuk yang baik dalam bidang pendidikan. Kita mulai dari aspek sosial, terutama masalah kesenjangan. Kesenjangan  sosial adalah ketidaksimetrisan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Tugas berat yang diemban pemerintah saat ini dan ke depannya adalah ketidakadilan sosial, pemerintah harus berusaha maksimal dalam menurunkan angka kemiskinan sebagai salahsatu faktor kesenjangan sosial. Pada dasarnya perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin tetap akan ada, sistem ekonomi apapun tidak mampu menghilangkan perbedaan itu menjadi persamaan, namun usaha mengurangi dan memperkecil jumlah kemiskinan menjadi sebuah keniscayaan. Kurban merupakan salah satu obat kesenjangan sosial. Kurban pada dasarnya berakar dari jejak tiga manusia besar, Nabi Ibrahim dan Hajar serta anak semata wayang Ismail. Perintah kurban merupakan perintah teristimewa dan teramat berat yang belum pernah terjadi kepada nabi-nabi sebelumnya. Perintah kurban merupakan kehendak Tuhan untuk menguji Nabi Ibrahim yang dikenal taat terhadap perintah Tuhan. Ujian ini berawal saat Nabi Ibrahim mendengar ucapan-ucapan kaumnya, manusia dermawan, seketika itu Nabi Ibrahim mengatakan jangankan harta benda yang harus didermakan demi mengabdi kepada-Nya, andaikata aku mempunyai seorang anak lalu Tuhan memerintahkan untuk berkurban niscaya aku akan melaksanakan dengan penuh keikhlasan. Lahirlah anak lucu yang bernama Ismail, selang beberapa waktu perintah Tuhan datang melalui mimpi. Mimpi tersebut mulanya diragukan Nabi Ibrahim, namun keraguan itu berubah dengan keyakinan yang mantap dan penuh kepasrahan kepada-Nya, tatkala Ismail hendak disembelih Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menggantikannya dengan seekor domba. Peristiwa ini diabadikan dalam bentuk anjuran penyembelihan binatang ternak yang kita kenal dengan kurban. Tradisi dan budaya berkurban tidak hanya dikenal dalam agama Islam, agama-agama lainnya pun mengenal tradisi demikian. Namun tradisi berkurban agama Islam dengan agama lainnya berbeda. Tradisi kurban dalam Islam tidak dengan menyiramkan darah binatang sembelihan ke tempat peribadatan dan dagingnya di lempar ke pintu, namun keikhlasan dalam berkurban itulah yang diserahkan kepada-Nya, sementara dagingnya diberikan kepada para fakir miskin (QS Al-Hajj 28). Dengan demikian, maka kurban tersebut mengandung unsur ketuhanan dan kemanusiaan. Dimensi ketuhanan diaplikasikan dengan bertakwa kepadanya, sedangkan dimensi kemanusiaan diaplikasikan dengan membagi daging kepada para fakir miskin. Hubungan kedua unsur di atas merupakan terapi psikologis kaum fakir miskin dan mengurangi angka kemiskinan serta kesenjangan sosial lainnya. Penyembelihan kurban juga pada hakikatnya mengandung nilai pendidikan anak yang luar biasa. Sebuah pendidikan kepada anak yang dicatat dengan tinta emas sebagai pendidikan ideal untuk membentuk anak yang saleh. Beberapa poin penting dalam pendidikan Nabi Ibrahim kepada anaknya mencakup visi, misi, kurikulum dan lingkungan dalam pendidikan anak. Yang paling utama adalah visi pendidikan Nabi Ibrahim dalam mencetak generasi saleh yang menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam penantian panjang, beliau berdoa agar diberi generasi saleh yang dapat melanjutkan perjuangan agama tauhid. Visi ini diabadikan dalam firman Allah SWT pada QS Ash Shaaffaat 100; \"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh\". Selain visi, juga mengandung misi pendidikan. Nabi Ibrahim mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Allah SWT secara totalitas. Ketaatan ini dimaksudkan sebagai proteksi agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah ada di sekitarnya. Lalu, ada kurikulum pendidikan Nabi Ibrahim yang patut diteladani. Muatannya telah menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi tilawah untuk pencerahan intelektual, tazkiyah untuk penguatan spiritual, taklim untuk pengembangan keilmuan dan hikmah sebagai panduan operasional dalam amal-amal kebajikan. (*) *Penulis adalah Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: