Kota Cirebon Darurat Batubara
Polusi Udara Merambah Rumah dan Sekolah Pencemaran debu batubara di Pelabuhan Cirebon sudah akut. Selain ke pemukiman warga, polusinya pun mulai merambah hingga ke sekolah-sekolah. SMK Muhammadiyah yang berlokasi di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk menjadi korbannya. Dampaknya, tidak sedikit siswa yang mengalami sesak napas. GURU SMK Muhammadiyah, Tri Utami SPd membeberkan, debu baturabara dari pelabuhan sangat berdampak bagi para siswa. Kondisi lantai sekolah menjadi kotor dan para siswa mengalami sesak napas. Tidak aneh kalau para siswa memilih menggunakan masker selama belajar di kelas, karena tidak tahan dengan debu batubara yang masuk ke ruangan. Kondisi ini, kata Tri, diawali keluhan debu dan efeknya dirasakan mengganggu pelajar. Keluhan awalnya saat membersihkan kelas, tetapi tidak berapa lama selalu kotor dengan debu. “Debu pagi dibersihkan, tapi tebal lagi di lantai, begitu terus sampai siswa pulang. Makanya, siswa capek begitu selesai dipel muncul lagi debu batubara,” ungkapnya. Pagi sampai siang, kata Tri, debu batubara terus berdatangan. Yang paling terasa di ruanga kelas lantai III. Debu tidak pernah hilang, begitu disapu dan dibersihkan menggunakan lap pel, beberapa menit kemudian datang lagi debu batubara berwarna hitam pekat. “Lantai III baru digunakan semester sekarang, dan langsung terasa efek debu batubaranya. Nyapu pagi sampai siang bisa mencapai 3-4 kali,” terangnya. Meski plastik transparan dipasang di atas jendela, tapi debu tetap bisa masuk. Karenanya, dengan kehadiran komisi C dirinya berharap dibantu menyelesaikan persoalan debu batubara ini. “Di kelas atas ada sekitar 60 siswa dari 280 jumlah siswa,” ungkapnya. Wakasek Hubungan Industri, Haris Setianugraha mengaku, dampak debu batubara mulai terasa sejak bulan Juli. Dari hari ke hari, dampak itu justru semakin terasa, sehingga memaksa para siswa menggunakan masker dalam kegiatan belajar mengajar. Sementara, Nurhasanah warga yang bermukim di RW 02 Pamujudan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk mengakui, keluhan warga memuncak sejak dua bulan terakhir. \"Sudah hampir tiga bulan ini kok belum ada penanganan langsung dari pemerintah. Yang saya tahu kan pernah ada program Sapa Warga, kenapa mereka gak turun langsung?\" ujarnya. Nurhasanah mengeluh dirinya dan warga sekitar terkena dampak akibat pencemaran batubara. Ia harus menyapu lantai rumahnya berkali-kali karena banyak debu batubara yang menempel. \"Saya nyapuin lantai terus, debunya banyak. Gak cuma itu, anak-anak juga pada sakit, kalau meludah itu ada hitam-hitamnya kayak debu batubara yang masuk,\" ungkapnya. Keluhan yang sama diutarakan Haryati. Perempuan paruh baya itu mengeluhkan pencemaran debu batubara yang berdampak pada kesehatan keluarganya. \"Setiap jam saya nyapu, debunya gak ilang-ilang banyak sekali. Bahkan saudara dan cucu saya sampai kena flek dan penyakit ISPA,\" ucapnya. Sebelumnya, masyarakat Kelurahan Panjunan mengeluarkan sikap resmi terkait aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan. Minggu (4/10), masyarakat Kelurahan Panjunan melakukan musyawarah bersama yang digagas Paguyuban Masyarakat Panjunan Bersatu (PMPB) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Panjunan di Hotel Baru. Musyawarah dihadiri Ketua RW Kelurahan Panjunan, Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Anggota DPRD Kota Cirebon, masyarakat dan sekolah yang terkena dampak batubara. Dalam pertemuan itu disepakati masyarakat Kelurahan Panjunan secara penuh menuntut segera penutupan aktivitas batubara di pelabuhan. \"Kesehatan anak-anak kita yang utama, percuma menerima duit, kami tidak akan mengharapkan itu. Semua sepakat uang CSR adalah racun bagi masyarakat. Jadi harga mati untuk menutup batubara,\" tukas Ketua RW Pagongan Timur, Anton Bambang Sugihartono. Ketua LPM Kelurahan Panjunan, Nurghozin mengatakan, pada dasarnya pihaknya bukan anti investor atau antibatubara. Namun ini didasari karena sudah 10 tahun masyarakat Panjunan terpaksa terus menghirup udara yang tercemar oleh debu batubara. Ketua Paguyuban Masyarakat Panjunan Bersatu, Kasno berharap agar pemkot memberikan kebijakan yang tepat untuk solusi batubara. Sebab langkah diplomasi dan persuasif sudah dilakukan. Secara hitungan pihaknya meminta uang kompensasi sebesar Rp14 miliar per tahun. Dengan syarat utama agar bisa meminimalisasi batubara terlebih dahulu. Terpisah, Anggota Komisi B, H Budi Gunawan berharap pengembangan pelabuhan akan mampu meningkatkan sektor bongkar muat pelabuhan. Jika selama ini 80 persen bongkar muat pelabuhan didominasi batubara, ke depan batubara diharapkan tidak lagi dominan, tapi bongkar muat dari sektor lain bisa mengalahkan batubara. Rencana pemerintah untuk menjadikan Pelabuhan Cirebon sebagai pendaratan sapi, menjadi angin segar dalam peningkatan perekonomian, sehingga geliat ekonomi Cirebon akan semakin hidup. Kalaupun ada desakan batubara ditutup, kata BG, dibutuhkan keberanian dari kepala daerah. Dia mencontohkan di salah satu pelabuhan di Sumatera pernah berhasil menyetop bongkar muat batubara di pelabuhan tersebut karena ada keinginan kuat dari kepala daerah. “Yang menjadi pertanyaan, beranikah walikota mengambil keputusan menyetop aktivitas bongkar muat batubara, jika memang dianggap merugikan kesehatan warga Kota Cirebon,” tukasnya. PENUTUPAN TUNGGU KEPUTUSAN BERSAMA Sementara itu, persoalan debu batubara yang berdampak buruk bagi masyarakat, membuat Pemerintah Kota Cirebon naik pitam. Tak tanggung-tanggung, eksekutif dan legislatif akan mengundang semua pihak termasuk muspida plus, KSOP dan PT Pelindo II Cirebon. Ketua DPRD Kota Cirebon Edi Suripno SIP MSi mengatakan, tanggal 1 dan 5 Oktober ini pihaknya sudah bertemu dengan walikota dan berbicara mengenai keluhan masyarakat Kota Cirebon akibat dampak dari debu batubara. “Dari hasil pertemuan, kita sepakat eksekutif dan legislatif, serta unsur muspida plus akan mengundang pihak KSOP dan pimpinan PT Pelindo II Cirebon untuk membuat satu kesepahaman mengenai dampak batubara bagi kesehatan masyarakat,” ujar Edi kepada Radar, Senin (5/10). Dia mengatakan, jika sudah satu kesepahaman setelah dikaji dampaknya membahayakan masyarakat, maka ketika bongkar muat batubara harus ditutup ya ditutup. Tapi, menunggu hasil kesepkatan dan kesepahaman bersama. “Secara ekonomi juga tidak ada dampak yang signifikan bagi masyarakat sekitar,” terangnya. Hal senada diungkapkan Walikota Cirebon Drs Nasrudin Azis SH. Dia mengatakan, penutupan stockpile batubara di Pelabuhan Cirebon bisa saja dilakukan. Namun, penutupan tersebut berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah kota dan PT Pelindo II Cirebon. “Selagi tidak merugikan siapapun, batubara ditutup pun tidak masalah. Asal, penutupan itu berdasarkan keputusan bersama,” kata Azis. Dia mengaku, pihaknya sudah menyampaikan kepada PT Pelindo II mengenai keluhan masyarakat atas debu batubara. Bahkan, pemerintah kota siap memfasilitasi masyarakat dengan Pelindo. “Minimalnya, Pelindo bisa meminimalisasi dampak dari debu batubara,” ucapnya. (abd/sam)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: