Gairah Hilang sejak Ditinggal Istri
Tirto Aris Munandar, Empu Gitar Indonesia yang Terpaksa Berhenti Berkarya Ditinggal wafat sang istri membuat empu gitar Indonesia, Tirto Aris Munandar, seperti kehilangan pegangan. Ditambah penyakit yang menderanya, kini dia benar-benar berhenti berkarya. SUGENG SULAKSONO, JAKARTA ENTAH dari mana Diego mengetahui alamat rumah Tirto Aris Munandar (68). Warga negara Brasil itu pada awal 2015 tiba-tiba nongol di rumah pria yang banyak dijuluki empu gitar tersebut. Di sebuah gang sempit yang hanya cukup dilewati orang dan sepeda motor di kawasan Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Tirto masih ingat, kala itu Diego datang dengan tergopoh-gopoh sambil membopong upright bass atau bas betot. Alat musik yang sering dijumpai pada pementasan musik keroncong tersebut membutuhkan penanganan karena neck (leher)-nya bengkok. Sehingga, nada yang dihasilkan tidak lagi presisi. ”Dia bilang musisi dari Brasil. Dia harus segera perbaiki upright bass-nya karena akan digunakan. Saat itu, dia sedang memperdalam musik tradisional di Indonesia,” kisah Tirto. Diego rupanya tidak tahu bahwa sang empu sudah dua tahun tidak lagi berkarya. Ada penyakit yang menyerang sekitar pinggang Tirto sehingga tidak sanggup lagi berdiri lama. “Paling berdiri sekitar satu, dua jam saja sudah tidak kuat,” aku pria kelahiran Magelang, 14 September 1947, itu. Kini kuku di seluruh jari tangannya sudah memanjang sekitar 5 cm. Dari tanda itu saja kelihatan bahwa dia tidak lagi memegang perkakas kerjanya. “Ini sudah dua bulan sepertinya belum saya potong. Habis, begitu saya coba potong, tidak kuat (tangannya sudah tidak kuat memotong kuku sendiri, red). Ya sudah, tidak jadi saya potong,” ucapnya pasrah. Namun, Diego tidak mau menyerah. Selain sudah berjuang agar bisa sampai ke rumah Tirto, tujuannya ke Indonesia tak tercapai jika alat musiknya tidak diperbaiki. Akhirnya, Diego disuruh memperbaiki sendiri alat musik tersebut dengan bimbingan langsung Tirto. Seminggu lamanya Diego diarahkan Tirto untuk memperbaiki alat musik itu. Seluruh leher basnya dicopot, kemudian diganti dengan kayu baru. Setiap hari Diego datang, lalu pulang ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan saat hari mulai gelap. “Begitu selesai, senangnya bukan main,” kata Tirto, lantas menunjukkan neck upright bass lama milik Diego yang sudah dicopot. Tirto sempat menanyakan kepada Diego, dari mana dia tahu keberadaan dirinya? “Bapak terkenal di Amerika Serikat. Di kalangan musisi, terutama di sekolah musik, sering dibicarakan,” ujar Tirto menirukan ucapan Diego. Ketika masih sehat, banyak musisi dalam dan luar negeri yang memesan gitar dan bas kepadanya. Terutama jenis akustik, sesuai keahliannya. Sebagai bukti, nama dan tanda tangan mereka tergores di sebuah kain besar yang terbingkai dan terpajang di dinding rumah Tirto. Beberapa nama terbaca. Di antaranya, musisi asal Amerika Serikat John Hall dan Mike ONeill asal Kanada. Dari dalam negeri, banyak gitaris ternama yang merasakan karyanya seperti Dewa Budjana, Gugun Blues Shelter, Piyu Padi, dan Ridho Slank. Juga para basis ternama seperti Mates, Pongky Manulang, dan Tony Q. Selain itu, dia mendidik beberapa orang yang kini menjadi seniman gitar. Salah seorang di antaranya Engkos Koswara yang memproduksi gitar Koz di Sidoarjo, Jawa Timur. Karyanya yang sudah jadi, namun tetap tersimpan saat ini tinggal satu gitar akustik jenis semi hollow body dan bas akustik elektrik. Gitar bas itulah yang dipinjam Pongky Manulang untuk mengisi album terakhir Bubi Chen sebelum meninggal dunia. Di ruang tamu rumah sederhananya, Tirto memperlihatkan gitar akustik setengah jadi. Sudah dua tahun gitar itu terbengkalai. Tidak lagi diteruskan pengerjaannya. Di lantai 2 rumah dengan luas tanah hanya 50 meter persegi itu, masih ada lagi gitar pesanan yang baru proses tahap awal. Dua nama sang pemesan tertulis pada secarik kertas yang ditempel di lemari. Yakni, atas nama Adi dan Bobby. Para pemesan masih setia menunggu meski tahu bahwa kondisi Tirto tidak memungkinkan untuk menyelesaikannya. Di gudang kecil yang terdapat di lantai 3, ada belasan gitar akustik dan bas lainnya dalam kondisi setengah hancur. Seluruhnya milik para musisi, baik yang sudah masuk industri maupun musisi nonselebriti yang berharap mendapat perbaikan sang empu. “Kalau orang lain, luthier (seniman pembuat gitar, red) lain, tidak mau kalau servis. Kalau saya, silakan saja. Saya perbaiki,” ucapnya. Kelesuan Tirto dalam berkarya dimulai saat sang istri, Ratri Prihatin, meninggal pada September 2013. “Padahal, yang sakit duluan itu saya. Eh, kok malah dia meninggal duluan,” ucapnya, lirih. Ratri yang dinikahinya pada 1978 mengidap penyakit kista. Saat sang istri masih hidup, meski sakit, Tirto tidak pernah berhenti berkarya. Ketika harus naik ke lantai 2 melewati tangga kecil, istrinya menemani, memegangi, kemudian mengawasi. Namun, sepeninggal Ratri, Tirto benar-benar berhenti berkarya sampai kemudian tubuhnya tidak lagi terbiasa bekerja dan akhirnya sulit untuk kembali memulainya. “Sebenarnya, sekarang otaknya sudah sehat. Tinggal badannya yang belum,” kata Tirto meyakinkan. Sehari-hari Tirto tinggal seorang diri. Hanya seorang pembantu dari tetangga yang datang setiap pukul enam pagi untuk membersihkan rumah, mencuci piring dan pakaian, lalu pulang lagi sebelum pukul sembilan pagi. “Maka, kalau butuh apa-apa, saya pagi-pagi minta tolong semua ke dia. Rumahnya tidak jauh, tetangga rumah,” ujarnya. Dua buah hatinya, Tato Nugroho dan Rinda Dini Aryanti, sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing. Jika memungkinkan, secara bergantian pada akhir pekan mereka datang menjenguk Tirto. Ikut datang juga sang cucu, Risang Riyu, yang berusia lima tahun. Sekitar empat tahun lalu, Tirto sebenarnya masih produktif. Dia memiliki delapan karyawan dan usaha kecil dan menengah (UKM) produsen gitar. Workshop-nya terletak di sebuah rumah depan tempat tinggalnya saat ini. Kini, rumah itu sudah berpindah tangan. Karyawannya juga dibubarkan. Ketika masih produktif, Tirto sebenarnya tidak sedikit menerima tawaran investor agar berubah menjadi pabrikan. Namun, seluruhnya ditolak karena dia mulai merasakan ada hawa mengincar uang banyak tanpa memedulikan detail dan kualitas karya. Terlebih, baru dari obrolan saja, dia merasa akan lebih banyak diatur pemilik modal. “Buat apa tidur mewah di hotel, tapi celingak-celinguk. Lebih baik tidur di teras rumah saya sendiri, tapi merdeka,” pikirnya. Toh, kata dia, berkarya sendiri saja bisa menghidupi keluarga. Kedua anaknya bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi. “Prinsip saya, asal jangan senar (gitar) putus, hidup akan terus berjalan,” ujarnya, lantas tersenyum. (*/c6/nw)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: