Naik, Berguling, lalu Terhempas Jatuh
KNKT Paparkan Hasil Investigasi AirAsia QZ8501 JAKARTA- Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya merilis hasil investigasi terkait insiden kecelakaan AirAsia QZ8501 yang terjadi 28 Desember tahun lalu. Penyelidikan yang memakan waktu hampir satu tahun itu menghasilkan temuan soal rentetan faktor penyebab jatuhnya Airbus 320 di perairan Selat Karimata itu. Dimulai dari faktor perawatan komponen pesawat AirAsia yang belum ideal. Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono melaporkan kronologi insiden tersebut dimulai pada 06.01 WIB 28 Desember. Saat itu, flight data recorder (FDR) mencatat terdapat gangguan pada sistem pesawat terkait pengontrol gerakan sirip ekor pesawat atau dikenal rudder travel limiter unit (RTLU). Gangguan tersebut disebutkan berasal dari retakan solder pada electronic module di RTLU. “Saat gangguan pertama, kedua pilot menanggulanginya sesuai prosedur yang tertera di electronic centralized aircraft monitoring (ECAM). Namun, alarm dengan gejala yang sama berulang selama tiga kali lagi. Intervalnya pun terus memendek dari delapan menit, empat menit, kemudian dua menit. Total alarm menyala kami catat sebanyak empat kali,” terangnya di Gedung KNKT, Jakarta, kemarin (1/12). Dalam tiga penanganan pertama, awak pesawat sudah menggunakan prosedur yang sesuai. Namun, pada gangguan terakhir, prosedur yang digunakan berbeda dari penanganan sebelumnya. Dalam laporan FDR, KNKT mencatat adanya upaya mereset Flight Augmented Computer (FAC) 1 dengan melepas cicuit breaker. Hal tersebut juga kemudian disusul dengan upaya mereset dengan FAC 2. “FAC 1 dan 2 ini adalah komputer yang mengatur auto pilot di pesawat. FAC 1 ada di sisi pilot dan FAC 2 ada di sisi kopilot. Namun, awak pesawat rupanya mencoba mereset kedua komputer. Padahal, setelah kedua FAC hidup perlu ada langkah selanjutnya untuk mengaktifkan sistem autopilot,” ungkap investigator in charge dari KNKT, Mardjono Siswosuwarno. Dalam situasi autopilot mati, rupanya rudder atau sirip ekor pesawat sudah berada dalam kondisi kemiringan dua derajat. Hal tersebut membuat pesawat bergerak miring dengan kecepatan enam derajat per detik. “Dalam catatan kami, pesawat pun tak dikendalikan selama sembilan detik saat proses tersebut. Hasilnya, pesawat miring 54 derajat ke kiri,” terangnya. Kondisi tersebut, lanjut dia, pun sempat dinetralisirkan secara manual oleh pilot. Pesawat pun kembali ke kemiringan sembilan derajat ke kiri. Namun, pesawat kembali miring ke kiri beberapa detik kemudian hingga mencapai 53 derajat. Untuk mencapai itu, kopilot menggunakan manuver yang mirip secara manual. “Namun, entah kenapa manuver tersebut juga membuat elevasi moncong pesawat terus ke atas. Disinilah kami menemukan semacam misinterpretasi. Pilot memerintahkan kepada kopilot dengan instruksi pull down,” ujarnya. Mardjono menilai bahwa instruksi tersebut cukup ambigu. Mungkin maksud dari pilot adalah agar moncong pesawat diturunkan. Namun, pull sendiri artinya menarik. Sehingga, KNKT mencatat ada tindakan menarik sidestick dari kopilot yang menyebabkan arah moncong justru makin tinggi. “Memang, belum ada call out (instruksi lisan) yang baku untuk keadaan seperti ini. Hal ini sudah kami masukkan ke rekomendasi agar dibakukan sehingga tidak ada misinterpretasi seperti ini,” terangnya. Sementara itu, Plt Kepala Sub Komunikasi Investigasi Kecelakaan Transportasi Penerbangan Nurcahyo Utomo mengatakan, peristiwa tersebut merupakan serangkaian rentetan penyebab. Jika ditarik lebih jauh, faktor perawatan pesawat dari maskapai AirAsia juga turut berperan. Dalam investigasi tersebut, KNKT menemukan bahwa RTLU pada armada tersebut sudah sering dilaporkan menderita gangguan. “Tahun ini, sudah ada 23 gangguan yang terjadi pada RTLU terhadap pesawat tersebut. Frekuensinya pun semakin meningkat seiring bulan berjalan. Dari sebulan sekali gangguan hingga desember yang mencatat sembilan gangguan,” ungkapnya. Memang, dia menegaskan, retakan solder tersebut tak mengganggu kinerja pesawat secara kesuluruhan. Jika saja alarm tersebut dibiarkan, penerbangan bisa dilakukan seperti biasa. Namun, alarm tersebut memang bisa mengganggu para awak pesawat. “Bayangkan, sudah tiga kali ditangani sesuai prosedur tetap saja muncul lagi. Karena itu mungkin mereka mencoba menggunakan cara lain. Asumsi kami, pilot mencoba solusi yang dilihat dari tim teknisi saat pesawat di Surabaya. Menurut investigasi, pilot memang sempat melihat pesawat diperbaiki teknisi pada 25 Desember dengan gejala yang sama. Saat itu, teknisi memang mencabut circuit breaker FAC,” jelasnya. Karena itulah, KNKT memberikan rekomendasi agar semua Post Flight Report (PFR) bisa didokumentasikan dan ditindaklanjuti sebagai evaluasi armada. Selain rekomendasi itu, pihaknya mengaku sudah mengeluarkan 51 tindakan perbaikan lainnya. Misalnya, menganjurkan agar AirAsia mengadakan training kepada pilot dalam keadaan seperti insiden QZ8501. Dia menjelaskan, kasus tersebut bisa dicegah jika saja awak pesawat tahu menangani pesawat dengan kondisi miring cukup tinggi atau biasa disebut upset. Namun, rupanya Airbus sendiri tidak merekomendasikan upset recover training untuk pilot pesawat jenis tersebut karena yakin pesawat tidak akan mencapai kemiringan yang drastis. “Nah dengan temuan ini kami temukan ada kemungkinan itu. Jadi, kami rekomendasikan agar pilot Airbus bisa mendapatkan pelatihan upset recover training juga. Kalau Airasia kami perhatikan sudah mulai melakukan training tersebut,” terangnya. Sementara itu, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Muhammad Alwi menegaskan, pihaknya sudah mulai melakukan evaluasi kebijakan dan pengawasan beradasarkan hasil investasi tersebut. Pihaknya mengaku fokus untuk melakukan audit keamanan untuk penerbangan di Indonesia. “Bukan hanya untuk Airasia saja. Tapi semua operator yang mengoperasikan Airbus 320 di Indonesia. Karena rupanya kami temukan bahwa pesawat jenis ini pun masih ada kemungkinan mengalami kondisi upset,” terangnya. Terkait sanksi untuk Airasia, pihaknya mengaku masih harus mempertimbangkan lagi. Menurutnya, pihaknya harus mencari tahu apakah perbaikan pesawat sudah dalam kondisi pantas terbang. Karena dalam kasus tersebut terjadi kerusakan berkali-kali. Mengomentari hasil investigasi KNKT, mantan Danlanud Iskandar Pangkalan Bun yang menangani operasi SAR Air Asia Letkol (Pnb) Jhonson Simatupang mengatakan, dalam penerbangan prosedur perawatan ada yang namanya pemeliharaan (har) minor maupun mayor. Ada pula yang namanya prosedur Go Item atau No Go Item. “Itu semua mengatur keselamatan penumpang. Sekecil apapun kerusakan yang terdeteksi sejak awal harusnya segera ditindaklanjuti,” ujar Jhonson. Menurut dia, jika kerusakan terdeteksi di darat harus diperbaiki dulu sebelum terbang. Nah kalau kerusakan terjadi saat terbang, pilot harusnya segera mencari landasan terdekat Apalagi jika hal itu menyangkut kerusakan flight control. Beberapa kali warning yang terjadi di Air Asia QZ 8501 menurut Jhonson mestinya tidak bisa diabaikan. “Saya belum paham prosedur mereka (Air Asia), tapi harusnya ya sama saja antara penerbangan militer dan sipil,” ujar perwira yang lama bertugas sebagai instruktur di Akademi TNI AU itu. Jhonson yang kemarin baru mendapatkan job promosi di Mabes TNI AU itu mengatakan manual control dalam penerbangan masa kini harusnya sudah bisa menjadi second opinion atau autopilot bagi penerbang yang menerbangkan airlines. Sementara itu, AirAsia Indonesia langsung merespon hasil investigasi KNKT atas kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura itu. Maskapai didirikan pengusaha Malaysia, Tony Fernandes itu mengaku siap mengambil pelajaran dan memerbaiki pengelolaan dari tragedy tersebut. Presiden Direktur AirAsia Indonesia, Sunu Widyatmoko, mengatakan sesuai dengan laporan KNKT bahwa penyebab dari peristiwa itu merupakan kombinasi dari berbagai faktor. ”Kami mengucapkan terima kasih kepada KNKT dan seluruh pihak terlibat dalam investigasi. Ada banyak pelajaran dapat diambil bagi industri penerbangan secara keseluruhan dan kami senantiasa berdedikasi dalam memastikan standar keselamatan AirAsia Indonesia tetap berada pada level tertinggi di industri,” kata dia dalam keterangan resmi, kemarin. Setelah tragedi tersebut, Sunu mengatakan, pihaknya menggandeng mantan regulator Federal Aviation Administration (FAA) dan Bureau Veritas untuk memberikan rekomendasi dalam peningkatan standar keselamatan maskapainya. ”Kami juga melakukan beberapa inisiatif safety sebelum laporan KNKT dikeluarkan. Termasuk juga menambahkan pelatihan upset recovery ke dalam silabus recurrent training,” akunya. Selain itu juga menambahkan sesi pelatihan simulator dalam pelatihan awal dan implementasi sistem Airman yang akan memberikan pengawasan secara realtime terhadap sinyal masalah di pesawat (aircraft fault messages). ”AirAsia berkomitmen secara berkelanjutan mengembangkan dan meningkatkan proses keselamatan agar sesuai dengan standar keselamatan internasional tertinggi,” tekadnya. (bil/gun/gen)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: