Menyikapi Kiprah Rio Nanti

Menyikapi Kiprah Rio Nanti

Ayo bicara soal Rio Haryanto lagi. Karena dia benar-benar sudah masuk Formula 1. Bagaimana kita menyikapi kiprahnya nanti? Apa ukuran suksesnya? *** Saya sudah beli tiket pesawat. Saya sudah booking hotel. Walau sebenarnya sudah ”pensiun” dari dunia liputan/komentator/pengamat Formula 1, saya benar-benar ingin menjadi bagian dari sejarah. Saya ingin berada di Melbourne, Australia, pada 18–20 Maret nanti, ketika sejarah mencatat kiprah perdana pembalap Indonesia di sebuah grand prix F1. Saya ingin melihat langsung kiprah Rio Haryanto, yang juga akan ditayangkan ke seluruh dunia. Di Indonesia, mungkin hanya ada beberapa orang yang tergolong ”wartawan tetap peliput F1”. Yang paling sering hadir langsung di lomba mungkin adalah Bobby Arifin, kontributor Jawa Pos saat ini. Lalu saya (paling tidak antara 2000–2010), lalu pengamat idola saya dulu, Arief Kurniawan (Bola). Puluhan kali kami meliput langsung ke sirkuit, tidak pernah mendapatkan sensasi punya bintang dari negara sendiri. Iri rasanya melihat wartawan-wartawan Jepang bergerombol mewawancara pembalap negaranya sendiri. Malah sempat merasa ”kalah” ketika Malaysia juga punya pembalap di ajang balap paling bergengsi tersebut. Sekarang akan beda. Ada bintang Indonesia di F1. Bobby Arifin nanti juga akan di sana, dan rasanya kami berdua akan berjalan sedikit lebih gagah di hadapan ratusan perwakilan media lain di paddock F1 di Sirkuit Albert Park, Melbourne. Akhirnya, kami bisa lebih ”gaya” sedikit. Tidak sekadar meliput tentang bintang dari negara lain! Wkwkwkwk… Dan di F1 tahun ini, tidak ada pembalap Jepang. Tidak ada pembalap Amerika Serikat. Dan belum pernah ada pembalap Tiongkok. Bukan hanya itu yang membuat saya ekstrabangga. Sudah lama tidak ada bintang olahraga Indonesia yang tampil di panggung utama sebuah global sport. Ya, ada banyak atlet Indonesia yang berkiprah di Olimpiade. Tapi, belum tentu di cabang yang layak disebut sebagai ”global sport”. Saya menggarisbawahi, bulu tangkis pun mungkin belum termasuk global sport, yang notabene harus memiliki popularitas tinggi di berbagai penjuru dunia. Bukan sekadar populer di beberapa negara. Dan di dunia ini, hanya Olimpiade dan Piala Dunia Sepak Bola yang bisa menyaingi atau mengalahkan Formula 1 dalam hal exposure media. Olimpiade dan Piala Dunia masing-masing hanya berlangsung empat tahun sekali. Sedangkan tahun ini saja, F1 akan menyuguhkan 21 lomba di berbagai benua, masing-masing ditayangkan ke lebih dari 200 negara. *** Pada Happy Wednesday 58 edisi pekan lalu, Letupan Rio, ternyata tulisan saya mendapat respons cenderung lebih heboh jika dibandingkan dengan kebanyakan tema lain. Padahal, ini tema yang agak spesifik, di arena olahraga, khususnya balap. Banyak juga yang meminta saya untuk kembali menulis soal Rio. Khususnya penggemar berat F1 yang dulu mungkin suka dengan tulisan atau gaya liputan saya atau suka dengan gaya komentator saya saat tayangan langsung F1 di RCTI, TPI, dan Global TV. Nah, ini satu lagi tulisan soal Rio. Sebelum melanjutkan, saya harus kembali mengingatkan: Saya tidak kenal dekat dengan Rio. Tidak akan pura-pura mengaku atau sok akrab dengan pembalap 23 tahun itu. Saya banyak kenal baik dengan pembalap-pembalap generasi sebelum ini karena memang seumuran/seangkatan. Setelah tulisan sebelum ini, masih banyak yang bertanya kepada saya tentang masuknya Rio di F1. Berbagai penjelasan di berbagai media rasanya belum tercerna dengan baik (atau mereka malas membaca lebih jauh dari judul?). Pertama, apakah Rio benar-benar layak masuk F1? Jawabannya adalah sangat, sangat mutlak ”ya”. Rio sudah berjuang keras untuk meraih prestasi di jenjang sebelum F1. Dia mampu memenangi lomba di arena GP2, jenjang tertinggi sebelum F1. Bahkan, tahun lalu peringkat empat. Ada banyak pembalap F1 yang karir juniornya tidak sebaik Rio! Kedua, mengapa harus bayar? Nah, ini yang mungkin harus diperjelas definisinya. Mungkin penjelasan yang lebih tepat adalah: Rio harus membawakan sponsor untuk tim yang akan menaunginya. Jadi, bukan membayar seperti kita mau naik roller coaster. Di F1, ini merupakan praktik normal sejak zaman baheula. Banyak pembalap membawa dana sponsor (atau bahkan mensponsori dengan uang pribadi) untuk dapat kesempatan berlaga di F1. Termasuk di antaranya para world champion seperti Michael Schumacher dan Niki Lauda. Bukan hanya di F1, di banyak cabang olahraga lain praktik itu juga masih berlangsung. Di Italia, misalnya, untuk menjadi pembalap sepeda profesional, seseorang masih diminta untuk mendatangkan dana sponsor. Sampai hari ini. Mahal? Ya. Karena F1 memang mahal. Setiap tim mungkin butuh sedikitnya USD 100 juta untuk bisa menurunkan dua mobil selama semusim. Kalau melihat angkanya, dana sponsor yang dibawakan Rio untuk tim Manor tergolong ”pemain kecil”. Sebagai perbandingan, tim seperti Ferrari bisa dengan mudah mengeluarkan lebih dari USD 250 juta semusim. Dana sponsor yang dibawakan Rio mungkin tidak cukup untuk membayar gaji superstar seperti Fernando Alonso, Sebastian Vettel, dan Lewis Hamilton. Di F1, tim mendapatkan dana utama dari pembagian hak siar televisi. Khususnya bagi tim yang masuk sepuluh besar. Semakin tinggi peringkat, semakin banyak uang didapat. Baru kemudian dari sponsor. Kalau kurang, ya pembalapnya diminta ikut mencarikan sponsor. Karena kondisi ekonomi global, praktis hanya tiga atau empat tim teratas yang tidak butuh bantuan pembalap. Peringkat lima dan seterusnya, hampir semua mendapatkan bantuan dana sponsor yang dibawakan oleh pembalap. Pertanyaan ketiga: Manor kan ”tim kecil”, apakah Rio bakal bisa meraih kesuksesan? Ini berlanjut dengan pertanyaan keempat: Apa alat ukur kesuksesan Rio di F1 tahun ini? Ini bergantung sudut pandang masing-masing. Juga bergantung mindset awal yang menilai. Kalau dari awal positif mendukung, bisa berkiprah saja sudah sebuah kesuksesan besar. Kalau mindset-nya dari awal sudah negatif, ya akan terus mencibir. Ingat lagu Taylor Swift, bukan? Haters gonna hate, hate, hate… Ya, Manor tim kecil untuk ukuran F1. Dan di F1, kemampuan pembalap bisa tenggelam oleh ketidakmampuan lingkungannya. Hitungan gampangnya begini. Untuk menang di F1, butuh peran 30 persen pembalap, 30 persen mobil (sasis), 30 persen mesin, 10 persen dan luck alias keberuntungan. Dengan regulasi mesin hybrid baru, peran mesin mungkin menjadi 40 persen, mobil dan pembalap masing-masing turun 5 persen. Nanti, ketika regulasi stabil lebih lama, baru situasi kembali makin imbang dan kembali ke rumus lama 30-30-30-10. Kalau melihat rumus sukses itu, situasi Rio sedikit lebih melegakan. Sebab, Manor pakai mesin Mercedes, yang dianggap terbaik di F1 saat ini. Dan Mercedes sudah menjamin semua tim yang memakai mesinnya akan mendapatkan spesifikasi sama, tidak ada anak tiri. Berarti, mesin Rio sama dengan yang dipakai tim utama Mercedes, Williams, dan Force India. Kalau mobil Manor ternyata lumayan saja, ini berarti Rio punya kans meraih poin. Kalau saya pribadi, bisa tampil konsisten sepanjang musim, menunjukkan kelas sebagai pembalap F1 yang profesional, sudah bisa dianggap sukses. Kalau bisa meraih satu poin saja, itu sesuatu yang sangat spektakuler! Malaysia boleh duluan masuk F1, tapi Malaysia belum pernah mendapatkan poin di F1 (Alex Yoong pernah finis ketujuh pada GP Australia 2002, tapi waktu itu poin hanya sampai peringkat keenam). Uji coba perdana F1 2016 sekarang sedang berlangsung di Barcelona, Spanyol. Tanda-tandanya Manor bakal bisa bersaing dengan papan tengah… Sukses juga bisa dinilai dengan exposure media. Walau bukan papan atas, sebenarnya ada ”minimum exposure” yang diberikan F1 untuk semua tim yang terlibat dalam lomba. Jadi, Rio dan/atau mobilnya pasti akan mendapat sorotan kamera, ditayangkan ke lebih dari 200 negara. Kalau mau menghitung media value-nya, dana sponsor yang dikeluarkan mungkin tidak ada apa-apanya. Apalagi kalau Rio sampai membuat sensasi positif saat lomba. Saya orang media dan aktif mengikuti perkembangan media di luar negeri. Percayalah, selama ini mungkin Indonesia hanya mendapat sorotan global di saat terjadi kerusuhan atau serangan teroris. Sekali-sekali ada kiprah anak bangsa yang terekspos secara global baik juga, bukan? Karena juara olimpiade matematika tidak akan mendapat sorotan media global. Karena juara bulu tangkis pun belum tentu mendapat sorotan media yang benar-benar global (saya penggemar berat dan dulu pernah tiga tahun ikut klub Djarum, jadi penggemar bulu tangkis tolong jangan tersinggung tentang realitas ini). Anyway, tidak sabar rasanya menunggu bulan Maret. Terbang ke Melbourne, meliput/menonton kiprah perdana Indonesia di panggung utama Formula 1. Rasanya semangaaaat sekali walau sambil ikut menjaga ekspektasi… (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: