Ekonomi Pulih, tapi Jangan Sampai Terlena
JAKARTA- Usai melewati keterpurukan ekonomi akibat perlambatan yang terjadi beberapa tahun belakangan, kini otimisme perbaikan ekonomi yang lebih cerah terus muncul dari berbagai pihak. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo adalah salah satu yang paling yakin tahun ini pertumbuhan ekonomi bakal terus bangkit dan melaju dari keterpurukan. “Untuk tahun 2016, perekonomian Indonesia diprakirakan tumbuh 5,2-5,6 persen dan terus berada dalam tren yang meningkat dalam jangka menengah,” ujarnya di sela acara peluncuran buku Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2015 di Jakarta, Kamis (28/4). Keyakinan tersebut dilandasi oleh makin solidnya bauran kebijakan moneter, fiskal, dan reformasi struktural yang dijalankan secara disiplin, hati-hati, konsisten, dan terukur dalam sebuah kerangka koordinasi yang bersinergi. Agus sangat yakin perekonomian Indonesia ke depan akan tumbuh lebih kuat, berimbang, dan berkesinambungan. Dia juga menekankan pentingnya reformasi struktural yang harus diimplementasikan secara konsisten. Hal itu, lanjutnya, diyakini menjadi pendorong pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian. “Di sektor keuangan, reformasi struktural juga bertujuan untuk memperkuat fundamental ekonomi terkait terjaganya likuiditas. Sedangkan di sektor riil, reformasi struktural juga bertujuan untuk mendorong daya saing industri nasional. Paling tidak, keunggulan ada di dua bidang, yakni kemaritiman dan pariwisata,” jelasnya. Senada dengan Agus, Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara menyampaikan optimisme serupa. “Optimisme sektor swasta bangkit didorong percepatan anggaran pemerintah, sektor swasta optimismenya mulai bangkit sehingga perlu kredit. Dari situ bank mulai beri kredit,” tuturnya. Namun, Mirza juga menekankan agar Indonesia tidak boleh terlena karena situasi ekonomi saat ini yang berangsur stabil. Sentimen-sentimen eksternal masih perlu diwaspadai memberikan pengaruh yang cukup besar pada perekonomian dalam negeri. “Sekarang situasinya sudah jauh lebih stabil, tapi tetap kita tidak boleh terlena. Stabilnya karena suku bunga The Fed kenaikan keduanya mungkin tidak dalam waktu yang dekat. Sektor swasta masih menunggu apakah kestabilan ini permanen atau tidak,” jelasnya. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi 2016 diproyeksi membaik, namun Indonesia masih harus mewaspadai pemulihan ekonomi global yang masih lamban. “Faktor eksternal sulit kita kontrol, jadi kita fokus benahi faktor internal,” ujar Wapres JK. Karena itulah, reformasi ekonomi melalui deregulasi perizinan terus digalakkan untuk menggenjot investasi yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Selain itu, tingginya bunga perbankan yang selama ini menjadi salah satu penghambat ekspansi usaha, juga terus ditekan. “Makanya, kita benar-benar tekankan target single digit (suku bunga kredit korporasi) tahun ini,” katanya. Staf Khusus Wakil Presiden bidang ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin menambahkan, berdasasr proyeksi Bank Indonesia (BI) maupun lembaga keuangan internasional, perekonomian Indonesia pada 2016 memang menunjukkan potensi pemulihan setelah beberapa tahun terakhir melambat. “Apalagi data-data di awal tahun ini, semuanya menunjukkan optimisme,\" ucapnya. Sebagaimana diketahui, BI memproyeksi ekonomi Indonesia pada 2016 bakal tumbuh di kisaran 5,2-5,6 persen. Adapun Bank Dunia memproyeksi angka 5,1 persen dan International Monetary Fund (IMF) hanya 4,9 persen. Sementara pemerintah dalam APBN 2016 maupun Rancangan APBN Perubahan 2016 tetap mematok target 5,3 persen. Semuanya lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 yang hanya 4,79 persen. Menurut Wijayanto, beberapa indikator yang menunjukkan grafik peningkatan di awal tahun ini di antaranya adalah peningkatan setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN), naiknya konsumsi listrik, serta naiknya penjualan ritel. Nah, karena konsumsi memegang porsi 60 persen dari ekonomi Indonesia, maka naiknya konsumsi bakal mendorong laju pertumbuhan ekonomi. “Itu salah satu alasan kita tetap optimistis,\" katanya. Sementara itu, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menuturkan, ada beberapa risiko fiskal dalam postur APBN tahun ini. Rendahnya penerimaan negara tahun lalu, cukup memberikan risiko bagi penerimaan tahun ini. Kemudian, harga minyak dunia juga belum membaik. Akibatnya penerimaan migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun anjlok. Untuk menambal anjloknya penerimaan tersebut, pemerintah memutuskan melakukan efisiensi dalam pengeluara negara. “Terutama belanja operasional. Kita sedapat mungkin tidak menyentuh belanja modal. Makanya kita siap revisi APBN. Revisi akan kita submit (ajukan) ke DPR bulan Mei-Juni,\" papar Suahasil di Gedung BI, kemarin. Suahasil menguraikan, dalam revisi tersebut, dipastikan adanya potensi pelebaran defisit. Hal tersebut sudah otomatis, karena adanya penambahan pembiayaan. Dia menguraikan, penambahan pembiayaan tersebut setidaknya Rp46 triliun. “Rinciannya tambahan Rp46 triliun itu, sebanyak Rp19 triliun diambil dari sisa anggaran kemarin (tahun 2015). Sisanya yang sekitar Rp26 triliun-Rp27 triliun diambil dari pasar (utang). Kami sadar betul pelebaran defisit ya perginya ke pasar,\" urai Suahasil. Karena itu, lanjut dia, dalam APBN-P 2016 harus ada terobosan kebijakan soal penerimaan pajak. Terobosan itu bisa memalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Tapi, selain dua upaya itu, pemerintah juga berharap banyak pada kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Pemerintah pun menginginkan kebijakan pengampunan pajak tersebut bisa menjadi bagian dari APBN-P 2016 nanti. “Dalam APBN-P (2016) nanti, harus ada terobosan dalam pajak. Apa itu? Ya pengampunan pajak,\" lanjutnya. Suahasil mengakui, kebijakan pengampunan pajak itu mengundang kontroversi. Namun, dia menekankan, ada dua dampak besar bagi perekonomian Indonesia jika tax amnesty diberlakukan. Yang pertama, dengan adanya kebijakan tersebut, akan ada declare (deklarasi) dari aset yang belum dilaporkan dan repatriasi aset yang tadinya diluar negeri ke dalam negeri. Sebagai informasi, tarif tebusan dalam tax amnesty bervariasi.Tarif tebusan yang berlaku untuk pelaporan harta adalah 2 persen untuk 3 bulan pertama, kemudian 4 persen untuk tiga bulan kedua dan 6 persen untuk enam bulan selanjutnya. Sementara untuk tarif tebusan yang berlaku atas repatriasi adalah 1 persen untuk tiga bulan pertama, 2 persen untuk tiga bulan kedua dan 3 persen untuk enam bulan selanjutnya. “Kemudian dampak yang kedua, adalah penerimaan. Impact pada penerimaan besarnya berapa ya belum ada datanya, karena itu kan unreported asset (aset yang tidak dilaporkan). Tapi kita punya timing yang bagus karena di 2017-2018, akan masuk eranya pertukaran informasi (automatif exchange of information), termasuk informasi transaksi. Kita pakai itu,\" paparnya. Optimisme juga datang dari para pelaku bisnis. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengakui sekarang ini pemerintah terlihat serius menggerakkan ekonomi nasional dan memperkuat industri. \"Kita merasa pemerintah serius membantu para pengusaha untuk berbisnis di Indonesia. Hal itu terbukti dari banyaknya paket kebijakan ekonomi,\" ujarnya, kemarin (28/4). Selain itu, keseriusan pemerintah juga terlihat dari gencarnya pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Oleh karena itu ia menilai sebagian paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sudah mulai berjalan. Namun sebagian lagi masih tidak efektif. Beberapa program listrik yang dijanjikan pemerintah tidak dirasakan pelaku usaha. Salah satunya mengenai penurunan tarif listrik industri yang ternyata tidak terlaksana. \"Katanya akan beri diskon ternyata tidak terjadi. Di lapangan ternyata kenyataannya berbeda,\" ketusnya. Menurutnya PLN sekarang mengalami masalah pembinaan. Dia mengusulkan agar Menteri BUMN men-setting PLN supaya tak hanya mengejar keuntungan. \"Perlu di-review betul-betul direksinya, khususnya direktur utamanya. Kalau nggak bisa yah diganti saja agar lebih pro industri,\" tegasnya. Di tempat yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan pihaknya melihat angin segar pada perbaikan ekonomi Indonesia mulai terasa. “Di 2016 kita optimis. Kalau di 2015 kita benar-benar mempunyai banyak kekhawatiran. Kekhawatiran mata uang, ramai-ramai di pemerintahan, sehingga kita merasa tidak adanya harmonisasi antara dunia usaha dengan pengambil kebijakan,\" ujar Rosan, kemarin. Dia menilai meski perekonomian dunia mungkin masih bisa dibilang lemah, namun sinergi antara pemerintah pusat, DPR, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) makin solid. Dengan kondisi baik itu, diharapkan berbagai kebijakan yang tepat dalam mendukung perbaikan ekonomi juga terlahir. \"Kami melihat sekarang bahwa pengambil kebijakan dan dunia usaha arahnya sudah mulai beriringan. Kalau tadi saya liat ini yang menari gayo, yang nari dunia usaha yang gendang pemerintah. Jadi kalau gendangnya kencang kita narinya ikut kencang. Kalau gendang pelan kita ikut pelan. Yang kacau kalau yang gendang ikut nari,\" paparnya. Rosan menyebut, setidaknya ada 11 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang fokus pada deregulasi. Hal itu diyakini bisa menimbulkan persepsi yang baik dari investor baik di dalam maupun di luar negeri. \"Saya baru mendampingi Presiden Jokowi ke Eropa. Melihat kebijakan pemerintah kita, BI konsisten. Karena konsistensi itu lebih utama, penting daripada kebijakan yang swing-nya lebih besar. Itu buat ketidakpastian. Para investor jadi nggak jelas. Konsisten dan stabilitas jadi penting bagi pertumbuhan dan dunia usaha,\" terang Rosan. Dia juga menyambut baik langkah pemerintah yang terus memperbaiki kemudahan berusaha di dalam negeri atau ease of doing business. \"Presiden bilang ingin jadi 40 (besar). Iya ini tantangan. Tapi political will-nya ada. Perbaikan dalam ease of doing business mestinya perusahaan Indonesia juga jadi lebih baik,\" jelasnya. (dee/owi/JPG)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: