Jumlah Pengangguran di Kota Cirebon Cukup Memprihatinkan

Jumlah Pengangguran di Kota Cirebon Cukup Memprihatinkan

ANGKA pengangguran di Kota Cirebon sangat memprihatinkan. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 304.152 jiwa, lebih dari sepuluh persennya menggangur atau dalam proses mencari kerja. Lulusan SMA menjadi penyumbang terbanyak angka pengangguran. Dari  data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) jumlah penggangguran cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tingginya pengangguran bisa dilihat dari daftar pencari kerja yang dibuktikan dengan pembuatan kartu kuning (AK-1). Bila dibandingnkan dengan data distribusi penduduk menurut kelompok umur, rasio pengangguran  jumlah penduduk produktif semakin besar persentasenya. Pasalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) Cirebon menunjukkan bahwa 26 persen penduduk usia muda (0-14 tahun) dan 69 persen penduduk produktif (15-64 tahun). \"Jumlahnya naik turun, tapi cenderung naik,\" ungkap Kepala Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja, H Bambang Sujatmiko SSos, kepada Radar, di ruang kerjanya. Bambang tidak memungkiri, di luar data itu masih ada pencari kerja atau pengangguran tidak terstruktur yang tidak tercatat. Karena data itu didasari jumlah lulusan setiap tahun ajaran. Warga yang tidak menempuh pendidikan, tentu tidak akan tercatat dalam data itu. Mengacu pada klasifikasi pendidikan, tingkat pengangguran terbuka tertinggi terjadai para lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan sarjana. Data per Maret 2016, jumlah pengangguran untuk tingkat SMA 591 orang, SMK 2.331 orang dan sarjana atau jenjang S1 4.204 orang. \" Untuk sarjana tiap tahun jumlah angkatan kerjanya selalu meningkat dan yang membuat kartu Ak-1 juga meningkat. Artinya, pencari kerja setiap tahunnya selalu banyak dan lapangan kerjanya terbatas,\" tutur Bambang. Di level sarjana bisa dikatakan tingkat persaingannya tinggi. Lain lagi dengan permasalahan untuk sekolah kejuruan yang lulusannya memiliki spesialisasi teknis pada bidang tertentu. Ketika ada lapangan kerja yang sesuai, bisa dengan mudah terserap. Masalahnya, lapangan pekerjaan sesuai dengan keahliannya di wilayah Cirebon seringkali tidak ada. Imbasnya, lulusan SMK sulit untuk mencari kerja ke sektor lain, karena memang lulusannya tidak fleksibel. Satu-satunya jalan adalah merantau ke daerah lain yang membuka lapangan pekerjaan untuk bidang tertsebut. Untuk kondisi ketenagakerjaan di Kota Cirebon, menurut Bambang, ada dua alasan yang menjadi penyebab peningkatan jumlah pengangguran yakni, pemutusan hubungan kerja (PHK) serta daya serap yang menurun karena peningkatan jumlah angkatan kerja. \"Kebanyakan karena PHK dan kontraknya tidak diperpanjang. Hal itu terjadi karena terjadi penghematan ongkos produksi, akibat nilai tukar naik, efeknya ada pengurangan tenaga kerja,\" jelasnya. Berkaca pada perkembangan terbaru, potensi dan struktur lapangan pekerjaan di Kota Cirebon lebih ke sektor perdagangan dan sektor jasa. Di sektor ini jumlah pencari kerja dan lapangan kerja cukup seimbang. Bisa dikatakan 60 persen bekerja di dalam Kota Cirebon dan 40 persen di luar Kota Cirebon. “Ini karena bertumbuhnya sektor jasa salah satunya hotel, restoran dan pusat perbelanjaan,” terangnya. Lantas, bagaimana upaya dinsosnakertrans menekan angka pengangguran? Bambang tak punya jawaban spesifik. Namun pihaknya mengklaim telah melakukan berbagai upaya seperti peningkatan kualitas SDM dan kualitas  pelaksanaan pemagangan. Hal it dibuktikan dengan diadakannya berbagai pelatihan seperti, las listrik yang dilaksanakan oleh BKL dinsonakertrans, kursus menjahit, bordir, tata rias, tata boga dan lain-lain. Sedangkan untuk membuka lapangan kerja, dinsosnakertrans kerap mengadakan job fair yang sifatnya berkala. “Khusus untuk pelatihan, selain diadakan di BLK pelaksanaan pelatihan juga dilakukan di sejumlah kelurahan dengan mendatangkan instruktur. Para peserta yang sebagian berstatus pengangguran tersebut selain memperoleh pengetahuan keterampilan juga mendapat bimbingan lanjutan,” bebernya. Pelatihan ini, sambung dia, diikuti dengan program magang kerja di berbagai tempat sesuai bidangnya. Dengan harapan, keterampilan yang dimiliki bisa dikembangkan dan terserap oleh lapangan pekerjaan. Pelatihan ini, merupakan kegiatan rutin yang digelar oleh dinsosnakertrans untuk seluruh warga usia produktif dan diutamakan dari keluarga tidak mampu. \"Program ini dilakukan sebagai upaya mengurangi angka pengangguran, dengan harapan para pencari kerja siap bekerja dan cepat diserap oleh pasar kerja serta industri. Yang sangat diharapkan, mereka mampu membuka lapangan kerja sendiri,\" bebernya. Di tempat terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Cirebon, Sutikno SH MH membenarkan, banyaknya jumlah penganggur dikarenakan jumlah lapangan kerja dan pencari kerja tak seimbang. Apalagi, belakangan ini potensi lapangan pekerjaan condong ke dunia perhotelan dan kuliner. Sedangkan untuk teknik, industri, otomotif dan kelistrikan di Kota Cirebon tidak ada. \"Ini karena kualifikasi dan keahlian para lulusan SMA dan sarjana lapangan kerjanya tidak ada di Kota Cirebon. Kalaupun ada, jumlahnya tak sebanding dengan pencari kerja,\" tuturnya. Dia mengusulkan agar pemerintah membuka pintu untuk industri. Sebab, sektor ini memiliki daya serap tinggi terhadap tenaga kerja. Apalagi, berdasarkan fakta yang terjadi saat ini banyak warga Kota Cirebon yang bekerja di sektor industri di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sementara Akademisi Unswagati, Sigit Gunawan SH MH menyoroti agar dunia pendidikan harus berbenah diri untuk memperbaiki kualitas SDM. Sebab, satu-satunya andalan peningkatan mutu SDM lewat lembaga pendidikan baik universitas, sekolah tinggi, akademi maupun lembaga pendidikan lain yang berorientasi kepada skill. “Artinya bagaimana lembaga pendidikan mampu menciptakan siswa atau mahasiswa siap pakai dan terserap di dunia pekerjaan,” tandasnya. Hanya saja, kata dia, komunikasi dan hubungan kerjasama antara pemerintah, instansi pendidikan dan perusahaan kerap tidak sinkron. Imbasnya, kebutuhan tenaga kerja kerap tidak sesuai dengan lulusan yang tersedia. Bahkan di beberapa sektor, tenaga kerjanya justru didatangkan dari daerah lain. \"Pemerintah mesti lebih menggali potensi yang dapat dikembangkan, sektor swasta juga harus membuka diri terhadap tenaga kerja lokal. Sedangkan sektor pendidikannya juga harus berbebanh,\" terangnya. Terkait banyaknya sarjana yang nganggur, Sigit melihat, bukan karena tidak terserap lapangan kerja. Banyak sarjana yang gengsi, terutama untuk pekerjaan tertentu dan gaji dengan nominal yang dianggap tidak sesuai. \"Justru itu yang akan menjadi boomerang,\" ucapnya. Di sisi lain, sebutnya, faktor pengangguran juga bisa dikarenakan kurangnya keterampilan. Banyak mahasiswa atau lulusan SMA yang sudah mempunyai kriteria dalam bekerja, namun dalam teknisnya keterampilannya masih kurang. Jaman sekarang, dengan era persaingan yang kian ketat tentu tidak cukup hanya mengandalkan ijazah. Harus ada keterampilan lain yang menjadi bukti kompetensi dan melengkapi kualitas diri. Di sisi lain, faktor emotional quotient. Untuk faktor ini lebih kepada kemampuan seseorang dalam mengandalikan emosi. Hal ini berpengaruh terhadap keterampilan berbicara, berkomunikasi, bersosialisasi, kepercayaan diri dan sifat lainnya yang mendukung pengembangan pribadi seseorang. “Kecenderungannya, orang yang pandai berkomunikasi dan pandai bersosialisasi lebih mudah mendapatkan pekerjaan,” tuturnya. Faktor lain ialah tidak mau berwirausaha. Umumnya sesorang yang baru lulus sekolah atau kuliah terpaku dalam mencari pekerjaan, seolah itu adalah tujuan yang sangat mutlak. Padahal, berwirausaha adalah jalan yang baik karena bisa turut membuka lapangan kerja. (nurvia pahlawanita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: