Industri Genteng Jatiwangi Makin Loyo
MAJALENGKA - Maraknya persaingan bisnis material bahan konstruksi membuat industri genteng Jatiwangi ikut mengalami imbasnya. Saat ini sudah banyak pabrik genteng yang gulung tikar. Bahkan, saat ini tinggal tersisa sekitar 200 pabrik yang bertahan, dan itupun tidak setiap hari memproduksi genteng khas Jatiwangi berbahan dasar tanah liat. Hal tersebut diungkapkan penasehat Asosiasi Pengusaha Genteng Jatiwangi (Apegja) H Iwan. Padahal ketika jaya-jayanya era genteng Jatiwangi, jumlah pabrik genteng yang terinventarisir di Apegja mencapai hampir 800, baik itu yang skala besar hingga yang skala tradisional atau home industry. “Yang jelas, di saya saja tidak setiap hari produksi karena tergantung pemesanan. Kalau lagi banyak permintaan kita cetak, kalau untuk melayani pasokan ke matrial-matrial juga kita produksi sedikit,” kata pemilik pabrik genteng MR-Putra ini, kemarin. Untuk pabrik genteng skala menengah ke atas, ketika industri genteng tengah marak dalam sehari mencetak dan memproduksi antara 25 ribu hingga 30 ribu keping genteng. Tapi sekarang angka produksi tersebut hanya bisa tercapai dalam waku satu minggu karena permintaan pasar berkurang. Saat ini juga sudah banyak bermunculan atap berbahan metal maupu beton. Munculnya bahan material lain pada jenis konstruksi atap bukan hal yang mendasar untuk dikambing hitamkan atas lesunya industri genteng. Pihaknya mawas diri, dan mengaggap perilaku oknum-oknum pengusaha genteng itu sendiri yang menyebabkan industri genteng menjadi lesu. Misalnya, ada oknum pengusaha genteng yang tidak ingin rugi. Ketika ada produk genteng yang gagal mestinya dibuang dan tidak dijual ke pasaran, tapi mereka menjualnya ke para tengkulak dan kerja sama dengan oknum pengusaha material yang nakal. Denga sedikit polesan, genteng gagal dengan sebutan kreweng akhirnya sampai ke tangan pembeli. Selang beberapa waktu genteng kreweng di atap rumah konsumen itu kemuian bocor dan rusak. Hal itu yang menyebabkan pamor genteng Jatiwangi rusak. Padahal jika proses produksi diterapkan sistem quality control yang sesuai SOP, maka tidak akan ada genteng kreweng bisa sampai ke konsumen. Faktor lainnya yang menyebabkan lesunya genteng Jatiwangi adalah masih belum seluruhnya pengusaha menerapkan strategi yang lebih modern dalam memasarkan produk. Misalnya, hanya mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut dan relasi. Padahal di era digital ini, pola pemasaran produk harus ditopang oleh sistem promosi yang modern dengan memanfaatkan media sosial, maupun kerja sama dengan media massa sebagai mitra promosi. Seorang pegawai di pabrik genteng MR Putra, Ito Warsita mengakui baru hari ini karyawan pabrik genteng diliburkan karena kurangnya pesanan genteng dari konsumen. Pria asal Desa Andir Jatiwangi ini mengakui dirinya selama ini bekerja di bagian muat bongkar. Menurut Ito banyak pegawai wanita di desanya yang semula bekerja di pabrik genteng kini beralih kerja di pabrik garmen. Bahkan ada pabrik genteng yang cukup besar kini digunakan untuk pabrik garmen dan pegawainya cukup banyak. “Saat ini di Jatiwangi sudah banyak pabrik seperti pabrik kantong dan garmen, karena pabrik genteng banyak yang bangkrut,” ujarnya. Selama ini dirinya menggantungkan hidup sebagai kuli di pabrik genteng, dan kalau pabrik genteng gulung tikar dirinya memilih untuk ke sawah. “Masa keemasan pabrik genteng itu sekitar tahun 1992 dan sekarang menurun drastis karena banyak saingan,” bebernya. Diakuinya upah kerja kuli di pabrik genteng sehari bisa mencapai Rp55 ribu, tapi hanya 3 hari dalam seminggu sedangkan di pabrik garmen bisa kerja setiap hari. “Saat ini stok genteng masih banyak, sehingga pabrik memilih meliburkan karyawan,” ujar Ito. (azs/ara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: