Antara Kwetiau Ipoh dan Mi Tarik Lanzhou (1); Kesabaran Sembahyang 2.000 KM

Antara Kwetiau Ipoh dan Mi Tarik Lanzhou (1); Kesabaran Sembahyang 2.000 KM

Dari Amerika Dahlan Iskan sempat “pulang” seminggu ke Kedah dan Qinghai. Lalu balik ke Amerika. Inilah kisah tiga serinya.   SAYA akhirnya ke Gansu dan Qinghai. Dari 34 provinsi di Tiongkok, tinggal dua itulah yang belum saya jelajahi. Eh, masih satu lagi: Tibet. Tapi, apakah perlu ke sana? Ke Gansu dan Qinghai ini rasanya sudah sama dengan ke Tibet. Apalagi, di Qinghai saya tidak hanya ke Xining, ibu kotanya. Tapi juga sampai ke kuil Tibet. Juga ke Danau Asin Qinghai Hu. Yang di sepanjang berjam-jam perjalanan hanya lihat gunung dan gunung. Gunung gunung yang puncaknya berlapis salju. Saking tingginya: lebih dari 4.000 meter. Yang nyambung dengan Pegunungan Tibet. Yang napas terasa sudah agak berat: oksigen tipis. Benar-benar sudah seperti ke Tibet. Hanya kurang tinggi. Wihara di Qinghai pun wihara Tibet. Yang jumlahnya tidak kalah banyak. Yang sembahyang di dalamnya juga sama: sama beratnya. Lebih berat dari gerakan salat dalam Islam.  Ada lima gerakan di tiap rakaatnya. Ada gerakan tangan yang seperti takbiratul ihram. Dilakukan di awal. Ada yang seperti rukuk. Dan ada yang seperti sujud. Bahkan, sujudnya sampai ndelosor. Disebut wu ti tou di. Lima bagian tubuh sujud ke tanah: dua telapak tangan, satu wajah, dan dua lutut. Dengan demikian, gerakan sujudnya seperti orang mati telungkup dengan tangan pasrah. Intinya: manusia harus mau menempatkan diri serendah mungkin di mata Tuhan. Saya mencoba meniru gerakan sembahyang itu. Di sela-sela mereka yang sembahyang. Ikut saja. Hanya saja saya tidak pakai pakaian sembahyang mereka. Berat sekali. Baru dapat lima rakaat saya menyerah. Napas termehek-mehek. Juga karena oksigen yang tipis. Dan lutut yang kesakitan. Demikian juga dahi. Membentur lantai. Saya tidak pakai alas. Sedang mereka menggunakan pembalut lutut. Dan sajadah tebal. Saya mempraktikkannya di lantai kayu yang telanjang dan keras. Bukan baru sekali ini saya melihat sembahyang umat Buddha yang gerakannya mirip salat. Di Chengzhou saya juga melihatnya. Dua bulan lalu. Hampir persis salat. Tidak ada jumlah rakaat tertentu yang harus diselesaikan dalam satu sesi sembahyang. Sekuatnya. Juga tidak ada waktu tertentu. Memang sebaiknya tiga sesi: pagi, siang, malam. Tapi, mereka melakukan kapan saja. Lebih banyak lebih baik. Di kompleks wihara Qinghai ini banyak patung dewanya. Berbagai macam. Masing-masing ditempatkan di kuil terpisah. Dengan bangunan tersendiri. Di tiap kuil banyak orang sembahyang dengan gerakan seperti itu. Di teras, di emperan, di halaman. Berakaat-rakaat. Kuat sekali. Begitu besarnya kompleks wihara ini, sampai panjang jalan melingkar di dalamnya 7 kilometer. Itu bukan hanya jalan. Juga tempat sembahyang. Sembahyang di atas jalan. Caranya seperti ini: tiap selesai satu rakaat melangkah maju tiga langkah. Berdiri tepat di posisi wajah menempel ke tanah saat sujud tadi. Lalu rebah lagi: sujud ndelosor dengan posisi wu ti tou di. Berdiri lagi. Maju tiga langkah lagi. Sujud lagi. Begitu seterusnya. Kian lama kian jauh. Mengikuti jalan lingkar. Tujuh kilometer. Sampai tiba kembali di titik awal. Ini seperti tawaf. Tapi 7 kilometer. Dan sambil terus bersujud. Saya pernah tawaf di lantai 5 Masjidilharam. Satu putaran 1 kilometer. Yakni saat tidak kebagian tempat di dekat Kakbah. Berarti tujuh putaran saat itu 7 kilometer juga. Hanya saja saya tawaf dengan berjalan kaki. Sedang umat Buddha ini melingkari wihara 7 kilometer dengan gerakan sembahyang yang berat. Satu putaran di wihara ini memakan waktu satu hari penuh. Sedang tujuh putaran tawaf saya dulu selesai dalam waktu satu jam. Lebih sedikit. Saya tertegun mengamati mereka yang sujud menelusuri jalan lingkar itu. Matahari terik. Jam 13.00. Tapi udara dingin. Angin cukup kencang. Kulit bibir mengeras. Udara memang sangat kering. Campur debu. Dari lereng-lereng gunung yang kering. Para ahli sembahyang itu punya target rohani: sujud menelusuri jalan sampai ke Tibet. Seperti keinginan orang Islam ke Makkah.  Saya ingin melihat sendiri perjalanan (baca: persujudan) sejauh 2.000 kilometer itu. Tapi telat. Saya hanya bisa lihat foto-foto mereka di perjalanan. Sudah dua bulan lalu mereka berangkat. Satu grup. Ada laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Satu hari mereka bisa menyelesaikan 8 kilometer. Untuk mencapai Tibet, masih diperlukan waktu delapan bulan lagi. Berarti akan menghadapi musim salju yang berat. Sabar. Sabar. Sabar. Ahok kelihatannya perlu mencoba. Dan saya juga. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: