Halooo…, Dua Tahun Pajak Reklame Jl Cipto Bayar ke Mana?
Jl Dr Cipto Mangunkusumo kian seksi. Bukan cuma harga tanah yang melambung tinggi. Sewa papan reklame di kawasan itu, nilainya bisa ratusan juta. Namun, sudah dua tahun papan reklame di kawasan itu tak diperpanjang izinnya. Pajaknya dibayarkan ke mana? PERSOALAN reklame di Jl Cipto Mangunkusumo ibarat gunung es. Dibiarkan, malah tambah menumpuk. Statemen Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi dan Sumber Daya Mineral (DPUPESDM), Ir Yoyon Indrayana MT di koran ini, Selasa (17/5), membuka kembali persoalan yang sudah dua tahun adem ayem. “Lebih baik ditata. Karena median tengah Jalan Cipto sengaja dipersempit agar tidak ada reklame komersil,” ucap Yoyon, kepada Radar. Diungkapkan mantan kepala Bidang Fisik dan Lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) itu, reklame di Jl Cipto Mangunkusumo hampir seluruhnya sudah tidak berizin. Sebab, dua tahun lalu saat Jl Cipto Mangunkusumo diperlebar, pemerintah kota tidak menghendaki adanya perpanjangan izin. “Sejak dua tahun lalu reklame terpasang tanpa izin. Tapi soal penertiban bukan kewenangan saya,” katanya. Kalaupun masih ada reklame yang berdiri, vendor-nya beralasan menghabiskan sisa kontrak dengan pemasang iklan. Yoyon menyerahkan persoalan penertiban reklame itu kepada tim teknis kajian tata ruang. Apakah reklame tersebut akan dibongkar, diperpanjang izinnya atau ditata di kemudian hari. Soal penertiban reklame-reklame ini, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Andi Armawan masih menunggu instruksi dari tim kajian reklame. Tim yang diketuai Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT), Ir Yati Rochayati itu, hingga kini belum memberikan instruksi apapun. “Kita prinsipnya siap saja,” ucap Andi. Mantan Camat Lemahwungkuk ini menambahkan, Satpol PP juga masuk dalam tim reklame. Hanya saja, bicara soal titik mana yang ditertibkan dia tidak tahu. Termasuk reklame mana saja yang sudah habis izinnya. Sayangnya, Yati sendiri belum bisa dikonfirmasi hingga berita ini diturunkan. Konfirmasi via telepon selular juga tidak dijawab meski handphone Yati dalam keadaan aktif. Dalam statemen terakhir di koran ini, Yati menyebutkan bahwa penertiban reklame menunggu revisi Peraturan Daerah 3/2010. Mantan kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) itu membenarkan, beberapa titik reklame di Jalan Cipto Mangunkusumo memang sudah tidak berizin. Karena itu, meski banyak yang mengajukan izin baru di kawasan tersebut, BPMPPT menolaknya. Fokus BPMPPT, kata Yati, hanya pada penyelesaian reklame yang sudah tidak berizin. Terlebih perda terkait sedang direvisi untuk pembaharuan aturan tentang tata letak, ukuran dan sebagainya. Yati sendiri belum dapat memastikan waktu penertiban reklame tersebut. Di lapangan, fakta lain didapat wartawan koran ini. Meski sudah tidak berizin, namun reklame-reklame tersebut masih disewakan oleh para pemiliknya. Iklan di beberapa titik reklame juga jelas menyebutkan nomer kontak untuk penyewaan. Tidak hanya itu, dalam penawaran juga dipajang di beberapa situs internet. Saat berpura-pura menjadi pemasang reklame untuk di Jl Dr Cipto Mangunkusumo, justru wartawan koran ini langsung ditawari dengan nominal harga fantastis. Untuk ukuran 5 x 10 meter, harga per bulan mencapai Rp30 juta. Dalam harga sewa itu, termasuk komponen produksi berupa biaya cetak baliho, biaya pasang dan pajak. Untuk sewa setahun harganya Rp130 juta. Harga Rp130 juta itu untuk ukuran 4x6. Ukuran ukuran 5x10, harga publish dari vendor bisa sampai Rp200-300 jutaan. “Sudah satu paket mas. Harga segitu sudah sama cetak (baliho), biaya pasang dan pajak,” tutur pria yang dirahasiakan identitasnya. Saat ditanya soal kemungkinan reklame di Jl Dr Cipto Mangunkusumo dibongkar pemerintah, pria bertubuh tambun itu menganggapnya hanya wacana. Malah, menurut kabar yang diterimanya, reklame di median jalan tersebut hanya akan ditata dan direlokasi. Sebagai buktinya, dia menyebut bahwa sampai saat ini reklame yang disewakannya masih berizin. Kemudian biaya pajaknya pun dibayarkan setiap ada pemasangan. “Itu wacana aja mas. Nanti memang mau dipindah, tapi masih di Jl Cipto,” jelasnya. Menurut dia, reklame yang berada di sepanjang kawasan bisnis itu akan ditata dan ukurannya diperkecil. Rencananya, lokasinya akan dipindah ke kanan dan kiri jalan. Di tempat terpisah, pengelola jasa advertising lain mengakui reklame di kawasan itu akan dibongkar. \"Kami nunggu perda, karena infonya bakal dibongkar,\" ujar Hedi, salah satu pengelola perusahaan jasa advertising. Dikatakannya, wacana pembongkaran reklame tersebut sudah ada sejak dua tahun yang lalu. Hedi mengaku, tak banyak menggunakan reklame di kawasan Kota Cirebon, terutama di Jl Cipto Mangunkusumo. Apalagi, jasa advertising yang dikelolanya menawarkan pemasangan iklan per satu tahun. \"Ya paling kalau mau ada yang pasang dua atau tiga bulan saja yang di Jl Cipto. Khawatir kalau ada pembongkaran nanti kita yang ganti rugi,\" katanya. Jasa advertising yang dikelola Hedi menawarkan harga iklan reklame mulai dari Rp130 juta untuk ukuran 4x6 meter satu tahun. Ada juga yang 5x4 meter Rp250 juta setahun. Ada beberapa titik yang dijadikan tempat papan reklame, selain di kawasan Kota Cirebon ada juga di Kecamatan Arjawinangun dan Mundu, Kabupaten Cirebon. Kebijakan pemerintah untuk menata ulang reklame, ditambahkan dia, merupakan langkah yang harus didukung oleh semua pihak. Ketika penataan itu meningkatkan keindahaan kota, secara otomatis pendapatan reklame akan ikut meningkat. Lantaran berkaitan, kata Hedi, keharmonisan Pemkot Cirebon dengan para pengusaha harus terjaga baik. Dengan demikian, ia berharap rencana penataan reklame harus dibangun dengan azas kebersamaan untuk membuat Kota Cirebon lebih baik. \"Baik pemerintah maupun pengusaha tidak boleh dirugikan. Pengusaha adalah aset yang sudah memberikan pendapatan dan tidak semua pengusaha reklame adalah jahat. Ada pengusaha reklame yang selama ini menjalankan usahanya dengan baik,\" bebernya. Soal penyerapan pajak dari reklame di Jl Cipto Mangunkusumo, Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Eka Sambujo, tak mau bicara spesifik. Di ruang kerjanya Eka menjelaskan mengenai pembayaran oleh wajib pajak menggunakan fasilitas elektronik, sesuai UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. “Semua penerimaan daerah wajib disetor ke kas rekening daerah,” katanya. Semua penerimaan daerah, kata Eka, termasuk komponen pajak daerah menggunakan sistem elektronik. Misalkan wajib pajak (WP) mau pajak pajak bisa membayar langsung dengan online, sehingga WP tidak perlu mengantre dan itu digunakan dimanapun BJB berada. BJB sudah terbuka sebagai Tbk. BJB Ada di Jawa, BJB di luar Jawa disitu bisa digunakan untuk fasilitas pembayaran pajak. Wajib pajak punya waktu 1x24 jam. Kalau ada WP yang bayar pajak ke petugas, risikonya tanggung sendiri. “Pembayaran secara online ini salah satu upaya untuk memperkecil penyimpangan,” katanya. Saat kembali disinggung tentang reklame di median Jl Cipto Mangunkusumo yang kabarnya bakal dibongkar, Eka seolah tak sepakat. Sebab, menurut dia, reklame di median jalan diperbolehkan. Baginya, reklame merupakan pengaturan estetika agar tidak terlihat semrawut. Eka juga kembali tidak mengungkapkan pendapatan dari pajak reklame. Eka mengaku tidak tahu detil. Dia hanya menegaskan, bahwasannya pajak adalah pemasukan pemerintah daerah yang akan dikembalikan ke masyarakat, melalui program pemerintah untuk program belanja publik. “Anggaran kita bukan sentralistrik tapi desentralistrik . Anggarannya basis bottom up yang mana semuanya ada di masing-masing SKPD, kecuali dana DAK yang langsung dari pusat,“ jelasnya. Dari pantauan Radar, di Jl Cipto Mangunkusumo terhitung dari persimpangan Jl Pemuda hingga lampu merah Gunungsari, sedikitnya ada 14 titik reklame berbagai ukuran. Untuk ukuran 5 x 10 meter ada 12 reklame, sisanya ukuran 4x6 meter. Dengan besaran pajak reklame yang mencapai 30 persen sesuai perubahan Perda 3/2012, potensi pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak reklame di kawasan itu seharusnya masuk ke kas daerah. Dengan asumsi sewa per tahun Rp130 juta, paling tidak pajak dari satu titik reklame sekitar Rp39 juta. Atau bila dikalikan 14 titik, setidaknya ada potensi uang Rp546 juta per tahun yang tidak terserap. Pendapatan Rp546 juta itu nyaris seperempat dari PAD pajak reklame tahun 2015 dan seperlima dari pendapatan pajak reklame 2014. Pengenaan besaran pajak 30 persen itu merupakan asumsi. Sebab dalam Perda 3/2012, besaran pajak berbeda-beda untuk setiap ruas jalan. Jl Cipto Mangunkusumo sendiri masuk kawasan stategis bersama ruas jalan lain seperti Jl Kesambi, Jl Dr Wahidin Sudirohusodo, Jl Siliwangi dan Jl RA Kartini. (mike dwi setiawati/abdullah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: