Melihat Praktik Outsourcing Pemkot Cirebon

Melihat Praktik Outsourcing Pemkot Cirebon

\"\"Gaji di Bawah UMK Di saat buruh mendesak perusahaan-perusahaan tidak menggunakan sistem outsourcing (alih kerja), Pemerintah Kota Cirebon justru menerapkan. Bagaimana praktiknya di lapangan? DI Pemerintah Kota Cirebon, banyak OPD saat ini menerapkan sistem yang menggunakan outsourcing pihak ketiga. Sumber Radar, penggunaan jasa outsourcing terlihat di lingkungan Setda, Badan Kepegawaian Daerah dan Diklat, Setwan, Disdik, Dinas PUESDM, serta Dinsosnakertrans. Terasa memprihatinkan, gaji mereka jauh di bawah upah minimum kota (UMK). Salah satu pegawai outsourcing yang namanya enggan disebutkan, mengaku gajinya sampai saat ini masih jauh di bawah UMK. Padahal, selama ini dirinya sudah lama menjadi pegawai outsourcing. Akan tetapi, gaji yang diterimanya masih kecil. Meskipun bekerja di dinas, namun setiap bulan gaji yang diterimanya berasal dari CV selaku pihak ketiga. “Sebulan hanya Rp 600 ribu,” ungkapnya, Selasa (19/6). Meski demikian, dirinya mengaku mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaannya. Ketika Lebaran, ia mendapat THR dari CV-nya. Hanya saja, untuk gaji 13 tidak pernah didapatkan. “Paling hanya diberikan uang jajan dari dinas tempat dia bekerja sehari-hari,” kata pegawai outsourcing yang bekerja di pemkot ini. Anggota Komisi A nonaktif, Agung Cipto secara terang-terangan menentang sistem outsourcing. Karena sistem itu jelas-jelas tidak melindungi tenaga kerja. Membuat heran, justru pemkot yang seharusnya menjadi panutan, malah menerapkan sistem itu. Dengan alasan pemerintah pusat melarang perekrutan honorer baru. “Pemkot harusnya tidak boleh melakukan ini, apalagi gaji mereka itu ternyata di bawah UMK. Belum lagi pihak ketiga selaku penyedia jasa menarik keuntungan,” kata Agung Cipto. Ketua DPP Partai Buruh, Sonny Puji Sasono belum lama ini kepada Radar di Hotel Prima, menyesalkan pemda yang menerapkan sistem outsourcing. Apalagi yang namanya pemda itu, selalu identik dengan pemerintah. Kalau memang masih melakukan seperti itu, berarti pemda sudah mulai tidak benar. Dan pemda sepertinya seenaknya sendiri menerapkan sistem yang tidak memihak pekerja. Saat ini, kata Sonny, sebenarnya banyak yang ingin menghapuskan sistem karena outsourcing, tapi justru di sini malah masih menerapkan. Karenanya peringatan hari buruh selalu mengingatkan dan meminta penghapusan outsourcing. Menurutnya, munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan outsourcing, maka tentu saja ini perlu diikuti langkah oleh pemerintah daerah untuk tidak lagi menerapkan outsourcing. Justru harus memberikan contoh yang baik, bukan malah memperburuk kondisi penataan perburuhan. “Pemda harus mematuhi keputusan MK, bahwasannya yang namanya outsourcing persis seperti yang diputuskan MK dicabut. Dan ini tidak dibenarkan lagi dilakukan pemda karena jelas sekali mengorbankan buruh,” kata Sonny. Dampak dari outsourcing, kata Sonny, sebenarnya merugikan pekerja, berupa tidak mendapatkan kepastian dan ketenangan pekerjaan. Dan ini dalam rangka penyederhaan supaya tidak ada tanggung jawab dan pemda lepas tangan. Outsourcing saat ini masih banyak di dunia usaha. Itupun saat ini sedang dipertimbangkan supaya dicabut, karena jelas tidak menguntungkan pekerja itu sendiri. Serta tidak ada kepastian hukum dan tidak ada jaminan kesejahteraan. Makanya pengusaha banyak memanfaatkan sistem ini. “Kalau pemda ikut menghidupkan sistem ini, maka menjadi preseden buruk dan tanda-tanda tidak baik bagi dunia perburuhan, khususnya penegakan peraturan perburuhan selama ini,” paparnya. Pihaknya juga membeberkan, jumlah buruh di Indonesia mencapai sekitar 80 juta orang. Mereka yang tergabung dalam serikat buruh (SB) dan serikat pekerja (SP) hanya 15 persennya saja. Dengan kata lain masih banyak buruh yang belum tergabung ke dalam SP, dan itu juga diakibatkan UU itu sendiri. Karena di UU ada pasal outsourcing yang menyebabkan mereka sulit bergabung dalam SP. “Kalau yang tergabung kedalam SP itu punya pekerjaan yang permanen, tapi outsourcing susah bergabung ke dalam SP. Dan Banyak buruh yang tidak tergabung SP,” tandasnya. Menurut Sonny, manfaat bergabung kedalam SP sangat banyak. Kalau ada masalah dia tidak harus berjuang sendiri tapi melalui serikat pekerja. Fenomena saat ini, banyak keputusan-keputusan kenaikan upah, kenaikan UMK memicu protes. Akibat persoalan yang selama ini kenaikan UMK sudah tidak mencerminkan aspirasi buruh, makanya sering digugat. Apalagi yang membahas kenaikan UMK  adalah dewan pengupahan, di UU hanya boleh diwakili dari serikat pekerja. Sedangkan serikat pekerja hanya hanya 15 persen sehingga saat diputuskan dianggap tidak representatif. Sehingga banyak yang tidak tersentuh dalam dewan pengupahan. Makanya perlunya peninjauan sistem pengupahan. Sementara, Kasi Hubungan Industrial dan Jamsostek Dinsosnakertrans Cirebon, Dra Yati Wariyati MSi mengakui sistem outsourcing masih berlaku disejumlah tempat. Termasuk di kantornya. Seingat dia, ada enam orang yang menjadi pegawai outsourcing. Dengan kategori pekerjaan sebagai satpam atau security, cleaning service, sopir, dan jasa cathering. “Itu beberapa pegawai outsourcing yang diperbolehkan. Kami juga dapat pegawai itu dari pihak ketiga,” tuturnya kepada Radar, kemarin. Meski sebenarnya, kata dia, sistem outsourcing tidak dibenarkan lantaran merugikan pegawai. Tidak sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Pada kenyataannya masih ada yang terus-terusan menjadi pegawai outsourcing. Harusnya tidak boleh lebih dari tiga tahun,” paparnya. Saat ditanya bagaimana penerapan sistem outsourcing di kantornya, Yati enggan berkomentar banyak. Sebab, kata dia, semua sudah diatur oleh pihak ketiga. Sehingga secara teknis tidak diatur langsung olehnya. “Sudah ada pihak ketiga, saya lupa apa nama perusahaan yang merekrutnya. Tapi yang jelas, untuk gaji kami tetapkan sesuai dengan UMK,” ujarnya. (abdullah/adinda pratiwi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: