Selamat Mengambil Resiko
BIASANYA, saya diundang bicara untuk urusan media, anak muda, dan bisnis. Atau diminta jadi komentator F1 di TV. Kali ini agak beda, diminta untuk bicara soal hobi. Rasanya plong karena bisa berbagi. *** Saya tidak hidup sebagai pembicara. Dan kalau bisa, jangan sampai cari hidup sebagai pembicara. Harus bisa cari hidup dengan bekerja dan berusaha, lalu kadang-kadang berbicara untuk berbagi dan saling menginspirasi. Selasa kemarin (24/5) saya diundang untuk urusan yang berbeda. Yang mengundang teman-teman pebisnis seangkatan yang tergabung di Entrepreneurs’ Organization (EO). Tapi tidak sharing soal bisnis, melainkan soal pribadi. Khususnya hobi yang baru saya tekuni hampir empat tahun terakhir: cycling. Organisasi internasional seperti itu seru. Karena anggotanya rata-rata business owner dan rata-rata generasi kedua atau lebih, kebutuhan networking rasanya bukanlah yang utama. Kebutuhan networking itu biasanya untuk kalangan yang profesional. Kalau yang seperti di EO ini bisa dibilang seperti organisasi untuk menjalin pertemanan dan mencari teman curhat. Sebab, orang-orang seperti mereka (termasuk saya) biasanya punya latar belakang serupa dan masalah yang sama. Misalnya, bagaimana menghadapi lingkungan kerja yang dulu didominasi orang tua, lalu bagaimana menemukan teman yang memahami masalah yang sama. Seperti ucapan Ronald Walla, salah satu tokoh EO, organisasi seperti itu bisa menjadi ”keluarga ketiga”. Setelah keluarga orisinal bersama orang tua serta keluarga sendiri bersama istri dan anak. Di organisasi itu, semua bisa sharing, saling membantu, dan ”rahasia sesama” saling terjaga. Venue-nya juga tidak boring. Bukan di hotel atau ruang pertemuan. Melainkan di Indonesia Bike Works, sebuah pabrik sepeda high-end di kawasan Sumengko, Gresik. Kebetulan bertetangga dengan percetakan, pabrik kertas, dan pembangkit listrik Jawa Pos Group di kawasan tersebut. Pabrik itu merupakan buah keberanian Anne dan Yoshiho Sekita, yang bertekad mengembangkan diri di arena manufacturing, dalam situasi yang katanya banyak tantangan untuk bisnis manufacturing di Indonesia. Salah satu merek mereka, Thrill (merek asli Indonesia), bahkan bakal berkiprah di arena Olimpiade nanti! Hebat! Saya mau datang karena tidak diminta untuk bicara soal bisnis. Saya diminta datang untuk bicara sebagai seorang cyclist. Bagaimana hobi itu memengaruhi hidup pribadi dan profesional saya. Saya sangat mau karena saya merasa tidak seperti berbicara formal. Rasanya justru seperti saya yang curhat! Saya bercerita (dulu pernah saya tulis di Happy Wednesday juga) bagaimana saya memilih hobi itu karena memang tidak ada opsi lain. Saya gila olahraga sejak kecil. Mulai sepak bola, bulu tangkis, atletik, sampai kadang balapan go-kart. Cuma, semua harus berakhir pada 2007, ketika mengalami cedera lutut parah. Pilihannya hanya cycling atau renang dan saya tidak bisa berenang. Dan ternyata cycling punya banyak manfaat. Melebihi dari yang saya bayangkan. Mulanya untuk menurunkan berat badan yang sempat membengkak, pada akhirnya menjadi sesuatu yang ikut mengatur pola hidup. Manfaat badan sehat, pasti. Berat saya turun 16 kilogram, jadi lebih ringan daripada waktu kuliah dulu. Manfaat doyan kecepatan ya dapat, apalagi saat ikut balapan. Lalu, ada manfaat memuaskan kebutuhan utak-atik barang (bongkar pasang modifikasi). Tapi, lebih dari itu, ada manfaat meditasinya. Berhubung saya tidak betah duduk diam dan tidak sabar saat main golf (pernah main dua hole langsung pulang), cycling memberi kesempatan untuk berbicara dengan diri sendiri dan refleksi diri. Walau bersepeda berkelompok, saat menanjak berat khususnya, kita sebenarnya sendirian mencoba menaklukkan tanjakan dan diri sendiri. Saat jantung berdebar kuat, napas tersengal-sengal, kita bisa mengenali diri sendiri dengan lebih baik. Badan kita kuat di mana, sakit di mana. Lalu, kita berbicara dengan diri sendiri. Semula sibuk mencoba menenangkan diri, tapi lama-kelamaan berlanjut bisa memikirkan hal-hal lain. Mulai anak-anak, pekerjaan, hingga kadang membuat konsep bisnis komplet dari A sampai Z. Tidak ada orang di kantor yang mengusik, tidak ada keluarga yang mengganggu, dan –yang terpenting– tidak ada telepon, SMS, atau pesan lain yang merepotkan. Sebab, saat bersepeda, ponsel tersimpan baik di saku belakang. Apalagi, saat bersepeda, ada banyak inspirasi yang tidak bisa didapat kalau kita jalan-jalan dengan naik mobil. Kita mengunjungi gunung-gunung atau jalan-jalan yang normalnya tidak dilewati. Melihat, merasakan, dan menghirup suasana yang sebenarnya. Tidak terhalang kaca mobil dan semburan AC. Kadang memang ada saja orang-orang yang mungkin taraf berpikirnya (atau kekuatan mentalnya) bikin geleng-geleng kepala. Misalnya mereka yang bertanya, ”Sepeda jauh-jauh, hancur-hancuran, mau cari apa?” Biasanya yang tanya begitu itu yang badannya agak gemuk atau tipe yang tidak mau berusaha atau mungkin sirik. Lebih sering saya cuekin saja, toh tidak ada gunanya menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang tidak bisa dijelaskan (strawman?). Tapi, kadang saya celetukin saja, ”Saya mencari cara untuk menjadi orang yang lebih baik, menjadi lebih kuat, menjadi lebih tangguh, dan tidak banyak mengeluh.” Memang tidak harus bersepeda untuk mencapai itu. Olahraga atau kegiatan lain juga bisa. Lari juga bisa. Basket juga bisa. Semua bisa. Asal sepenuh hati mencoba. Bukan asal ikut-ikutan atau gaya-gayaan. Biasanya, orang yang suka mengomel atau mengeluh akan mengomel dan mengeluh dalam kegiatan apa saja. Saya banyak dan sering melihat orang seperti itu, dari dulu sampai sekarang, dan sampai yang akan datang. Well, ada beberapa hal yang disampaikan di acara itu yang tidak mungkin saya tulis di sini. Mereka yang hadir juga saya minta jangan disebarkan, wkwkwkwk… Mungkin satu lagi poin penting yang mau saya sharing: Jangan takut soal risiko. Ya, bersepeda itu ada risikonya. Jatuh, tabrakan, bukan sesuatu yang mengejutkan. Sejak hobi bersepeda, saya juga sudah operasi dua kali. Satu untuk patah tangan, satu lagi untuk bahu. Tapi, bukan berarti harus takut. Saya sampaikan, itu malah mengajari kita untuk resilient, untuk menguji ketangguhan dan disiplin kita. Saya ceritakan, waktu tulang telapak tangan saya patah, saya operasi hari Minggu dan sudah bersepeda lagi hari Selasa, dua hari kemudian. Lalu, waktu operasi bahu, hanya dalam lima minggu saya sudah ikut balapan. Sekali lagi, memang ada risikonya. Tapi, hidup ini kan tidak mungkin selalu aman. Wong duduk diam santai di pinggir jalan saja bisa mati tersambar Lamborghini… Bagi kolektor kutipan, ada yang bagus soal ini. ”Hidup ini adalah untuk mengambil risiko. Kalau kita takut mengambil risiko, itu berarti kita takut hidup…” Terima kasih kepada Entrepreneurs’ Organization atas kesempatan yang diberikan bagi saya untuk curhat. Selamat menemukan diri sendiri, saling berbagi, dan mengambil risiko! Happy Wednesday! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: