Hidup Lebih Baik dari Ini

Hidup Lebih Baik dari Ini

SEKOLAH lagi. Sekolah di tempat yang sangat bagus dan kondang. Ilmu baru? Mungkin tidak. Inspirasi baru? Mungkin itu kuncinya. *** Sebelum tahun ini, saya kali terakhir duduk di bangku kuliah pada akhir 1999 alias 17 tahun lalu. Seperti apa rasanya bersekolah lagi? Mungkin kata yang paling pas adalah ”capek”. Wkwkwkwkk… Dulu, waktu kuliah ”biasa”, saya termasuk jago mengatur jadwal. Maksudnya, bagaimana membagi kelas-kelas supaya jumlahnya pas dalam sehari. Sehingga memberi waktu saya untuk nongkrong, pacaran, kerja, dan party. Sebab, saya percaya ijazah itu –walau diraih cum laude– setara pentingnya dengan pengalaman hidup dan pertemanan yang didapat selama kuliah. Bahkan mungkin kalah penting. Syukur alhamdulillah, tahun ini bisa merasakan kuliah lagi. Syukur alhamdulillah, karena mampu dan ada kesempatan, bisa merasakan seperti apa rasanya duduk di ruang kelas sekolah superkondang. Harvard Business School alias ”Hahvahd”. Walau hanya dalam hitungan hari, program executive education di bidang media, entertainment and sports ini seru juga. Kita harus tinggal full time di kampus dan jadwalnya benar-benar dipadatkan. Cocok untuk eksekutif yang memang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Intinya, pagi pukul 07.00 sudah harus makan pagi karena pukul 08.00 sudah harus ikut diskusi grup dengan kelompok yang telah ditetapkan. Lalu, pukul 09.00 sampai 18.00 –dipotong makan siang– berada di kelas, membahas empat case study plus workshop atau diskusi panel. Kelas tidak pernah satu arah profesor ke pelajar. Semua sudah harus mempelajari materi sebelumnya secara dalam, sudah membahasnya dalam diskusi grup, sehingga di kelas dari awal sampai akhir langsung diskusi dan debat. Sepanjang hari. Semua materi yang dibahas sangat baru. Studi kasus program yang berlangsung dalam lima tahun terakhir, bahkan yang baru terjadi setahun terakhir. Jadi sangat update. Pada dasarnya materi yang diberikan sama dengan program MBA Harvard. Tapi dipadatkan. Sangat dipadatkan. Kalau kelas MBA, katanya, maksimal 2–3 kasus sehari. Capek? Iya. Wkwkwkwk… Selesai kelas terakhir, setelah makan malam, kepala rasanya mau pecah, wkwkwk. Pada hari kedua saya bahkan ketiduran dengan masih pakai jas lengkap. Ada teman saya dari Filipina yang begitu masuk kamar pukul 20.00 langsung tidur dan baru bangun besoknya pukul 06.00. Wkwkwk… *** Banyak teman mengirim pesan, nanti kalau pulang tolong berbagi ya. Ilmu apa yang baru. Jawaban saya: Tidak ada ilmu yang baru. Sebab, memang tidak ada yang baru. Kasus-kasusnya mungkin baru, tapi sebenarnya semua penerapan dari ilmu-ilmu yang sudah lama ada. Kesimpulannya mungkin baru, tapi ilmunya lama. Itu pun, kesimpulannya bisa macam-macam. Di akhir setiap kelas tidak ada kesimpulan bulat bahwa harus begini. Yang ada adalah kesimpulan bahwa ini bisa begini. Itu bisa begitu. Ini bisa lebih baik dari itu, tapi belum tentu. Lalu, buat apa sekolah lagi? Saya mau mengutip teman sekelas saya, legenda hiphop yang sudah berusia 48 tahun, LL Cool J alias Todd Smith. Dia bilang, ”To refresh the mind.” Buat saya pribadi, yang di-refresh adalah betapa hebatnya konsep ”American dream”. Tidak diajarkan di kelas Harvard (ini diajarkan sejak SMA), tapi intinya semua pelajaran di Amerika mengutamakan ethos ini. Definisinya macam-macam. Tapi, intinya adalah semua warga Amerika punya kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan melalui kerja keras, semangat, dan kreativitas. Kesempatannya sama, tinggal orangnya sendiri yang akan menentukan level kesuksesannya. Juga, yang dikejar belum tentu kesuksesan materi, bisa juga kebahagiaan, apa pun itu. Mengingat lagi konsep ini, jadi cekikikan mengingat konsep ”Kerja, Kerja, Kerja” yang banyak bergaung belakangan ini. Asal tahu saja, untuk melawan krisis moneter pada akhir 1990-an, koran Jawa Pos sudah tiap hari menuliskan ”Kerja, Kerja, Kerja” di pojok atas halaman depan. Kalau ada orang pemerintahan kita yang menggaungkannya belakangan ini, dia sudah ketinggalan lebih dari 15 tahun… Dan ”Kerja, Kerja, Kerja” juga masih belum lengkap serta konkret. Karena belum tentu ”Kerja Keras”, belum tentu ”Kerja Pintar”, belum tentu ”Kerja Kreatif”. Lebih jauh lagi, kerja keras, pintar, dan kreatif juga belum tentu bisa bertahan lama kalau tidak terus-menerus kerja keras, pintar, dan kreatif. Alias konsistensi. Satu lagi yang di-refresh setelah sekolah selesai, yakni soal risiko. Tepatnya kemauan dan keberanian dalam mengambil risiko, lalu kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi konsekuensi dari risiko-risiko itu. Banyak orang setelah mencapai level tertentu justru berhenti mengambil risiko besar. Memilih mengambil banyak risiko kecil. Padahal, hidup (dan bisnis) kadang menuntut kita untuk selalu mengambil risiko besar dalam periode tertentu. Sorry, tidak detail. Saya bisa lebih detail, tapi saya tidak mau. Wkwkwkwk… Kalau detail, namanya bukan Happy Wednesday, tapi kuliah beneran. Dan saya bukan dosen. Wkwkwkwk… Nanti kalau ketemu saya saja, dan saya ada waktu serta sedang in good mood, baru saya sampaikan detailnya. Wkwkwkwk… *** Kelas saya penuh dengan orang hebat. Dua pemain NBA yang ikut levelnya superstar dengan gaji maksimal, Pau Gasol dan Chris Paul. Dua bintang Hollywood yang ikut pun levelnya mentok, LL Cool J dan Channing Tatum. Plus masih ada lagi orang-orang hebat yang tidak terkenal, tapi pekerjaannya gila hebat. Salah satunya asal Brasil. Dan begitu kelas selesai, namanya langsung muncul di berita internasional karena ditunjuk untuk memegang tampuk kendali perusahaan di seluruh Amerika Latin. Untuk konteks American dream dan mengambil risiko ini, paling gampang memang mengutip para bintang NBA dan Hollywood itu. Seperti kata Channing Tatum, ”Dalam hidup ini kita tidak bisa setengah-setengah. Kita harus berani mengambil risiko, memberikan segalanya sampai kita tidak bisa memberikan apa-apa lagi.” Tatum mengawali karirnya dari dasar. Ketika mulai ngetop dan bisa mendapatkan penghasilan ”aman”, dia kembali mengambil risiko. Merogoh koceknya sendiri (”Mengosongkan rekening bank,” katanya) untuk memproduksi film Magic Mike. Risiko besar itu membuat dia makin sukses dan rekening banknya jadi lebih berisi daripada sebelumnya. Risiko yang diambil gagal? Hidup toh tidak berakhir, bahkan bisa berlanjut, dan berlanjut baik. Pau Gasol pernah kehilangan begitu banyak uang karena menaruhnya di tempat (investasi) yang salah. Buntutnya, dia makin pintar, membentuk perusahaan, dan kini sedang menyiapkan yang lebih besar lagi. Semua di luar kesibukannya dari bermain di NBA. LL Cool J pernah kehilangan banyak ketika membuat kesalahan, melepas sahamnya di Def Jam terlalu cepat. Padahal, studio itu kini sukses ”meledak” karena menaungi Rihanna dan lain-lain. LL Cool J kini punya perusahaan sendiri serta tetap eksis dan sukses –juga tetap cool– di usia 48 tahun. Sejak masih sangat muda, LL Cool J memang selalu ingin hidup lebih baik dan lebih baik. Dia bercerita di depan kelas, ”Momen penentunya adalah waktu saya umur 14 tahun, diajak teman-teman berkumpul di garasi. Saya melihat mereka memakai narkoba dan melihat efeknya. Saat itu juga, di usia 14 tahun, saya membuat keputusan untuk menjadi yang lebih baik. Menjadi lebih baik daripada lingkungan sekitar saya. Karena hidup harus lebih baik dari ini.” LL Cool J, Channing Tatum, Pau Gasol, Chris Paul, American dream, dan masih banyak cerita lain: ”Kerja, Kerja, Kerja” saja tidak cukup! (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: