Peluang Prancis di Siklus 16 Tahunan

Peluang Prancis di Siklus 16 Tahunan

Oleh : Kurniadi Pramono DALAM salah satu versi teori penggenerasian sepak bola, dikenal istilah siklus 16 tahunan. Pada narasi ilmiah, 16 tahun adalah rentang waktu yang pas menciptakan satu generasi tim sepak bola. Jika upaya penggenerasian itu dimulai pada usia produktif rata-rata 16 tahun, maka gerenasi tersebut diprediksi mulai menurun kala usia tahunan mereka memasuki angka 32. Prancis dengan metode pembinaan terpola rapi, benar-benar memetik “hikmah” dari teori siklus 16 tahunan tersebut. Generasi emas Prancis mencapai titik puncak kurva prestasinya di tahun 1984 yang tampil sebagai juara Euro yang kala itu masih dinamai Piala Eropa. Generasi itu diproduksi dari suatu revolusi pembinaan pemain usia dini sejak 1968 di mana demam sepak bola melanda hampir seluruh belahan Benua Eropa, yang dikenal sebagai massa “puber kedua” setelah Perang Dunia. Trio seniman Michels Platini, Jean Tigana dan Alain Giresse tampil mewakili generasinya sebagai juara pada tahun 1984. Kejayaan Prancis tersebut kemudian seolah mendorong pembinaan awal yang mulai berputar lagi dengan semangat baru. Niscaya 16 tahun kemudian pada Euro 2000, generasi baru yang diresprsentasikan trio kreatif Laurent Blanc, Didier Deschamps dan Zinedine Zidane  membawa pulang trofi Hendry Delaunay kembali ke tanah Prancis. Tim ini sebenarnya pematangan dari tahun 1998 saat mereka menjadi juara dunia. Kala mulai tahun itu pula, roda pembinaan sepak bola di Prancis digenjot lagi dengan semangat yang (lagi-lagi) baru. Hitunglah bahwa 16 tahun setelah itu adalah tahun 2016 ini. Ini adalah kali ketiga siklus yang diyaknini melahirkan generasi emas teranyar buat Prancis. Nama-nama Raphael Varane (Real Madrid), Paul Pogba (Juventus), Antoine Griezmann (Atletico Madrid), dan Anthony Martial (Manchester United) dianggap sebagai simbol penciptaan dalam siklus 16 tahunan untuk generasi emas ketiga bagi masa jaya sepak bola Prancis. Katakanlah ini suatu kebetulan yang bisa dibidik sebagai keberuntungan. Tahun 2016 ini Prancis bermodal tebal sebagai tuan rumah. Pengalaman juga membuktikan bawa Prancis memanfaatkan status tuan rumah sebagai tangga kokoh menuju juara. Tuan rumah pada tahun 1984 sebagai juara Eropa, juga tuan rumah di tahun 1998 sebagai juara dunia. Setuju, itu berarti di tahun 2016 ini kesempatan mahalebar untuk Prancis kembali membuktikan pola pembinaan 16 tahunan sebagai puncak siklus. Nada merdu akan datangnya generasi emas ketiga bagi Prancis, sudah sayup terdengar sejak drawing (undian pembagian grup) putaran final. Jatah hak tuan rumah di Grup A, disyukuri dan diamini rakyat Prancis sebagai berkah karena dianggap bisa bernafas panjang. Skenario ringkasnya demikian, Rumania dan Albania adalah target awal yang wajib dilakoni dengan raihan 3 poin. Artinya, jaminan tiket VIP ke babak 16 besar. Kemudian langkah selanjutnya laga ketiga dengan Swiss, jika 6 poin telah diraih, adalah partai formalitas yang tentu akan melegakan Didier Deschamps mencoba skema taktik dan menyusun strategi tim, cukup meraih 1 poin sekadar basa-basi, atau 3 poin lagi sebagai harga mati. Jika demikian, silahkan Swiss, Rumania dan Albania baku tanding memperebutkan tiket otomatis runner-up atau siapa tahu mandapat jatah hiburan sebagai salah satu dari empat tim terbaik peringkat ketiga dari enam grup penyisihan. Semudah itukah? Tentu saja tidak. Berhitung peluang, sepak bola mengharamkan dalil kepastian dalam laga apapun. Tiap kontestan selalu punya peluang manis 50:50 saat kick-off. Itu artinya, Prancis dengan keuntungan tuan rumah, dengan sumber daya materi pemain-pemain brilian, dan dengan modal siklus 16 tahunan, tetap saja harus melakoni 270 menit pertandingan mendebarkan. Rumania lawan pertama. Sejak tampil dominan di kualifikasi, tim Eropa Timur yang hingga kini masih bernuasa militan sosialis itu, dikenal sebagai tim ultra defensif. Pelatih Angel Iordanescu yang berlatar belakang militer sejati, sebenarnya bukan penganut paham negative football. Namun dengan alasan pragmatis, dia membangun tim dengan ketahudirian. Dia tak punya pemain motoris di posisi gelandang, seperti era Ghegorhe Hagi. Dia juga tak punya pemain mumpuni di posisi strategis macam Adrian Mutu. Namun dia punya banyak pemain bertahan dengan karakter kental. Razvan Rat, Vlad Chirches, Alexandru Matel adalah pemain-pemain dengan tipikal ngotot “menarik tali kolor” penyerang lawan. Pun tim ini punya kiper kokoh Ciprian Tatarasanu yang teruji sebagai benteng kokoh Italiana karena membela panji Fiorentina. Di barisan tengah, Iordanescu punya segerombolan gelandang paku yang membuat tim ini hanya kemasukan rata-rata 0,2 gol dari 10 laga penyisihan. Otomatis laga pembuka Euro antara Prancis dan Rumania banyak diperkirakan jadi “setengah lapangan”. Prancis dengan semangat menggebu darah muda, pasti banyak gedar-gedor sana-sini. Kunci serangan balik Rumania, jika bisa diamankan, maka Prancis Cuma butuh kesabaran dan mental juara untuk target 3 poin awal. Alabania pun kurang lebih sana. Rekor 0,9 gol positif dan 0,6 gol negatif di kualifikasi, pasti bisa ditebak dari mana asal pelatihnya. Betul Gianni de Biasi lelaki tulen Italia, dan kini diadopsi resmi oleh Albania sebagai warga negaranya berkat prestasi meloloskan Albania ke putaran final kompetisi tertinggi di Eropa. Catatan unik dalam kualifikasi, bahwa 10 gol tercipta dari bola mati dan serangan balik. Jadi di atas kertas, modal Prancis sama dengan saat melawan Rumania. Sabar dan bermental juara, itu saja. Lawan ketiga lebih bervariatif dan terkesan bertolak belakang dengan Rumania dan Albania. Swiss justru di tangan pelatih berdarah Bosnia-Herzegovina, Vladimir Petkovic sebagai suksesor Ottmar Hitzfeld, sekarang menjadi tim “kereta cepat” yang sangat berbahaya. Lebih dari 50 persen pemainnya berlaga di Bundesliga Jerman, lingkungan dengan kiblat sepak bola menyerang yang dinamis. Kehebatan Swiss juga ditunjang bakat luar biasa pemain-pemain muda macam Xherdan Shaqiri, Admir Mehmedi, Granit Xhaka, Ricardo Rodriguez dan Silvan Widmer. Selain itu, Swiss juga punya kiper senior Yann Sommer yang menjadi andalan Borussia Moenchengladbach. Tuan rumah Prancis sangat beruntung menghadapi lawan seimbang ini di laga pamungkas grup. Namun jatah posisi teratas untuk Prancis di Grup A, akan bisa tergelincir dan jatuh dalam dekapan Swiss manakala mereka jemawa dan lengah. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: