Menggugat Sistem yang Aneh

Menggugat Sistem yang Aneh

Oleh : Kurniadi Pramono SKEMA pertandingan yang dipilih UEFA untuk putaran final Euro 2016 adalah sistem turnamen yang tidak populer, aneh dan terkesan unfair, tidak adil sekaligus membingungkan. Sistem ini diadopsi mentah-mentah dari Piala Dunia Mexico 1986, Italia 1990 dan USA 1994. Banyak kritikan ditujukan kepada FIFA, bukan hanya dari kalangan pers, namun didahului oleh para manajer tim saat mereka bertemu dalam technical meeting. Namun beruntung, keanehan sistem ini hanya satu kali dimainkan dalam Euro, yakni di tahun 2016 ini saja. Dalam Euro 2020 kelak, di mana jumlah finalis sudah dipastikan 32, sesuai dengan dalil deret geometris (2, 4, 8, 16, 32, 64 dst), maka sistem gugur hanya mengakomodir juara dan runner-up saja dari masing-masing grup. Sedangkan peringkat ketiga apalagi juru kunci, langsung angkat koper! Musabab kritikan kepada FIFA (dan UEFA) itu lahir dari kesan ketidakadilan. Juara dan runner-up masing-masing grup, dipastikan lolos sehingga jumlahnya adalah 12. Untuk memenuhi kuota 16 tim perdelapan finalis yang akan masuk fase gugur, knock out, maka dibutuhkanlah tambahan empat tim lain. Disinilah letak ketidakadilan itu, di mana empat tim tersebut “diambil” dari peringkat ketiga terbaik dari enam grup tersebut, hingga bisa diibaratkan mereka seolah lolos dari lubang jarum untuk kemudian dapat undian jackpot! Argentina di Piala Dunia 1986 tambil sebagai juara. Namun di Piala Dunia 1990, Argentina kalah tipis 0-1 di laga awal oleh Kamerun. Hanya bermodal sekali menang dari Uni Sovyet dan seri dengan Rumania, Diego Maradona cs dianggap tim “anak bawang” yang ikutan lolos ke perdelapan final sebagai peringkat ketiga. Namun apa yang terjadi, Argentina menenggelamkan Brasil di 16 besar dengan kemenangan tipis 1-0. Padahal Brasil di tiga laga awal tampil superior dengan tiga kali kemenangan beruntun atas Swedia, Kosta Rika dan Skolandia. Tidak cuma sampai di situ, Argentina yang main apa adanya, terus melaju setelah mengalahkan Yugoslavia dan tuan rumah Italia di perempat final dan semifinal. Dua kemenangan itu didaptkannya dari adu penalti. Dan di final, Argentina di bawah komando Carlos Bilardo yang bermain super defensive, nyaris membuat Jerman (Barat) frustrasi kalau saja tidak tertolong oleh penalti back Andreas Brehme di menit-menit terakhir. Piala Dunia 1990 yang menggunakan sistem “aneh” ini sepertinya menelan korban tim-tim terbaik seperti Italia dan Inggris kala itu. Mereka tak berdaya disandung oleh tim-tim “setengah jadi” yang lolos berkat aturan peringkat ketiga. Namun FIFA bergeming, tetap menggunakan sistem seperti itu hingga Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Kala itu giliran Italia yang mendapat durian runtuh. Cuma menang satu kali dari Norwegia, itupun tipis 1-0, Italia maju ke 16 besar kendati kalah 0-1 dari Irlandia dan seri 1-1 dengan Meksiko. Namun Roberto Baggio dkk beruntun menang tipis dari Nigeria, Spanyol dan Bulgaria di perdelapan final hingga semifinal. Dan di final, Italia menjadi juara dunia kalah saja tak kalah dalam adu penalti dramatis dengan Brasil setelah mereka membuat angka kacamata hingga 120 menit pertandingan final yang menjemukan. FIFA baru meninggalkan sistem ini pada Piala Dunia 1998 di Prancis, manakala tim finalis yang hadir menjadi 32 tim, sehingga terbagi dalam delapan grup, dimana juara dan runner-up-nya saja yang mempunyai hak melaju ke sistem gugur perdelapan final atau 16 besar. Sejak saat itu hingga Piala Dunia terakhir 2014 di Brasil, sudah lima kali dipertandingan dengan sistem populer yang adil dan tuntas. Dalam helatan Euro, tahun 2016 ini adalah kali pertama (sekaligus yang terakhir) menggunakan sistem aneh tadi. Tahun 2012 lalu, peserta finalis hanya 16 tim yang artinya masuk dalil deret geometris di atas. Dan empat tahun ke depan, kontestan finalis adalah 32 tim, lebih “masuk akal” untuk urusan sistem atau skema kejuaraan. Namun untuk jumlah keanggotaan UEFA yang masih kurang dari separuh member FIFA, jumlah 32 tim peserta putaran final, juga menuai kritikan baru. Dengan jumlah sebanyak itu, publik khususnya para pengamat mengkhawatirkan turunnya mutu atau kualitas finalis. Versi pesimis ini mengemukakan pendapat bahwa 32 tim terlalu banyak, sehingga akan hadirlah tim-tim gurem yang datang ke putaran final sebagai turis atau tim pelancong belaka. Datang, kalah dan lupakan! Namun golongan optimis mengatakan jumlah 32 tim masih terlalu sedikit, mengingat sepak bola (di Eropa) sudah menjadi industri yang bukan melulu masalah prestasi olah raga, namun juga persoalan bisnis hiburan dan aset pariwisata. Michels Platini, mantan Presiden UEFA yang menggagas kepesertaan 32 tim finalis ini, mengatakan bahwa semakin banyak yang terlibat dalam satu turnamen, maka semakin besar pula aura positif yang akan memengaruhi kualitas. “Itulah sebabnya ide multi-host, banyak tuan rumah untuk satu turnamen, akan mendatangkan banyak keuntungan. Itu terjadi oleh, dari dan untuk perkembangan serta kemajuan sepak bola,” demikian Platini mengagasnya, jauh hari sebelum ia dihujat sebagai koruptor bersama mantan Ketua FIFA, Joseph Blatter. Bagaimanapun berseberangannya kaum pesimistis dengan golongan optimis, toh roda sepak bola terus berputar. Industri ini sudah menggurita ke seluruh level kehidupan di lima benua. Dan sudah barang tentu, eksplorasi (dan eksploitasi) terus terjadi di dunia sepak bola. Campur tangan teknologi, perubahan peraturan, penyempurnaan sistem pertandingan dan peningkatan kualitas teknik pemain, wasit dan kenyamanan penonton akan terus terjadi. Tapi setidaknya, bolehlah kita berharap bahwa sepak bola tetap menjadi sepak bola, cabang olah raga manusiawi yang selalu enak dimainkan dan nyaman ditonton sehingga tetap menjadi pilihan nomor satu di dunia. Semoga juga sepak bola tetap menjadi sebuah tontonan yang “masuk akal”. Bukankah akan sangat tidak lucu kalau sepak bola di kemudian hari mengenal istilah ganti bola atau tie break misalnya. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: