Uni Eropa Desak Inggris Cepat-cepat Pergi

Uni Eropa Desak Inggris Cepat-cepat Pergi

BERLIN - Uni Eropa (UE) sudah gerah dengan Inggris. Mereka meminta Inggris segera mengurus pelepasan dirinya. Tidak perlu menunggu hingga Oktober seperti janji Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron. UE meminta Cameron memulai proses formal perpisahan itu besok. Yaitu, pada acara pertemuan Dewan Eropa di Brussels. Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz menegaskan, jika dibiarkan berlarut-larut, Brexit alias British Exit akan mengakibatkan ketidakpastian di berbagai sektor. Alasan Cameron menunda pembicaraan masalah tersebut hingga Oktober mendatang, setelah ada pengganti dirinya dianggap sebagai taktik yang menyakiti banyak pihak. ”Karena itulah, kami berharap pemerintah Inggris mengurusnya sekarang. Pertemuan Selasa nanti adalah waktu yang tepat,” tegas Schulz. Pernyataan resmi bahwa Inggris keluar dari UE sangat penting. Sebab, tidak ada kerja sama baru dalam bentuk apa pun antara Inggris dan UE yang bisa disetujui sebelum kesepakatan perpisahan itu selesai. Proses pertama bisa dimulai dengan menginformasikan kepada anggota Dewan Eropa tentang ”perceraian” dengan UE itu. Beberapa petinggai UE bahkan menegaskan bahwa Cameron tidak perlu menulisnya secara formal, cukup mengucapkannya besok agar prosesnya berjalan cepat. Hal berbeda diungkapkan Konselir Jerman Angela Merkel. Dia mengungkapkan, keputusan berada di tangan Inggris, kapan mereka ingin memulai proses perpisahan. Meski begitu, Merkel meminta tidak mengulur waktu. ”Tidak ada alasan untuk menjadi jahat dalam negosiasi ini. Kita harus mengikuti aturan permainan,” ujar Merkel. Secara terpisah, Peter Altmaier –kepala staf Merkel– memperkirakan bahwa kecil  kemungkinan Cameron memulai proses Brexit besok. Malah sangat mungkin dilakukan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan ke depan. Bisa jadi malah benar-benar menunggu pemerintahan yang baru. Sementara itu, hasil referendum tersebut malah membuat Inggris kian terbelah. Di kota-kota yang memiliki kampus-kampus besar seperti Oxford dan Cambridge, 60 persen penduduk lebih memilih remain atau bersama dengan Eropa. Namun, di daerah pinggiran yang dihuni banyak imigran, pemilih leave lebih tinggi. Meski referendum sudah selesai dan telah diketahui hasilnya, perdebatan terus saja memanas. Sebab, meski rakyat memilih leave, mayoritas legislator yang menjadi wakil rakyat justru ingin tetap bersama UE. Pergolakan paling nyata adalah di Skotlandia. Penduduk Skotlandia kukuh ingin bersama dengan UE. Hasil referendum berupa Brexit membuat mereka ingin mengulang referendum untuk memisahkan diri dari Inggris seperti 2014. ”Inggris yang dipilih warga Skotlandia pada referendum 2014 sudah tidak ada lagi,” ujar First Minister Skotlandia Nicola Sturgeon kemarin (26/6). Pasca Brexit, referendum kedua di Skotlandia kini sangat mungkin terjadi. (AFP/Reuters/CNN/sha/c6/kim)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: