Komunisme Tidak Tidur
Oleh: Mochamad Rona Anggie* Ini bukan perang dingin. Amerika tak lagi melawan Uni Soviet. Negeri Leo Tolstoy itu sudah bubar. Tapi komunisme belum gulung tikar. Masih menjalar di banyak nalar. Terutama kaum muda. Memimpikan diktatur proletariat berjaya. Menginginkan bendera merah palu-arit berkibar di tiap tiang. Paman Sam keluar sebagai pemenang. Kapitalisme laku keras. Diadopsi (baca: dipaksakan) di banyak negara dunia ketiga. Termasuk Indonesia. Sistem ekonomi pro pasar bebas bergulir pasca Soekarno jatuh (atau dijatuhkan). Kaum borjuis di atas angin. Pertentangan kelas sementara sirna. Pemodal mendominasi kehidupan bangsa. Jadi tulang punggung liberalism economic. Buruh dan tani pulang ke habitat asal. Tak lagi bersinggungan dengan politik praktis. Di-setting sibuk bekerja di pabrik-pabrik. Dibuat serius mengurusi padi dan hasil panen. Sampai di sini, komunisme seolah telah lenyap. Terasa senyap. Tangan besi orde baru bertindak supertegas. Sukses membuat ngeuri siapapun yang coba menghidupkan lagi Marxisme-Leninisme. Kekuasaan tidak abadi. Jenderal Soeharto lengser pada 1998. Layar TV penuh warna-warni jaket almamater mahasiswa. Ada kuning, hijau, merah, biru, coklat, dan abu-abu. Mereka bersorak-sorai di atas atap gedung DPR/MPR. Tak ada motif loreng yang di-shoot. Rakyat girang bukan kepalang. Pihak lain bersedih – keluarga, kerabat, sejawat, teman dekat, dan tentu saja sohib bisnis. Sejak itu Indonesia nyaris mendekati Amerika. Kebebasan berpendapat jebol. Tak lagi berpintu. Keterbukaan informasi mengalir deras. Tak ada lagi sensor atas nama penguasa. Pembungkaman dengan dalih stabilitas nasional menyusut drastis tis tis... Pihak yang bersedih tak terlalu terekspos. Maklum, reformasi memang era bergembira nasional. Hari-hari suka-cita setelah 32 tahun merasa terkekang. Pelarian politik senang hati bisa pulang kampung. Puluhan tahun mereka menumpang makan dan tidur di negeri orang. Semestinya para politisi yang terdongkrak pamornya oleh reformasi, dan mereka yang bisa pulang lagi ke tanah air, mentraktir para mahasiswa minum es soda gembira sebagai wujud terima kasih. Dengan demikian lengkaplah gembira-gembiraannya hehe.. Kini semua orang bebas bicara. Bebas bikin media massa. Bebas umbar cerita. Bebas turun ke jalan. Sedikit-sedikit demonstrasi. Pemerintah seenaknya dicaci. Semua harus dituruti. Sampai satu Mei pun akhirnya jadi agenda istirahat nasional. Libur. Memperingati Hari Buruh Internasional. Mayday. Di titik ini, kaum buruh Indonesia mendapat amunisi. Hati-hati komunis menunggangi. Muncul kemudian upaya penelikungan sejarah. “Korban” 1965 naik panggung. Menyuarakan kebenaran versi komunis. Coba adu tanding dengan catatan versi penguasa. Mereka mendesak permintaan maaf resmi dari pemerintah. Siapa sebenarnya yang menjadi korban? Secara umum masyarakat masih mengacu ke sejarah “buatan” negara. Rakyat Indonesia phobia terhadap komunisme. Apalagi pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Propaganda penguasa lewat film G-30-S/PKI diterima baik. Sinema arahan sutradara wong Cirebon, Arifin C Noer itu berhasil menyusupkan kekejaman komunis pada memori masyarakat nusantara. Sampai hari ini ucapan, “Darah itu merah jenderal…” pasti masih terngiang di ingatan penonton. Bahkan jadi anekdot, “Siapa bilang hijau…” Kaum komunis menganut “agama” materialisme. Pertentangan kelas alat perjuangan. Prinsip hidup sama rata-sama rasa janji manis. Padahal setelah diktatur proletariat terbentuk, masyarakat komunis tetap jadi objek tirani. Lihat bagaimana penerus Lenin, Joseph Stalin yang membunuhi rakyat sendiri. Menyingkirkan kawan dan lawan demi ambisi pribadi. Baca seperti apa penerapan Revolusi Kebudayaan oleh Mao Tse Tung di Tiongkok sana. Kelompok kontra-revolusi dibabat habis. Sejarah dunia juga mencatat kebengisan rezim komunis Polpot di Kamboja. Indonesia tidak kalah. Aksi Munawar Muso dan Dipa Nusantara Aidit pun berdarah-darah. Penumpasannya pun menimbulkan banjir darah. Komunisme pada praktiknya adalah tragedi. Melahirkan ironi dan ilusi. Dogma anti-Tuhan sebab terbesar rakyat Indonesia menolak keras komunisme. Terlebih mayoritas penduduk muslim. Individu muslim wajib menuhankan Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak tertarik menjadi seorang atheis. Atau mengganti Tuhannya dengan materi bersifat kebendaan. Ini kesyirikan dalam Islam. Kaum komunis menafikan segala sesuatu yang immateri. Sementara muslimin wajib beriman pada yang gaib. Allah itu ada. Surga dan neraka ada. Kebangkitan setelah kematian itu pasti. Ada kehidupan baru di alam yang baru pula. Bukan game over pada kesudahan menjadi tanah (baca: materi), dan selesai begitu saja. Belum lagi kerusakan akibat racun kata-kata Karl Marx, “Religion is the opium of the people” – agama itu candu bagi manusia, yang ditulis pada 1844. Ucapan ini menyihir kaum muda untuk meninggalkan ajaran agama. Mereka berlomba untuk tidak salat. Tidak ke majelis ilmu. Menilai syariat hanya sebagai candu pengantar tidur. Meninabobokan individu atas berbagai ketidakadilan di depan mata. Penggemar Karl Marx tenggelam dalam filsafat materialisme: semua berasal dari benda dan alam. Tak ada pencipta. Tak ada agama. Pemikiran ini membidani teori evolusi Darwin: nenek moyang manusia adalah kera. Bukan Nabi Adam alahissalam yang diciptakan Allah azza wa jalla. Sungguh batil dan menyesatkan. Sayangnya, teori kufur ini dibahas dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Indonesia. Kaum komunis negeri ini selalu bersandar pada akibat. Menuntut hak dan persahabatan. Mereka menutupi sebab mengapa ada pembersihan. Fakta sejarah pemberontakan Madiun 1948 dan G-30-S/PKI hanya dianggap dongeng Peter Pan masa kecil. Sekarang jelas. Korban komunisme di Indonesia sebenarnya adalah masyarakat keseluruhan. Mereka mengalami trauma fisik harus mendukung perjuangan komunis. Lainnya gegar mental karena “terpaksa” menyingkirkan keyakinan bertuhan yang sudah mendarah-daging. Pada bagian ini Soekarno coba mencetuskan ide ‘kerja sama” nasionalis-agama-komunis (Nasakom). Penulis kira, ini upaya gencatan senjata semu atas friksi ketiganya. Menjadi aneh rasa Coca-cola bila dicampur kopi dan jus ilalang. Satu pihak cinta-mati pada negeri. Lainnya setengah mati menjalankan perintah dan larangan Tuhan. Satu lagi rela mati ingin buruh-tani dipersenjatai. Lembar sejarah perlu dibuka. Perjuangan merebut kemerdekaan tak lepas dari spirit Keislaman. Dengar kisah di setiap front pertempuran melawan penjajah kafir Belanda. Gerilyawan merah-putih tak henti bertakbir di sela semboyan “merdeka atau mati”. Para pejuang bersandar pada pertolongan Allah. Berharap Allah beri kesabaran dan kemenangan. Ingat pula upaya mempertahankan kemerdekaan. Belanda dan sekutu sakit hati. Mereka lancarkan agresi. Iri pada kumandang proklamasi. Tak rela negeri muslim Indonesia berdaulat. Pada pertempuran 10 November 1945, dengan heroik Bung Tomo membakar semangat pejuang dan menyerukan jihad fi sabilillah. Dia berpesan agar rakyat Surabaya tidak mundur. Bertempur sampai mati. Pekik takbir, Allahuakbar... Allahuakbar… membahana di tengah dentuman mortir musuh. Di antara hujan peluru. Pejuang hanya bersenjata bambu runcing. Tapi nyali mereka gaas pool… Tak ciut. Berharap kemenangan atau mati syahid. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Membuat Belanda lari tunggang-langgang. Urung kembali menjajah negeri Teuku Umar. Tiba-tiba komunis datang. Membuat onar. Mengkhianati perjuangan. Ingin menyovietkan Indonesia pada 1948. Ingin asas ketuhanan diganti. Menjadi penghambaan kepada yahudi Karl Marx dan Frederich Engels. Das Kapital dan On Religion sebagai “kitab sucinya”. Sungguh siapa yang sudi. Semua tidak rela. Terlalu… Kata Bang Roma Irama. Secara fisik PKI memang sudah tidak ada. Tameng hukum negara (Tap MPRS No. XXV / 1966) masih berwibawa. Nyaris dicabut masa Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Upaya rekonsiliasi “korban” 1965 juga menguat zaman Gus Dur. Alhamdulillah, semua elemen anak bangsa masih waras. Menanggapi dingin upaya tersebut. Tapi, perjuangan aktivis dan simpatisan komunis masih berlanjut. Jangan pandang remeh. Rekonsiliasi masih jadi harapan. Kita harus terus siaga. Komunisme masih memiliki sayap – walau patah-patah. Jangan dibiarkan terbang mengembang. Anggota masyarakat jangan jemu mengingatkan bahaya komunisme. Sebab, Internasionale – lagu kebangsaan komunis internasional – masih mudah didownload. Bait syairnya, yang ditulis penyair buruh Perancis, Eugeune Pottier, masih mengilhami spirit kaum komunis memugar kembali kekuatan di masa lalu. Bangunlah kaum yang lapar… Bangunlah kaum yang hina… Tidak berdering, tapi masih bisa bergetar. Begitulah sinyal komunis. Terus terjaga menunggu kesempatan. (*) *) Mantan wartawan. Pemerhati sosial dan keagamaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: