Membaca Seni Arsitektur Tiongkok Klasik dari Cirebon

Membaca Seni Arsitektur Tiongkok Klasik dari Cirebon

WARGA etnis Tionghoa di Kota Cirebon tumbuh dengan pesat. Namun sudah jarang ditemui bangunan dengan karakteristik arsitektur Tiongkok klasik. Yang tersisa dan paling menonjol adalah Wihara Dewi Welas Asih dan Kelenteng Talang. Bila ingin menyaksikan peninggalan seni arsitektur Tiongkok klasik di Kota Cirebon. Dua bangunan yang menjadi ikon warga Tionghoa di Kota Cirebon itu wajib dikunjungi. Sampai saat ini, dua bangunan yang sudah berusia ratusan tahun itu masih berfungsi sebagai tempat peribadatan warga Tionghoa di Kota Cirebon. Klenteng Talang yang terletak di Jalan Talang Nomor 2, Kota Cirebon kini lebih dikenal sebagai tempat peribadatan umat Kong Hu Cu. Sedangkan Wihara Dewi Welas Asih yang berada di Jalan Kantor No 2, Kota Cirebon, merupakan tempat peribatan umat Budha. Namun demikian, keduanya bukan cuma tempat kehidupan beragama berlangsung. Namun juga ungkapan lahiriah jemaatnya. Di masa lalu, kelenteng merupakan pusat aktivitas warga Tionghoa yang ada di perantauan. Yang menarik dari mengunjungi tempat peribatan kuno peninggalan warga Tionghoa bukan hanya sejarahnya. Keindahan arsitektur pun menarik untuk diamati. Meski Klenteng Talang dan Wihara Dewi Welas Asih menjadi tempat peribadatan dua umat yang berbeda. Namun, keduanya memiliki corak arsitektur yang hampir serupa. “Jika diamati secara detail memang berbeda. Tapi secara umum, kurang lebih konsepnya sama,” ujar Romo Junawi, Pembina Agama Budha di Kelenteng Dewi Welas Asih. Dalam buku Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya yang ditulis oleh David G Khol pada tahun 1984 dipaparkan ciri-ciri arsitektur orang Tionghoa perantauan yang ada di wilayah Asia Tenggara. Corak arsitektur yang dijelaskan oleh David G Khol di dalam bukunya memiliki kesamaan dengan keindahan arsitektur yang ada di Wihara Dewi Welas Asih dan Klenteng Talang. Misalnya, penekanan Khol pada bentuk atap yang khas. Yaitu atap jenis Ngang Shan. Atap pelana dengan bagian ujungnya yang melengkung. Wihara Dewi Welas Asih dan Klenteng Talang pun menggunakan bentuk atap yang demikian. “Tempat peribatan warga Tionghoa memang memiliki kekhasan. Baik dari bentuk dan warnanya. Itu karena kami sangat memenjaga warisan budaya leluhur,” kata Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia Kota Cirebon, Teddy Setiawan. (Tatang Rusmanta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: