Statusmu Harimaumu

Statusmu Harimaumu

SAYA tidak tahu pastinya berapa, tapi saya yakin, tidak sedikit orang yang langsung melihat status PP begitu bangun tidur. Dan terus mengeceknya secara berkala dalam seharian. Ada yang lucu? Ada. Ada yang ironis? Ada. Ada yang kelihatan tidak sesuai dengan pemasangnya? Ehm, ehm… Seperti sudah pernah saya tulis (Happy Wednesday 13), saya termasuk orang offline. Tidak aktif di Facebook, tidak punya akun Twitter, tidak ikut Snapchat, dan lain sebagainya. Bahkan, WhatsApp pun tidak. Hidup saya lebih tenang dengan pola komunikasi yang saya tentukan sendiri sesuai kebutuhan keseharian saya. Tapi jujur, saya –seperti banyak orang– termasuk sering lihat status orang di hape saya. Bagaimana tidak, mau tidak mau, sengaja tidak disengaja, status-status itu dengan mudah terlihat. Yang paling sering disengaja mengecek hanya pagi. Sebab, saat itulah rekan-rekan sehobi (bersepeda) berkomunikasi. Siapa sudah bangun, siapa ketiduran, siapa sudah siap, siapa tidak enak badan, hujan atau tidak, hujan di wilayah mana, dan lain sebagainya. Siangnya biasanya tidak disengaja. Karena terlihat ketika mencoba mengontak orang lain. Dasar lulusan marketing, yang salah satu studi favoritnya consumer behavior, membaca/melihat status-status itu bisa memancing berbagai perasaan. Tertawa, sedih, bangga, kecewa, geleng-geleng kepala. Tentu yang paling diinginkan adalah tertawa dan terhibur. Ada banyak orang yang suka memasang status-status humoris di PP-nya, tapi tidak banyak yang pandai mengurasi gambar/tulisan yang kadar lucunya berkualitas. Sederhananya: Banyak yang mencoba lucu, tapi yang ”lucunya berkelas” tidak banyak. Kebanyakan bahkan norak. Kadar lucu itu bisa menjadikan PP mereka sebagai jendela kepribadian masing-masing. Atau bahkan jendela kenyataan. Waktu itu teman saya yang ”lucu tingkat tinggi” ini menulis di status BB, ”The relationship between husband and wife is very psychological. One is Psycho and the other is Logical. Now please don’t try to figure out Who is Who.” Begitu melihat itu, saya langsung mengirim pesan ke dia, ”Istri kamu pasti tidak pakai BB.” Karena senakal apa pun seorang suami, biasanya tetap ada takutnya –kadar berbeda-beda– kepada istri. Benar saja, dia menjawab, ”Hehe, iya. Istriku komunikasi pakai WA.” Ada juga orang yang sebenarnya baik dan menyenangkan, tapi kalau melihat statusnya kadang terkesan norak. Foto di depan Ferrari, makan pagi di hotel mana, terbang di bangku pesawat kelas bisnis, dan lain-lain yang serupa. Lha itu maksud dan tujuannya apaaaaaa? Tidak sedikit yang membuat hati tersentuh dan trenyuh. Menampilkan foto bersama anak, istri, atau suami, merayakan atau menikmati momen yang berkualitas. Atau memasang tulisan yang simpel tapi jelas dan tidak bertele-tele. Misalnya, ”Thanks God.” Aduh, senangnyaaaaaa melihat status-status seperti itu. Yang paling sering bikin saya geleng-geleng kepala adalah mereka yang mencoba untuk memberi inspirasi atau berupaya jadi orang yang inspiratif. Kata kuncinya ”mencoba” dan ”berupaya”. Yang seperti itu banyak lampu warning dan jebakannya. Pertama, biasanya kutipan atau gambar itu bersifat klise dengan arti yang terlalu luas. Misalnya, ”Dream, believe, and make it happen.” Kalau zaman kuliah saya dulu, kalau memberi jawaban yang klise dan mengambang terlalu luas, nilainya ”F”. Harus konkret, jelas, minimal deskriptif. Kedua, biasanya juga bukan kutipan buatan sendiri. Mengambil dari omongan orang terkenal atau tulisan tertentu. Jujur, saya kadang masuk kategori yang kedua itu. Tapi, saya akan memastikan kutipan atau gambar tersebut konkret dan tajam mengena. Kalau menyindir, pastikan getarannya terasa. Jangan tanggung-tanggung dan sok bijak. Misalnya, kalau ada orang yang statusnya penuh alasan, jika sedang iseng saya akan membalasnya dengan kutipan dari Benjamin Franklin, ”He that is good for making excuses is seldom good for anything else.” Wkwkwkwkwk… Yang paling bikin geleng-geleng kepala adalah kalau pesan bijaknya itu kadang tidak konsisten dengan keseharian. Dan alangkah banyaknya yang seperti itu. Dalam berbagai tingkatan. Tingkatan ”kecil” adalah memasang pesan yang mungkin dia tidak sadar bahwa itu tidak sesuai dengan kesehariannya. Tidak semua aspek kehidupannya, mungkin hanya satu atau dua. Tapi sudah cukup untuk menjadikan status PP-nya tidak konsisten. Contoh teman yang juga sehobi dengan saya (bersepeda). Statusnya gambar tangga dengan tulisan ”There is no elevator to success. You have to take the stairs…” Mungkin dalam hidup keluarganya dan profesionalnya mencerminkan status itu. Bahwa hidup ini tidak bisa diraih dengan jalan pintas dan otomatis, harus mau bersusah-susah dulu. Tapi, status PP itu tidak sesuai dengan hobinya: Karena dia enggan susah-susah lewat rute menanjak. Wkwkwkwkwk… Tenang, itu tingkatan ”kecil”. Ada yang tahap full blown munafik. Kebetulan, variasi orang yang tercatat di hape saya tergolong sangat luas. Mungkin lebih luas daripada kebanyakan orang. Ada banyak orang di organisasi pemerintahan atau formal lain yang selalu memasang status-status ”suci”. Menyebut nama Tuhan, mengutip doa (dalam agama apa pun), menulis pesan bersyukur yang luar biasa. Padahal, saya tahu persis kesehariannya seperti apa. Bahkan sangat ekstrem dengan kenyataan! Tidak hanya bikin geleng kepala, kadang status mereka sampai memberi rasa yucky. Badan sampai terasa gatal membacanya. Hehehe, mungkin setelah membaca tulisan ini, orang-orang yang saya kenal dan tahu namanya ada di hape saya akan mencoba lebih hati-hati. Bagi yang suka memasang status lucu, silakan terus lanjutkan karena itu bisa menghibur orang dan saya yakin menghibur ada pahalanya. Bagi yang merasa cantik dan dianggap banyak orang cantik, jangan malu terus memasang foto cantiknya. Sebab, itu juga masuk kategori menghibur (untuk cowok) dan saya yakin menghibur ada pahalanya. Bagi yang ingin menyampaikan pesan bijak, well, punya cermin nggak? Kalau memang cocok, monggo disampaikan. Karena kalau itu bermanfaat, juga ada pahalanya. Bukankah ada ucapan –walau klise– yang bilang: Jadilah dirimu sendiri? Selama itu cerminan diri sendiri dan bermaksud baik atau menghibur, mengapa tidak? Lanjutkan! Hehehe, saya pun harus lebih berhati-hati. Jangan sampai tulisan ini jadi bumerang buat saya sendiri. Seperti kata pepatah: Mulutmu harimaumu… (*) (Catatan khusus: Setelah menulis Happy Wednesday ini, saya langsung mengecek status saya sendiri. Ternyata masih gambar sepeda, wkwkwkwkwk…)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: