Gerabah Panjunan; Sudah Tembus Hotel, Tapi Minim Penerus

Gerabah Panjunan; Sudah Tembus Hotel, Tapi Minim Penerus

Para perajin gerabah yang kini telah berusia lanjut risau akan ketiadaan generasi penerus. Minimnya regenerasinya, membuat mereka khawatir seni kriya khas Jl Panjunan ini akan punah. Laporan: MIKE DWI SETIAWATI, Lemahwungkuk SATU persatu perajin gerabah tanah liat itu pun berguguran. Industri rumahan ini pun jarang terdengar lagi gaungnya. Keberadaan gerabah tanah digeser dengan kedatangan wadah berbahan plastik, logam dan melamin. Penggunaan bahan-bahan modern memang lebih praktis. Kemudian ringkas karena bobotnya tidak seperti gerabah tanah liat. Kondisi inilah yang membuat gerabah kalah saing. Namun, di tengah melemahnya produksi dan pemasaran industri gerabah tanah liat tersebut, di Jl Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, masih bisa ditemukan perajin yang setia menggeluti profesi ini. Walaupun jalannya terseok-seok, namun masih masih menampakkan semangat, kendati dengan catatan \"apa boleh buat\". Seperti yang dilakoni Ratnawati (76). Meski kerajinan seni kriya gerabah di Kota Cirebon tak lagi menjadi primadona, tapi Ratnawati tetap bertahan. Hanya saja, ia mulai resah. Pasalnya, generasi muda tidak tertarik meneruskan usaha warisan leluhur ini. Gerabah yang dijual Ratnawati bentuknya unik, bernilai seni dan ornamennya mengandung filosofi. Gerabah itu setiap hari terpajang di kios kecil miliknya. Dari yang sederhana hingga yang rumit ada. Harganya pun berbeda, sesuai dengan bentuk dan proses pembuatannya. \"Kalau dari segi harga, dari yang Rp1.500 sampe Rp1 juta ada,\" ujar Ratnawati, kepada Radar. Ratnawati kini satu-satunya penjual kerajinan gerabah di Kota Cirebon. Ia adalah generasi keempat yang sampai saat ini masih bertahan. \"Saya sudah mulai dari tahun 1960-an. Tapi sejak kawasan kota tidak boleh ada asap pembakaran dari gerabah ini, akhirnya proses dilakukan di daerah Jamblang,\" ucapnya. Dikatakan Ratnawati, pembuatan gerabah ini murni menggunakan tenaga manusia. Cara itu menghasilkan gerabah yang relatif tebal dan kuat dibandingkan dengan yang dibuat dengan alat pemutar yang menghasilkan gerabah lebih tipis. Pembakarannya pun dari bawah dan benar-benar diperhatikan tingkat kematangannya agar tak gampang pecah. Berbagai jenis gerabah yang ada di kios Ratnawati seperti pedupan, pedasan, kendi, genteng, hingga memolo masjid. \"Paling mahal memolo, satu juta rupiah. Karena prosesnya benar-benar manual,\" terangnya. Kios yang dipegang Ratnawati kini sudah terkenal dimana-mana. Pembelinya pun datang dari penjuru kota. Bahkan ada yang datang dari luar Jawa. Mereka mencari gerabah untuk tujuan khusus. \"Ada yang dari Kalimantan, sampe Batam juga ada,\" tuturnya. Alasan yang membuat Ratnawati tetap menjual gerabah-gerabah ini, tak sekadar untuk mata pencaharian. Sebagai generasi keempat, dia ingin melestarikan kebudayaan dan adat yang sudah ada.  \"Kalau itung-itungan untung secara ekonomi nggak bakal ketemu,\" ungkapnya. Kini, gerabah yang dijual Ratnawati tidak hanya dibeli oleh perorangan, tapi juga sebagai hiasan di hotel atapun di properti lain yang membutuhkan sentuhan tradisional. Ratnawati yakin kerajinan gerabah masih punya masa depan, meski dia tidak bisa menyembunyikan kekahwatiran seni kriya ini akan punah ditelan zaman. (*)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: