Kota Cirebon Punya RTH, tetapi di Argasunya
KEJAKSAN – Pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berjalan lambat, meski pemerintah kota melakukan penganggaran setiap tahun. Bahkan, pengadaan tanah untuk RTH mulai menyeret pejabat Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) kepada kasus hukum. “Sejak 2015, kita berupaya untuk menambah RTH jadi 12 persen. Ini sesuai amanat undang-undang,” ujar Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Ir Arif Kurniawan ST, kepada Radar, Kamis (15/9). Dijelaskan Arif, dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang, RTH 30 persen terdiri dari 20 persen publik dan 10 persen RTH privat. Kebutuhan RTH publik ini dianggarkan melalui dana pemerintah. Secara umum, DKP terus menambah target RTH tercapai di angka 12 persen. Angka itu merupakan amanat dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Secara bertahap jumlahnya semakin bertambah melalui berbagai sumber pendanaan. Salah satunya APBD Kota Cirebon,” katanya. Lantas, kenapa lahan yang dibeli berada di tempat terpencil? Arif beralasan, kendala utama di Kota Cirebon adalah ketersediaan lahan. Belum lagi biaya pembebasan yang cukup tinggi bila menyasar RTH di tengah kota. Karena itu, seringkali pengadaan RTH menyasar di wilayah pinggiran kota. Khususnya sekitar Kecamatan Harjamukti. Menambah luasan RTH hingga 12 persen di tahun 2018 nanti, membutuhkan anggaran miliaran rupiah untuk pembebasan lahan. Bappeda dan SKPD terkait mulai merintis mengambil lahan fasos fasum perumahan untuk membantu pemenuhan target RTH. Arif menambahkan, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 9/2009 tentang pedoman penyerahan fasos dan fasum perumahan kepada pemerintah daerah, termuat tentang penyerahan. Dalam aturan itu, satu tahun setelah selesai pekerjaan wajib menyerahkan fasos fasum kepada pemda. “Ini akan kami invetarisir,” tukas Arif. Niat baik untuk menambah RTH dilakukan secara bertahap. Hanya saja, pada pertengahan Mei 2016, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon menetapkan adanya indikasi dugaan korupsi dalam pengadaan RTH di wilayah Kelurahan Argasunya Kecamatan Harjamukti. Dugaan penyimpangan anggaran RTH itu, berasal dari anggaran APBD tahun 2015. Nilai pengadaan untuk pembebasan lahan RTH tersebut mencapai Rp3 miliar. Atas dugaan yang ada, para jaksa di Kejari Kota Cirebon melakukan tugasnya. Proses penyelidikan sudah berjalan sejak awal tahun 2016. Memasuki Mei 2016 Kejari Kota Cirebon telah meningkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan umum. Saksi-saksi bergiliran telah diperiksa. \"Semua yang terkait sudah diperiksa. Baik pejabat saat ini maupun sebelumnya,\" ujar Kepala Kejari Kota Cirebon Hariyatno SH melalui Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kota Cirebon Tandy Mualim SH. Dari indikasi dan temuan lapangan maupun pemeriksaan, Tandy yakin kasus ini semakin kuat indikasi dugaan korupsi. Hanya saja, untuk memutuskan lebih lanjut akan dilakukan sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Dari saksi-saksi yang telah diperiksa, indikasi dan bukti semakin mengarah. Dalam perjalanan selanjutnya, akhirnya Kejari Kota Cirebon menetapkan dua tersangka. AMM selaku makelar dan MTB selaku pejabat di DKP. Selanjutnya, kuasa hukum kedua tersangka menjelaskan duduk persoalan dan merasa tidak bersalah. Bahkan, salah satu kuasa hukum berencana mengajukan praperadilan. Namun, penyidik Kejari Kota Cirebon tetap bertahan dengan keyakinannya. Bahkan, saat ini berkas perkara akan masuk penuntutan. “Sudah hampir rampung. Tunggu saja waktu yang tepat masuk ke penuntutan,” ucap Tandy. Pada akhirnya, niat baik untuk menambah luasan RTH agar memenuhi amanat undang-undang harus masuk proses hukum pidana. Sampai belum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap, kedua tersangka tersebut masih dalam posisi tidak bersalah. Dalam istilah hukum pidana dengan dengan asas praduga tidak bersalah. Karena itu, sampai majelis hakim memutus dan inkracht, sampai itu pula kedudukan hukum dua tersangka masih belum dapat disebut bersalah secara mutlak. (ysf)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: