Sumpah Pemuda dan Tantangan Pancasila

Sumpah Pemuda dan Tantangan Pancasila

Oleh: Dave Akbarshah Fikarno Laksono TEKS sumpah pemuda bagi bangsa Indonesia adalah teks yang sangat berarti. Jika Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 adalah proklamasi berdirinya negara bangsa Indonesia, teks sumpah pemuda adalah teks yang memproklamasikan hadirnya Bangsa Indonesia sebagai bangsa di bumi Nusantara. Ada beberapa tesis mengenai asal muasal suku bangsa yang mendiami Nusantara ini. Beberapa ahli mengatakan bahwa suku bangsa Indonesia berasal dari Yunan di sekitar China Selatan. Namun, dalam sebuah diskusi, saudara Radhar Panca Dahana, antropolog dan budayawan dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa suku bangsa di Indonesia adalah orang asli Indonesia sendiri yang berbudaya maritim. Dengan kebudayaannya itu, mereka menjelajahi dunia hingga Madagaskar, mencapai daratan Amerika Utara dan Selatan. Selama ribuan tahun terjadi diversifikasi suku bangsa di Nusantara, ditandai dengan perbedaan bahasa, variasi budaya, dan adat istiadat yang membawa keunikan-keunikan. Sejarah sosio-politik juga memerlihatkan adanya pengaruh asing, setidaknya dalam dua dimensi. Pertama, pengaruh asing terjadi dalam bentuk masuknya agama-agama, terutama dari India, Timur Tengah dan Eropa. Inilah yang menyebabkan saat ini orang Indonesia memeluk agama Islam, Hindu, Budha dan Kristen/Katolik, dan juga berpengaruh dalam memberikan nilai dan norma baru. Pengaruh asing yang kedua adalah kolonialisasi. Tidak bisa tidak, kolonialisasi telah mengubah struktur sosial-politik, ekonomi dan budaya Indonesia. Pengaruhnya bisa dilihat dalam beberapa sektor, seperti masuknya budaya liberalisasi membuat perubahan produksi dan konsumsi dan membawa modernisasi bagi bangsa Indonesia. Sejalan dengan itu terjadi inferiorisasi masyarakat Indonesia. Jika sebelumnya bangsa Indonesia hidup sebagai negara merdeka, modernisasi kolonial justru membawa Indonesia sebagai masyarakat kuli buruh, bahkan dianggap bukan manusia. Terjadi penghapusan identitas sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Untunglah terjadi perubahan kondisi sosial-politik global pada akhir abad ke-19 yang mempengaruhi konstelasi politik di Parlemen Belanda. Salah satu hasil dari perdebatan politik itu adalah munculnya kebijakan politik etis. Politik etis ini adalah wujud dari “balas jasa” pemerintah kolonial Belanda yang telah lama mengeruk keuntungan dari sumberdaya alam Indonesia. Untuk itulah diluncurkan program edukasi, irigasi dan transmigrasi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia. Meskipun program-program tersebut lebih menguntungkan kolonial, namun hal ini juga berdampak baik bagi Bangsa Indonesia. Salah satunya dengan munculnya cendekiawan-cendekiawan Indonesia seperti Dr. Soetomo, Ir. Soekarno, Syahrir, Tan malaka, Hos Cokro Aminoto, Ignatius Joseph Kasimo, Ismail marzuki, Sam Ratulangi, Muh. Husni Thamrin, Wage Rudolf Supratman, Lambertus Nico Palar dan sebagainya. Merekalah tokoh-tokoh yang menemukan kembali ke-Indonesiaan kita yang telah tercerai berai dan kabur oleh perjalanan sejarah yang mengharu biru dalam Sumpah Pemuda 1928. Pada momen sumpah pemuda itulah Indonesia sebagai bangsa yang ditemukan kembali oleh para intelektual dari Sabang sampai Merauke digemakan. Mereka seolah hendak berkata dengan tegas: inilah kami bangsa Indonesia, satu-satunya bangsa yang menghuni wilayah dari Sabang hingga Merauke. Bangsa yang hendak bekerja mewujudkan mimpi meraih kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan dalam sebuah negara kesatuan. Negara yang menyatukan kami, yang memberi identitas kepada kami, yang menjadi wadah bagi perjuangan bersama. Teks Sumpah Pemuda yang redaksinya sederhana itu amat dalam maknanya. Kedalamanan makna itulah yang menjadi dasar utama bagi berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945. Teks sumpah pemuda memberi landasan bagi multikulturalisme Indonesia. TANTANGAN PANCASILA Setelah kemerdekaan, bukan berarti upaya pembangunan bangsa (nation building) itu selesai. Sebagaimana Bung Karno katakan, kemerdekaan adalah jembatan emas, bukan satu-satunya tujuan Bangsa Indonesia. Kemerdekaan harus menajdi wadah bagi pencapaian kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaannya, apakah setelah sumpah pemuda diikrarkan dan kemerdekaan diproklamasikan cita-cita menjadi sebuah negara-bangsa yang bersatu di bawah panji-panji Panacsila terlah tercapai? Mari sejenak di hari jadi sumpah pemuda yang ke-88 ini kita merenung tentang perjalanan bangsa menapaki berbagai tantangan yang ada. Banyak ujian dan ancaman terhadap Indonesia. Ancaman yang nyata akhir-akhir ini adalah ancaman yang bersifat sektarian berbasis agama dan ideologi. Hal ini dapat diamati dalam perkembangan pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta yang masih kental dengan isu SARA. Padahal sebagai ibu kota negara, Jakarta harus menjadi barometer nasional dalam mengelola isu sektarian. Sayangnya, isu SARA masih kental dalam nuansa politik Jakarta. Ancaman sektarian terjadi karena adanya konflik nilai yang dianut sekelompok masyarakat. Nilai agama dan ideologi memang secara tradisional amat kuat mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang. Ia memberi motivasi lebih bagi seseorang untuk bertindak. Sekelompok orang yang radikal melupakan atau mengesampingkan adanya sharing values bangsa Indonesia yang amat menghargai keberagaman (pluralisme). Ketika hal itu terjadi, maka perasaan sebagai Bangsa yang satu dan bermartabat dilindas motivasi radikal untuk tujuan yang sempit. Ini merupakan cermnin dari lemahnya pemahaman atas nilai-nilai keberagaman (pluralisme) yang terdapat dalam Pancasila. Pancasila seolah dilupakan. Pancasila ditinggalkan dalam pergaulan hidup. Secara umum, pesimisme berkembang mengenai fungsi dan bahkan eksistensi Pancasila. Sangat umum kita temui pernyataan bahwa Pancasila hanyalah sebuah simbol yang tidak lebih dari hiasan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ia hanya indah dalam pidato dan retorika politik. Jika fakta yang terjadi tentang Pancasila hanya sebatas hal tersebut, lalu apa makna sumpah pemuda dan Proklamasi kemerdekaan? Bagi saya, jawabannya bisa jadi sangat mendalam. Bukan hanya sebatas apakah seorang individu berkomitmen terhadap pelaksanaan Pancasila, namun lebih dari itu bagaimana sistem struktural memberi ruang bagi pembumian, pelembagaan dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Hanya mengandalkan upaya individual seperti melepas seekor domba dalam komunitas singa yang buas. Ataupun jika ada banyak individu yang berkomitmen atas pemahaman, pengahayatan, dan pengamalan Pancasila, mereka hanya akan menjadi semacam kerumunan yang tidak berdaya. Maka jalan terbaiknya adalah pelibatan struktural kekuasaan untuk membumikan kembali nilai-nilai Pancasila. Hal itu harus dimulai di momentum sumpah pemuda ini. Hemat saya, ada beberapa langkah dalam membumikan Pancasila, yaitu: Pertama, kita harus mengukuhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara, yang menjadi haluan para penyelenggaran negara. Kedua, Pancasila sebagai ideologi perlu dikembangkan menjadi Pancasila sebagai ilmu. Ketiga, kita perlu mengusahakan agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Keempat, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, yang melibatkan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kelima, Pancasila yang pada masa lalu sering dijadikan alat negara untuk “menekan” rakyat, justru bisa dijadikan timbangan untuk menilai dan mengeritik kebijakan negara. Upaya yang lebih keras dan sistematis harus terus dilakukan agar Pancasila terus hidup sebagai penyangga utama keberagaman bangsa Indonesia. Bung Karno pernah mengungkapkan: “Kecuali Pancasila adalah satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan yaitu penyakit Imperialisme.” Semoga keyakinan Bung Karno terus kita jaga dan kita rawat dalam momen sumpah pemuda ini. Selamat Sumpah Pemuda untuk semua generasi muda masa depan Indonesia. (*) *) Penulis adalah Ketua Umum DPP AMPI 2010-2016, Anggota Komisi I DPR RI  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: