Film Karatagan Ciremai; Angkat Cerita dari Cigugur, Ditayangkan di Malaysia

Film Karatagan Ciremai; Angkat Cerita dari Cigugur, Ditayangkan di Malaysia

Rasa kecewa Anih Kurniasih (15) tertuang dalam sebuah film dokumenter. Film berdurasi 17 menit itu menayangkan kisah Anih yang dalam lingkungannya kerapkali dipandang berbeda karena keyakinan yang dianutnya. Laporan: MIKE DWI SETIAWATI, Cirebon KARATAGAN Ciremai, sebuah tontonan yang disuguhkan mengangkat isu tentang kebebasan berkeyakinan sesuai UUD, pemerintahan yang adil dan tidak mendiskriminasi serta hak mendapatkan kualitas pendidikan. Sebuah film yang menceritakan bagaimana seorang gadis asal Desa Cigugur, Kuningan Jawa Barat yang meyakini agama leluhurnya yakni Sunda Wiwitan. Gadis tersebut bernama Anih Kurniasih (15), keyakinan yang dianut dia dan keluarganya tidak diakui oleh negara. Film yang disutradarai oleh Adi Mulyana ini diputar bersama di salah satu warung kopi belum lama ini. Adi Mulyana selaku sutradara dan juga pembicara dalam acara tersebut mengungkapakan bagaimana pengamatannya sebelum film ini dibuat. Ia memaparkan bagaimana keterbukaan penganut Sunda Wiwitan. Mereka mampu menerima agama lain masuk seperti Hindu, Islam, dan Katolik pada abad 13 sampai 17. Menurutnya, disitulah terjadinya intoleransi yang sangat masif. Ia menyatakan bahwa persoalan negara yang harus melindungi hak-hak masyrakatnya itu sudah pasti harus dilakukan dan negara harus memberi pembinaan, tetapi tidak pada mengganti keyakinannya. \"Film ini sebagai kampanye untuk memperjuangkan kalangan yang terdiskriminasi. Saya ingin menyampaikan esensi yang sebenar-benarnya apa arti kebhinekaan,\" katanya. Film tersebut menceritakan Anih yang kesulitan mendapatkan administrasi kependudukan. Berdasarkan alasan negara hanya mengakui enam agama resmi, Anih dan keluarganya senantiasa mengalami diskriminasi. Sejak lahir, ia tercatat sebagai anak angkat dari kedua orang tua kandungnya. Pernikahan orang tuanya dianggap tidak sah. Akibatnya, Anih dan adik-adiknya tidak memiliki akte kelahiran. Padahal, tanpa akte kelahiran, sulit untuk Anih mendapatkan administrasi kependudukan lainnya. Kemudian Anih yang kini menginjak SMA bercerita bahwa dulu ia pernah pindah sekolah. Awalnya Anih bersekolah di lingkungan mayoritas beragama Islam, ia merasakan adanya diskriminasi, lalu pindah ke sekolah yang mayoritas beragama Katolik, ia pun secara tidak langsung merasakan hal yang sama dengan sekolah sebelumya. Mereka seolah merasa kalau Anih adalah bukan bagian dari mereka. Namun Anih dan teman-temannya yang hadir malam kemarin mengaku kini sedikit lebih tenang. Baginya, keyakinan Sunda Wiwitan mengajarkan bagaimana bertoleransi dan mencintai sesama, memiliki Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lainnya. Katanya, urusan agama adalah bagaimana hubungan ia dengan Tuhannya. Selain Anih, beberapa remaja lainnya pun kerap merasa heran karena lingkungan di sekolahnya seolah dikucilkan. Menurutnya, bukankah toleransi adalah saling menghargai meskipun berbeda keyakinan. Tetapi yang mereka rasakan adalah diskriminasi yang amat menganggu pikiran. Turut dihadiri pembicara yakni Dewi Kanti dari Kuningan, Ady Mulyana sebagai sutradara dan di moderatori oleh Sinta Ridwan. Selain di Cirebon, film ini rencananya akan diputar di Malaysia. Pada sesi diskusi Dewi Kanti mengatakan bahwa perjuangan mempertahankan keyakinan leluhurnya sangat sulit. Sederhananya, untuk memperoleh pendidikan di sekolah saja cukup lama, karena dalam mengisi formulir pendaftaran ada form untuk mengisi agama. Kemudian, pembuatan KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Surat Nikah dan lainnya. Padahal, Indonesia menganut semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun dalam implementasinya masih banyak masyarakat yang kurang toleransi terhadap keyakinan. \"Ini utang peradaban bangsa pada masyarakat adat. Yang berpuluh tahun belum tuntas penyelesaiannya. Perlindungan negara masih setengah hati melayani dan melindungi masyarakat adat,\" ujarnya. Dewi menilai, negara belum hadir melindungi hak konstitusi masyarakat adat yang meyakini ajaran para leluhurnya. Ia memandang, masyarakat dan aparatur negara masih terjebak pada dikotomi agama dan kepercayaan. (*)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: