Beda Kampanye Hitam dan Kampanye Negatif
(Menarik Pelajaran dari Iklan Mirrors Hillary Clinton) Pemilihan Presiden Amerika Serikat baru saja tuntas. Donald Trump jadi pemenangnya. Partai Republik juga mendapat mayoritas suara di legislatif dan senat Amerika Serikat. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pilpres Paman Sam, termasuk dari segi iklan politik. IKLAN politik merupakan hal yang menarik dikaji. Bukan karena berhasil membawa seorang kandidat menjadi pemenang atau gara-gara iklan, kandidat itu kalah. Sebab, iklan politik mestinya bukan hanya menjadi alat propaganda, tetapi menjadi media untuk masyarakat agar memiliki perbandinngan agar memiliki pilihan yang menurutnya benar. Studi mengenai iklan politik memang jarang dilakukan. Padahal, segmentasi ini punya peran besar terhadap kehidupan bernegara dan pendewasaan berdemokrasi. Apalagi, Indonesia akan menghadapi pemilihan umum serentak 2017. Seperti diketahui, iklan memang dapat membentuk citra seseorang. Tetapi, apakah kata-kata yang membuai, pujian setinggi langit untuk aktor politik saja cukup? Apakah dapat memenuhi kebutuhan pemilih? Kalaupun ya, pastinya mudah goyah. Karena lawan politiknya, juga melakukan hal serupa. Akhirnya, yang muncul adalah aktor politik yang punya performance menarik, ganteng dan cantik. Artis, akhirnya berlomba terjun ke dunia politik karena punya hal-hal yang disebut tadi. Sementara masyarakat, lagi-lagi terjebak dalam sihir performa. Kenapa? Konstruksi realitas yang dibangun dalam iklan dan pemberitaan oleh aktor politik tidak memenuhi apa yang dibutuhkan. Tidak menjawab pertanyaan yang muncul di benak masyarakat. Kemudian, tidak memberikan learning effect yang mendewasakan masyarakat. Akhirnya, demokrasi hanya sebatas menghaburkan uang tanpa proses pendewasaan di dalamnya. Belakangan ini pakar politik menemukan kenyataan bahwa opini publik dibentuk oleh mood, emosi dan perasaan individu. Berangkat dari kenyataan maka iklan-iklan politik belakangan ini umumnya lebih mengeksploirasi faktor emosi, ketimbang menjual isu-isu atau kebijakan-kebijakan kandidat. Fenomena iklan dalam kampanye pilkada seharusnya memberikan ruang terbuka bagi pemilih untuk belajar menjadi pemilih yang cerdas. Namun sayang sekali iklan politik belum mengajak warga untuk berpikir cerdas (Putra; 2007). Dari Pilpres AS, ada satu iklan yang menarik dikaji. Iklan Hillary Clinton berjudul Mirrors. Iklan berdurasi 30 detik ini, menjadi media untuk Hillary menyelipkan pesan bahwa dirinya adalah kandidat yang peduli terhadap kaum hawa. Berbanding terbalik dengan lawan politiknya Donald Trump yang dicap misoginis. Iklan ini seolah memaparkan bukti kebencian Donald Trump terhadap perempuan. Adegan iklan Mirrors ini, diawali ketika Hillary memeluk seorang remaja perempuan. Berikutnya, ada sejumlah perempuan yang berdiri di depan cermin. Sementara sesekali terdapat cuplikan tayangan Donald Trump melontarkan kata-kata kasar kepada kaum perempuan dari sejumlah video wawancara. Donald Trump: “Saya melihat tepat di wajahnya (Komedian AS, Rosie O’Donnel) yang jelek dan gemuk.” Wajah dan suara Donald Trump muncul di detik ke sembilan iklan yang bisa disaksikan di youtube.com ini. “Dia jorok,” ucap Donald Trump pada durasi ke-14. “Dia makan seerti seekor b***. Apakah dia memiliki badan bagus? Tidak! Apakah dia memiliki bokong yang gemuk? Tentu saja!” Kemudian di penutup iklan pada detik 29, ada sebuah teks besar; “Apakah dia presiden yang kita mau untuk putri kita?” Setelah ditayangkan iklan ini tentu memantik reaksi dari Donald Trump. Pada kampanye di Roanoke (24/9), Trump melakukan serangan balik kepada Hillary. “Lawan saya mengklaim telah berjuang untuk perempuan berpuluh-puluh tahun. Lalu, kenapa ada 70 juta perempuan dan anak yang hidup miskin?” Iklan ini menjadi contoh upaya Hillary untuk mencapai sasaran objektifnya. Iklan Hillary menjawab lima pertanyaan dasar yang diajukan oleh Beaudry dan Schaerier (1986). Pertama, apa pesan tunggal yang paling penting untuk disampaikan kepada para pemilih. Kedua, siapa para pemilih yang dapat dipersuasi untuk memilih Anda. Ketiga, metode apa yang paling efektif digunakan agar pesan anda sampai kepada pendukung potensial. Keempat, kapan saat terbaik untuk menyampaikan pesan anda kepada pemirsa yang dibidik. Kelima, sumber daya apa yang tersedia untuk menyampaikan pesan kepada pemirsa yang diinginkan (Nursal; 2004-230). Iklan Mirrors sangat jelas membidik segmen perempuan dan anak-anak yang dianggap Hillary sebagai pendukung potensial. Iklan ini mengeksploitasi statemen Donald Trump yang melecehkan perempuan. Tentu saja, ini masuk dalam kategori negative campaign, karena serangannya yang agresif terhadap lawan politik. Iklan ini juga menjadi salah satu aplikasi dari komunikasi politik Jamieson (2001) yang memberi penekanan pada pentingnya iklan politik yang menyerang kebijakan, membandingkan kebijakan/program dan rekam jejak. Konten ini diyakini dapat memberikan learning effect yakni, pembelajaran kepada masyarakat. Lalu, iklan apa yang masuk kategori black campaign? Kampanye hitam biasanya hanya tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah. Sementara kampanye negatif adalah pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai. Dari definisi ini saja, sudah jelas batas antara yang negatif dan hitam. Tapi, peraturan di Indonesia belum mengakomodir ini. Atau mungkin interpretasinya yang tidak mengakomodir. Termasuk pada UU 10 tahun 2016 dan PKPU 7 Tahun 2015. Interpretasi dari aturan ini, menjurus pada kecenderungan bahwa; metode atau isi kampanye hanya boleh menyangkut diri sendiri, jangan menyinggung apalagi menyerang pihak lain, melakukan kritik terhadap tokoh lain atau isi kampanyenya. Bahkan pada poin e pasal 19 disebutkan; isi kampanye dilarang provokatif. Saling kritik, dianggap tabu. Padahal, iklan negatif ini mestinya bisa dipraktikan di kehidupan demokrasi dewasa ini. Sebab, pada akhirnya masyarakat yang akan memetik keuntungan. Mereka akan lebih jernih melihat kandidat yang akan dipilih. Seperti yang diungkapkan Finkel and Geer (1998; 573-595) dalam American Journal of Political Science yang dikutip dari Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14 Nomor 3, Effendi Gazali halaman 284-285. Dalam jurnal itu, Finkel and Geer mengemukakan tujuh manfaat dari metode kampanye atau iklan menyerang , yakni; Terdapat learning effect atau proses pembelajaran bagi masyarakat, mengomunikasikan lebih banyak informasi tentang kebijakan yang akan dilakukan kandidat, lebih mengejutkan karena tidak normatif, menawarkan perbedaan antara satu kandidat dengan lainnya, menimbulkan respons afektif yang lebih besar, mendorong entusiasme untuk datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan meningkatkan kapasitas untuk di-recall (dikeluarkan) kembali dari memori. Dengan memahami perbedaan ini, semoga apa yang diungkapkan Jamieson (2001) tidak kita alami. “Everything You Think You Know About Politic... And Why You’re Wrong.” (*) *Penulis adalah wartawan, memiliki ketertarikan mempelajari iklan politik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: