Pita Hitam di Hari Toleransi Sedunia

Pita Hitam di Hari Toleransi Sedunia

Oleh: Nissa Rengganis KITA tengah berkabung, berduka untuk kemanusiaan di negeri ini. 16 November lalu kita peringati sebagai Hari Toleransi Sedunia. Alih-alih merayakan keberagaman, justru kita tengah digiring pada konflik yang beragam, mulai dari isu agama, politik, hingga budaya. Sesama muslim saling tuding menuding, aksi teror meneror pada kelompok minoritas, hingga hilangnya kepercayaan kita pada apa yang disebut negara. Kita barangkali lupa gagasan tepo seliro; sebuah bagian dari kearifan lokal nenek moyang perpaduan antara toleransi dan tenggang rasa. Ke mana, di mana gagasan dan sikap itu bersemayam? Kita kembali pada ingatan yang dipenuhsesaki catatan panjang konflik dan perang di seantero negeri akibat hilangnya toleransi. Semisal pada sejarah Perang Rwanda. Bermula dari arogansi antarkelompok etnis Hutu dan Tutsi di Kigali, Afrika, sedikitnya menewaskan 800 ribu penduduk Rwanda. Juga konflik berdarah di Poso antara kelompok muslim dan non muslim yang begitu mencekam. Lalu untuk apa kita peringati Hari Tolernasi? Untuk mengingatkan bahwa sikap intoleransi kerap mengantarkan kita pada kekerasan dan konflik. Adegan tragedy-dramatik itu bukan lagi hadir di layar televisi, tapi sudah menjadi keseharian yang hidup berdesakan di antara kita. Mungkin kita adalah salah satu pelakunya. Bila sebelumnya menghadapi ketidakadilan dan kekerasan yang mewujud dari lembaga negara, kini kita sendiri yang menciptakannya. Pada peristiwa ini setidaknya kita dihadapkan pada kebutuhan untuk memahami kembali keyakinan universal Gandhi, bahwa “kita semua adalah anak-anak Tuhan”. Kita harus bertanya kepada siapa negara Indonesia kini diabdikan? Untuk siapa para polisi dan tentara mengarahkan senjatanya ke arah warga sipil? Untuk apa sidang-sidang dengan para ahli hukum berbaju panjang digelar? Lalu untuk apa kita berlama-lama duduk di bangku kuliah dengan segala teori adilihung dan mendengar seminar-seminar perdamaian? Ya, kelompok A benar dan menyalahkan kelompok B dan menuding Kelompok C dan lapor-melapor dan seterusnya. Lalu kita sibuk berkomentar. Kenapa segala yang berbau reformasi sekadar dimaknai dengan kebebasan berpendapat? Benar, relasi antara tumbuhnya konflik-konflik yang berlatar belakang komunal, seperti agama atau etnis belakangan makin menguat. Terutama dengan tumbuhnya demokrasi pasca Orde Baru. Iklim politik reformasi yang membuka ruang keterbukaan menjadi babak baru munculnya gejala-gejala menguatnya politik komunalisme. Itu tercermin dari tumbuh suburnya kekuatan paramiliter sipil pada masa reformasi ini. Karena demokrasi dengan semangat kebebasannya memberi ruang eksisitensi bagi setiap golongan atau kelompok, bahkan individu. Dari sinilah sikap saling benar saling hantam. Toleransi? No way! Politik komunalisme adalah aktivitas rekayasa sosial melalui tindakan, sikap, tuntutan yang menginginkan kelompok lain yang minoritas tunduk; menurut apa yang dikehendaki kelompok yang melakukan rekayasa sosial. Politik ini memiliki tujuan meniadakan perbedaan pendapat dan perilaku agar sesuai dengan identitas dan karakter spesial yang dimiliki kelompok mayoritas secara politis. Mereka tidak lagi melabelisasi dirinya sebagai kelompok pembela ideologi negara. Namun, tampil dalam baju yang berbeda, dengan label agama atau citra etnik tertentu. Mereka memilih label agama dan etnik, karena memiliki legitimasi mayoritas. Ada beberapa kekuatan komunalisme yang saat ini eksis dalam kancah perpolitikan nasional. Baik yang menguasai kursi parlemen maupun yang bergerak di ekstra-parlemen. Ini memeperparah keadaan. Sebab, munculnya arogansi komunal justru berujung pada konflik horisontal, yang merupakan ekses dari semangat kebebasan demokrasi; menjadi penghambat demokrasi. Karena entitas-entitas komunal saling memaksakan eksistensinya. Sementara, ikatan primodial cenderung mengarah pada sikap eksklusif dan pandangan agresif terhadap mereka yang berasal dari komunitas luar. Seperti inikah alam demokrasi yang kita cita-citakan? Semangat demokrasi yang mulanya untuk mengakomodasi suara rakyat justru menjadi perpecahan antarkelompok. Antarkelompok yang saling berebutan melakukan kekerasan dan intimidasi psikologis kepada kelompok individu/organisasi lain yang berbeda pendapat/keyakinan. Lantas menjadi suatu hal lumrah, ketika kekerasan dilakukan dengan menggerebek tempat-tempat yang dikatakan maksiat, atau menyerang kelompok yang berbeda pandangan, saling mengkafir-kafirkan dan seterusnya dan seterusnya. Menyedihkan. Dari sinilah kemudian ajaran Gandhi perlu dihidupkan kembali. Ghandi pernah menunjukkan kita bagaimana upaya membebaskan masyarakat India dari kemiskinan struktural dan penindasan. Gandi membakar lembar catatan sipil di muka umum, membuang setelan Eropa lalu menggantinya dengan baju tradisional India. Hingga perlawanan simbolik terbesar yang dibangun Gandhi adalah berjalan sejauh 240 mil ke arah pantai untuk menambang garam. Aksinya ini diikuti masyarakat India. Beramai-ramai mereka berjalan kaki dengan jumlah ribuan sampai menutupi pesisir pantai. Apa yang hendak dilawan Gandhi dengan menambang garam? Yang dia lawan adalah monopoli pemerintah atas produksi dan penjualan garam. Dia juga begitu nyaring menyerukan agar setiap orang yang lahir dari bumi India, baik itu Hindu, Muslim, Sikh, Yahudi, Kristen atau Persian untuk bersatu melawan ketidakadilan yang mereka terima. Kisah lainnya yang menarik ketika berhadapan dengan kekerasan-kekuasaan, Gandhi tidak melawan secara fisik. Dipilihnya sikap pasif sebagai penyangkalan terhadap kekuasaan. Penganiayaan dan kurungan badan dia terima. Namun, bukan karena takut, melainkan sebagai pembuktian bahwa kekerasan yang dilakukan lembaga negara tak lebih dari kekejaman, bukan keadilan. “You have to make injustice visible,” kata Gandhi. Apa yang harus kita maknai Hari Toleransi? Mungkinkah perayaan Hari Toleransi bisa menjadi ruang kondusif untuk melakukan kampanye perdamaian seperti rekonsiliasi, mediasi, aksi tanpa kekerasan, serta komitmen bersama untuk mendirikan zona perdamaian internasional? Dan, menempatkan paling tinggi rasa tenggang rasa di setiap keseharian kita. Semoga. (*) *Penulis tinggal di Kota Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: