Benteng Terakhir Teater Kampus di Cirebon

Benteng Terakhir Teater Kampus di Cirebon

Oleh: Edeng Syamsul Ma’arif ADALAH Koernady Chalzoum, seorang mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon (sebelum berganti nama menjadi STAIN Cirebon kemudian IAIN Syekh Nurjati), gelisah menyikapi wacana politik kampus yang dinilainya gersang dan tidak mengakomodasi kreativitas seni. Koernady tidak sendirian. Ia juga mendapat dukungan dari para pendahulunya, pegiat Teater Awal IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan kawan seperjuangan (Jejen dan Cecep HBS). Ia menancapkan proses kreatif sejak 9 November 1992 bersama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Awal Cirebon. Koernady bercita-cita, Teater Awal dapat menjadi katalisator bagi mahasiswa yang tidak memilih ranah politik kampus sebagai mainstream. Ia meretas jalan bagi tumbuhnya kreativitas seni dan pergaulan sesama anggota secara lebih humanis. Meski ia tidak anti politik kampus, sekat-sekat pergaulan bernuansa politis ditolak dan dijauhinya. Koernady dan kawan-kawan memilih kesenian sebagai jalan untuk menemukan konstruksi kemanusiaan lewat karya-karya yang disodorkan ke hadapan publik secara berkala. Sejak itulah, Teater Awal Cirebon membangun dunianya. Pasang surut dan gejolak yang melambari proses di dalamnya telah menempa para pengurus dan anggota menjadi kelompok yang tidak mudah dipatahkan. Sederet prestasi dan karya pertunjukan teater telah membuktikan kebertahanan itu. Sampai-sampai, bila ada pegiat teater dari luar kota yang bertanya tentang kelompok teater kampus yang hidup di Cirebon, nama inilah yang disodorkan sebagai rujukan. Hingga kini, sudah 62 produksi teater digarap oleh Teater Awal. Kenapa nama Teater Awal yang saat itu sudah menjadi identitas kelompok teater IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, dipilih oleh Koernady dan kawan-kawan untuk menamai kelompokya di Cirebon dan bertahan hingga hari ini? Sederhana saja, selain memiliki keterikatan secara emosional dan posisional, para pegiat teater IAIN Sunan Gunung Djati Bandung turut membidani dan melakukan pendampingan secara intens, terutama di masa-masa awal kelahiran kelompok ini. Dan, meski publik terus bertanya-tanya, identitas ini tidak hendak diubah menjadi nama lain. Pada situasi kemudian, geliat proses Teater Awal Cirebon telah mengilhami kelahiran kelompok-kelompok teater di kampus lain. Sebut saja, misalnya, Teater Dugal (Unswagati), Teater Parlemen (Untag 1945), Teater Roempoet (UMC), Teater Rantai Biru (FKIP Unswagati). Teater-teater di SMA pun bertumbuhan dan melakukan pergaulan dengan teater-teater kampus secara mutual. Di antaranya dengan menghadirkan para pegiat teater kampus sebagai pemateri pada workshop atau pelatihan teater di sekolah-sekolah. Namun, yang perlu dicatat, pergaulan mutual secara nyata antara teater kampus dengan teater-teater SMA, hanya dilakukan oleh Teater Awal. Sejak 2009 Teater Awal Cirebon menyelenggarakan Festival Teater Pelajar Sewilayah III Cirebon. Dari event itulah lahir aktor, aktris, penata musik, penata artistik, sutradara, dan kelompok-kelompok teater SMA potensial di wilayah Cirebon. Bukan tanpa sebab, Teater Awal Cirebon menerapkan metode dan mekanisme festival dengan merujuk kepada cara-cara standar yang lazim digunakan untuk menilai pertunjukan teater skala nasional. Secara otomatis, jebolan festival ini pun terkatrol kualitasnya. Kelompok Teater SMA yang telah mencatatkan diri dalam standar festival itu di antaranya Teater Kipas (SMAN 4 Kota Cirebon), Teater Esteem One (SMKN 1 Kota Cirebon), Teater Angsa (SMAN 9 Kota Cirebon), Teater Free (MA Islamic Centre Kabupaten Cirebon), Teater B12 (SMK Rise Kabupaten Cirebon), dan Lawan Teater (SMK Muhammadiyah Kedawung Kabupaten Cirebon). TEATER MENJADI MANUSIA Sekilas sejarah dan perjalanan Teater Awal Cirebon, menunjukkan kepada kita (pembaca dan penyaksi) bahwa kerja budaya membutuhkan kecintaan dan kesetiaan yang tak terpermanai. Terlebih, lingkungan kampus bukanlah ruang yang cukup ideal untuk menumbuhkan kecintaan dan kesetiaan itu. Dengan segala aturan dan batasan, pada satu sisi, kampus memosisikan diri sebagai gulang-gulang bagi keberlangsungan ekspresi dan kreativitas mahasiswa. Jatah masa perkuliahan, diakui atau tidak, menjadi problem mendasar bagi setiap anggota Teater Awal. Sehingga, tidak perlu heran, harapan tentang keutuhan dan kebertahanan orang-orang yang bergiat di dalamnya harus berhadapan dengan kebutuhan dan kepentingan individual yang menyebalkan. Betapa tidak, teater bukanlah sejenis organisasi yang berisi aktivitas-aktivitas formalistik yang diandaikan selesai sesuai jatah masa kuliah. Ia adalah proses hidup itu sendiri. Proses menjadi manusia yang terus mencari dan menemukan kemanusiaannya. Karena bagaimanapun, dunia seni adalah pergaulan unik. Ia menyempal dari konstruksi pikir dan sosial yang terlanjur diyakini dan dijalankan masyarakat kebanyakan. Teater dapat menjadi pilihan hidup alternatif karena ia menawarkan bukan hanya kebanggaan (dignity), rasa percaya diri, aktualisasi kepribadian, pengetahuan hidup yang dalam, kepekaan hati. Ini akan menjawab sebagian anggapan minor masyarakat, yang secara negatif melihat teater hanya kumpulan anak muda gondrong, kotor-lecek, perokok, tukang begadang, bahkan mungkin pemabuk. Lebih dari itu, teater kadang menjadi jembatan seseorang—yang mungkin tak berbakat dalam seni ini—untuk berkembang menjadi profesional di bidang lainnya: politik, bisnis, pengacara, wartawan dan sebagainya. Begitu pula dengan manajemen organisasi teater. Ia memiliki perbedaan cara dan praktik yang spesifik dibanding manajemen organisasi pada umumnya. Radhar Panca Dahana (Teater dalam Tiga Dunia, 2012), lima hal jadi perhitungan utama. Pertama, kampus adalah wilayah intelektual di mana semua produk budaya mendapat penjelasan yang clear dan membumi. Kedua, kampus adalah sebuah jaringan kerja dan fasilitas yang luar biasa, yang membuatnya selalu menjadi kekuatan sosial yang diperhitungkan. Ketiga, kampus adalah semangat di mana kerja kemasyarakatan menjadi hal utama, sebagaimana tridharma perguruan tinggi. Dan keempat, kampus adalah area di mana energi dan dinamika tertinggi satu bangsa berada, karena hanya jiwa dan anak muda di dalamnya. Dan terakhir, bagaimana pun kampus adalah kekuatan politik yang memiliki daya tawar tinggi, ke atas, samping, maupun ke bawah. Dengan lima hal itulah, sesungguhnya teater kampus dapat menjadi ”penyambung lidah” antara seni (teater) dan publiknya. Menjelaskan abstraksi simbol teaterikal dan menyerap aspirasi dari masyarakat sekitarnya. Ia menjadi jembatan—yang seharusnya kokoh—bagi keterpencilan teater dari publik, dan sebaliknya. Lewat lima potensi yang dimilikinya, teater kampus sungguh tak memiliki alasan untuk minder, rendah diri, atau merasa anak tiri. Sebaliknya, ia dapat tegak percaya diri, hebat berkontribusi, dan cerdas memainkan posisi dalam peta teater nasional kita. Sebuah posisi yang tak tergantikan. Satu posisi yang bahkan dapat menentukan. Tinggal para penggiatnya, pelaku kreatifnya. Jika kampus menjadi fitrah yang terus disesali, jembatan itu tak akan pernah kukuh. Goyang selalu. Ataukah memang kita merasa nikmat menyeberang di jembatan gantung yang selalu bergoyang? BENTENG TERAKHIR Pertanyaannya kemudian, sudah sampai di mana proses, gagasan, praktik, pergaulan, dialektika, Teater Awal Cirebon hari ini? Adakah biografi dan historiografi yang disusun dan digerakkan secara komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan dan kecintaannya terhadap teater? Misalnya, secara subjektif, hingga usianya yang ke-24 tahun, saya baru bisa membaca sebentuk estetika serta pola penggarapan pertunjukan teater yang cukup jelas dan kuat, dalam sosok Koernady Chalzoum. Tanpa bermaksud melakukan mimesis, ia menjadikan proses lelakon, metode berlatih, pola, cara penggarapan, yang pernah dilangsungkan oleh almarhum Arifin C Noer sebagai sumber inspirasi penting. Sebagaimana publik teater Indonesia pahami, Arifin C Noer meletakkan spirit teater tradisional (tema naskah maupun pemanggungan) dalam hampir setiap karya-karyanya. Koernady pun berpegang kukuh kepada prinsip itu. Naskah-naskah yang ditulis Koernady Chalzoum, jelas terbaca keberpihakannya kepada kehidupan manusia kelas bawah. Begitu pula kerasnya Koernady ketika melatih yang tak kenal kompromi. Tapi, saya tidak melihat sambungan mata rantai kukuhnya pendirian itu pada generasi-generasi sesudahnya. Terkesan inferior dan eksklusif. Sementara, melihat kebertahanannya sampai usia ke-24, tidak syak lagi Teater Awal Cirebon menjadi kekuatan terakhir bagi kehidupan teater kampus di Cirebon, di saat teater-teater di kampus lain timbul tenggelam. Tentu saja, ini menjadi pertanyaan besar bagi publik teater yang pernah mengikuti perjalanannya secara intens. Seperti ada yang terputus dan diabaikan. Andai saja, keterputusan itu tergambar jelas sebagai konstruksi alternatif yang diniati untuk melampaui pikiran dan tindakan yang pernah dijejakkan oleh Koernady, publik teater di Cirebon akan sangat berbahagia. (*) *) Penulis adalah aktor teater. Tulisan ini didedikasikan sebagai Kado Ultah Ke-24 Teater Awal IAIN Syekh Nurjati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: