Tidak Turun ke Jalan

Tidak Turun ke Jalan

Oleh: Mochamad Rona Anggie SIMPAN amarahmu dalam lemari. Kunci rapat. Bukan memasung naluri amarah dalam diri. Tapi kendalikan. Aja serampangan. Boleh marah, namun lihat aturan syariat. Engkau berhak benci, tapi tetap ikuti petunjuk nabi. Jangan sekadar semangat semu. Membela agama tanpa bekal ilmu. Alqur’an dilecehkan, tentu kita tidak terima. Ulama direndahkan, kaum muslimin wajib membela. Namun, apakah unjuk rasa sampai menutup jalan, bagian dari Islam? Bukan. Sejatinya itu harapan musuh-musuh Islam. Mereka senang bila muslimin demonstrasi. Terkonsentrasi di satu titik. Mudah dipantik. Disiram bensin provokasi. Agar api kerusuhan berkobar. Dan sampul rahmatan lil alamin-pun terbakar. Kerumunan ribuan massa. Sulit mendeteksi siapa sahabat, mana sejawat. Tujuan mulia seketika lenyap, saat lawan menyelinap. Lho, semua kan berjubah putih, berkoko, bersurban… Tentu semua kawan. Satu barisan menjunjung Alqur’an. Begitukah fakta di lapangan? Belum tentu. Label “aksi damai” menjadi kabur saat massa melebur. Batasan kata “damai” itu semakin tipis. Pengamanan boleh berlapis. Tapi siapa bisa menepis, jika satu kata rasis diteriakan, massa akan berubah sadis. Keadaan bakal anarkis. Ingat kejadian 1998. Mulanya mimbar bebas “aksi damai”. Namun berakhir ricuh. Keturunan ras tertentu diganyang batu. Perempuannya dipaksa lepas baju. Pasukan antihuru-hara turun. Mengumbar peluru. Negara kacau. Para pelaku kabur dalam pekik heroisme reformasi. Koq, kita mau pakai cara-cara musuh. Menyuarakan kebenaran dengan tuntunan lawan. Islam agama sempurna. Aturannya lengkap. Punya standar operasional prosedur (S-O-P). Memiliki etika amar ma’ruf nahi munkar. Tinggal kita pelajari. Gali SOP menyampaikan keresahan pada penguasa yang sah seperti apa. Wahai muslimin, kembalilah kepada Alqur’an dan sunnah nabi. Rasulullah shallallahu’alahi wasallam mengatakan dalam hadits sahih riwayat Imam Ahmad rahimahullah: “Barangsiapa ingin menasihati penguasa, maka jangan ditampakan secara terang-terangan. Tapi hendaknya, ambil tangan penguasa dan menyendiri (empat mata) dengannya. Jika penguasa menerima nasihat, itu (yang diharapkan). Jika tidak menerima, maka (yang menasihati) telah melaksanakan kewajiban.” Ingat perjalanan Islam. Khalifah ketiga, Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, gugur di tangan pengunjukrasa. Aksi demonstrasi pertama dalam sejarah muslimin. Demonstran memblokade kediaman khalifah. Bahkan sampai melarang keluar memenuhi panggilan azan Masjid Nabawi. Beliau dipaksa jadi tahanan rumah. Sungguh zalim! Demonstran menuntut Utsman lengser. Menuduhnya melakukan berbagai kesewenangan dan penyimpangan. Khalifah tetap tenang. Tidak terpancing. Padahal mudah baginya mengerahkan pasukan untuk mengendalikan situasi. Beliau memilih menggigit kuat pesan sosok panutan. Rasulullah mewasiatkan dalam hadits sahih: “Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu melepas pakaian (kekhalifahan) yang Allah pakaikan, jangan turuti.” Pengunjukrasa gelap mata. Hawa nafsu jadi panglima. Mereka bosan. Berhari-hari mengepung, tuntutan tak dipenuhi. Akhirnya menyerbu masuk. Pedang terhunus. Menyabet tangan mulia yang tengah memegang Alqur’an. Tangan yang dipercaya mencatat wahyu dari langit. Sungguh hina perbuatan para demonstran. Menghabisi lelaki saleh di usia ke-83 tahun. Mereka membunuh manusia terbaik ketiga setelah Rasulullah. Lelaki terhormat yang menikahi dua putri nabi, sehingga dijuluki Dzunnurain (pemilik dua cahaya). Utsman pula yang membeli sumur Ar Rumah milik Yahudi, kemudian mewakafkannya. Air sumur gratis bagi keperluan kaum muslimin. Beliau juga membiayai akomodasi dan transportasi pasukan Islam yang berjihad menuju Tabuk dibawah komando Rasulullah shallalahu’alahi wasallam. Demonstran bergerak setelah dikadalin (baca: diprovokasi) Ibnu Saba. Keturunan Yahudi yang merapat ke tengah muslimin. Umat Islam dipanasi. Kewibawaan khalifah jatuh. Aib penguasa dibongkar. Hingga terjadi apa yang Allah kehendaki. Massa terpengaruh, dan digiring turun ke jalan. Begitu cikal-bakal umat ini mengadopsi demonstrasi. Sebelumnya, tidak pernah ada aksi nggeruduk kantor pemerintahan atau kediaman penguasa muslim. Rame-rame menyuarakan keburukan penguasa. Menuntut ini-itu. Perlu distabilo, saat api fitnah berkobar di Madinah, para sahabat lainnya siap andai khalifah menyerukan perlawanan. Namun penuh kearifan, Utsman meminta semua kembali ke rumah masing-masing. Beliau tidak ingin perang saudara terjadi. Sungguh mengerikan! Massa berani mendemo penguasa muslim sekaliber Utsman bin Affan. Kebanyakan mereka dangkal ilmu agama. Sehingga berani mencela dan tak ragu menumpahkan darah. Bagaimana keadaan sekarang? Ibnu Saba tentu punya keturunan. Beranak-pinak. Biologis maupun ideologis. Menebar kedengkian yang sama dengan leluhur. Ingin kaum muslimin hancur. Jauh dari Alqur’an dan sunnah nabi. Agar mudah diprovokasi mengerjakan berbagai penyimpangan. Di antaranya, demonstrasi. Saat ini muslimin tak alergi demonstrasi. Bahkan orang-orang bodoh menganggapnya ajaran agama. Dibungkus kata “jihad”. Ditambahi “konstitusi”. Sekilas tampak “taat aturan”. Tapi ujungnya memprihatinkan. Siapa menjamin aksi berjalan mulus. Sementara “aksi damai” 411 sebelumnya, diwarnai bentrokan. Musuh Islam berteriak: horeeee… Mari buka kesadaran. Ketuk sanubari. Rencana blokade jalan untuk ibadah salat Jum’at, lebih banyak manfaat atau mudarat? Masyarakat tentu terganggu. Hak publik dicaplok. Komentar sinis muncul. Tertuju pada umat Islam. Demo, bikin macet aja! Demo, buat suasana mencekam! Demo, membuat situasi tidak aman! Muka kaum muslimin dicoreng arang. Musuh Islam girang.   Kita sepakat; geram dan marah, kehormatan Alqur’an jadi bahan celaan. Bagaimana cara syar’i mengemas kegeraman yang ada? Tentu bukan kembali turun ke jalan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang demonstrasi, 2 Desember mendatang. MUI berlepas diri bila aksi tetap berlangsung. Umat Islam wajib mengiyakan larangan tersebut. MUI kepanjangan tangan pemerintah. Nabi menyuruh umatnya menaati perintah penguasa pada perkara yang baik. “Barangsiapa menaati amirku (penguasa kaum muslimin), maka dia telah menaatiku. Barangsiapa mendurhakai amirku, maka dia durhaka kepadaku.” (HR. Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah) Kita harus mengapresiasi kinerja Polri. Mereka sigap bertindak. Memproses aduan khalayak. Penista agama sudah ditetapkan jadi tersangka. Mengapa masih belum puas? Apa ada agenda lain? Waspadai siasat penjahat! Berupaya menunggangi kemarahan umat Islam. Mengibarkan hasrat mendongkel penguasa. Wahai muslimin, tetaplah di rumah-rumah kalian. Pada saat fitnah (ujian) seperti ini, ingat seruan nabi: “Orang yang duduk lebih baik dari yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari yang berjalan. Orang berjalan lebih baik dari yang berlari.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim) Kita diperintah menahan diri. Memperkokoh kesabaran. Negeri ini wilayah muslimin terbesar di dunia. Apa tidak berpikir, musuh-musuh agama menjadikan Indonesia target penting kehancuran Islam. Anak negeri diadu-domba. Diajak berbuat rusuh dengan menu pembuka: demonstrasi. Ayo, rapatkan barisan. Bela agama di barisan terdepan. Kekuatan iman jadi andalan. Tapi, bukan dengan turun ke jalan. Bikin macet jalan. Dan, muslimin jadi bualan. Wallahul musta’an.   *) Mantan wartawan. Pemerhati masalah sosial dan keagamaan.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: