Kapolri Sebut Ancaman Makar Masih Ada

Kapolri Sebut Ancaman Makar Masih Ada

JAKARTA- Aksi Kita Indonesia yang digelar pada Minggu (4/12), hingga saat ini terus menuai kritikan. Bagaimana tidak, aksi tersebut dinilai tak mencerminkan kedamaian, keindahan dan kebersihan. Alhasil, banyak pihak mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas aksi 412 tersebut. Anggota DPR RI Fraksi PAN Yandri Susanto mendesak Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono memberikan sanksi tegas kepada panitia. Alasannya, menurut Yandri, kegiatan itu melanggar Pergub DKI Nomor 12 tahun 2016, Pasal 7 ayat 2. Tak hanya itu, Sekertaris FPAN di DPR ini pun meminta pihak kepolisian untuk ikut mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam aksi 412 karena sudah melanggar aturan dan merusak fasilitas umum. “Polisi dan Plt Gubernur harus mengusut bersama panitia Aksi 412. Sekali lagi peraturan harus ditegakkan. Kalau nggak, ya semua yang bernuansa politik atau partai politik boleh menggelar acara di car free day (CFD),” kata Yandri saat dikonfirmasi wartawan, Senin (5/12). Ketua Penyelenggara Car Free Day (CFD) Indonesia, Alfred Sitorus menilai penyelenggara Aksi Kita Indonesia telah membangkang  dengan secara sadar melanggar aturan tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau CFD sebagai mana diatur Pergub No 12 Tahun 2016. Alfred menjelaskan salah satu pelanggaraan yang ia soroti selain praktik politik adalah penggunaan genset untuk setidaknya 8 panggung selama aksi. Penggunaan genset menimbulkan emisi yang membuat polusi udara. Padahal pelaksanaan CFD untuk mengurangi polusi tersebut. “Sebenarnya PLN bersedia menyediakan suplai listrik. Tapi mereka tetap memakai genset yang menimbulkan emisi ke mana-mana. Kami sudah berikan solusi tersebut, namun mereka berdalih, mereka sombong karena merasa kuat. Mereka melanggar regulasi yang sudah ada,” ujar Alfred dalam keterangan tertulisnya. Alfred menjelaskan sebelumnya pada 29 November 2016 penyelenggara aksi Kita Indonesia sebagai partisipan telah melakukan pertemuan dengan penyelenggara CFD. Dalam pertemuan sudah dikemukakan regulasi yang harus diikuti sebagai partisipan. Di antaranya ketentuan jumlah massa dan pelarangan kegiatan politik di area tersebut. “Bahwa pada saat 29 November setiap partisipan lakukan rapat kerja di dinas perhubungan. Dalam rapat hadir anggota DPRD DKI dari Nasdem. Saat rapat mereka menurunkan massa, yang berjumlah 350 ribu sampai 450 ribu. Merujuk Pergub 12/2016 pasal 8, ketentuan pengisi HBKB dibatasi 3000 orang, itu dilanggar,” jelasnya. Pelanggaran lain, menurut Alfred, adalah kegiatan partai politik dan menyebarkan media promosi berupa brosur selama Aksi Indonesia Kita oleh panitia penyelenggara. “Pada pasal 7 ayat 2, tidak boleh dimanfaatkan kegiatan partai politik. Pasal 9 bersisi larangan menyebarkan media promosi yang berpotensi menyebabkan sampah beserakan,” lanjut Alfred. Alfred mendorong agar pelanggaran tersebut dikenai sanksi oleh Plt Gubernur DKI. Meskipun sanksi yang dijatuhkan hanya sanksi tertulis, namun itu penting untuk pembelajaran bagi masyarakat. “Apa istimewanya aksi tersebut hingga dilanggar semua aturannya. Ini catatan penting, kami dorong dijatuhkan sanksi meskipun sanksi hanya berupa teguran dan blacklist. Tapi harus tetap dilakukan,” pungkasnya. JUMPA DPR Setelah menangkap delapan orang aktivis karena diduga melakukan makar, Polri mengklaim bahwa ancaman makar masih membayangi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut selama masih ada potensi penggerakan massa secara besar-besaran, maka pendompleng itu juga akan berupaya untuk memanfaatkannya. Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR kemarin, Tito menjelaskan bahwa pendompleng ini masih terus berupaya, walau sudah ada yang berhasil ditangkap. “Mereka ingin membajak massa yang begitu besar,” tuturnya. Namun, apakah ada aktor yang lebih besar lagi perannya dari orang-orang yang ditangkap itu, Tito enggan menyebutkannya. “Saya tidak bisa sampaikan sekarang,” terang mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) tersebut. Yang pasti, sebenarnya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF) juga sempat mendapatkan tawaran untuk ikut membantu proses menduduki gedung DPR tersebut. Walau, yang perlu disyukuri, GNPF menolak rencana tersebut. “Sudah ditawari itu GNPF, tapi ditolak,” jelasnya. Sementara Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menjelaskan, makar itu sekarang tidak harus dengan senjata, namun bisa memanfaatkan people power. “Ya eranya itu sudah tidak pakai senjata, tapi kebebasan dalam berdemokrasi,” jelas mantan Kapolda Banten tersebut. Karena itu, upaya untuk menggunakan massa itu harus digagalkan. Caranya, dengan menangkap sebelum Aksi Damai 2 Desember. “Akhirnya, berhasil digagalkan upaya inkonstitusional itu,” jelasnya. Penjelasan Kapolri terkait makar mendapat respons dari anggota Komisi III DPR. Anggota Komisi III DPR Hasrul Azwar mengingatkan bahwa potensi makar tidak hanya terjadi di seputar Jakarta saja. Menurut dia, Polri juga harus bisa membuktikan bahwa proses penangkapan sejumlah tokoh itu memang terindikasi makar yang berdampak luas. “Sejauh mana potensi makar itu sampai ke daerah-daerah,\" ujar Hasrul. Membacakan kesimpulan raker, Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menyatakan, Komisi III mendesak Kapolri untuk sungguh-sungguh menjaga netralitas dan profesionalisme dalam penegakan hukum. Polri harus sebisa mungkin terjadinya kriminalisasi terhadap warga. “Terhadap perkara yang memang tak cukup bukti, supaya Polri bisa menghentikan kasus itu,” kata Benny. Terhadap aksi massa, Komisi III meminta Kapolri mengedepankan preventif dan preemptif untuk mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat. Hal ini demi menjaga ketertiban dan keamanan nasional. \"Polri harus menghindari penanganan represif aksi unjuk rasa yang sesuai aturan hukum,\" tandasnya. (dil/idr/bay/dod)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: