Tret-tet-tet Kelas IV SD

Tret-tet-tet Kelas IV SD

Kalau Anda jadi orang tua, berani tidak mengirimkan anak kelas IV SD sendirian naik bus ke luar kota yang jauh untuk nonton sepak bola?

*** Pertanyaan di atas absurd? Mungkin iya. Tapi, saya mengalaminya waktu kelas IV SD dulu, sekitar tahun 1988. Waktu itu, Surabaya sedang demam sepak bola. Saya termasuk. Di kompleks saya dulu, pertandingan sepak bola terus digelar antar-RT, di lapangan di sebelah masjid. Saya dan teman-teman, waktu SD itu, termasuk yang kreatif. Kami punya tim yang terbentuk dari ”anak-anak satu kompleks, dari berbagai RT”. Kaus putih kami ”customize” dengan nama dan nomor di belakang, menggunakan cat semprot. Gawang kami buat dan potong dari bahan kayu yang diambil teman dari ”tumpukan” di lotengnya. Kayu tersebut ternyata kayu jati dan teman kami disemprot habis-habisan oleh ortunya karena itu sebenarnya ranjang yang masih akan dipakai. Tukang becak setempat kami hire sebagai official vehicle, mengangkut gawang itu ke lokasi kami akan bertanding. Itu kalau pertandingannya away dan di lapangan lawan tidak ada gawang. Sebelum punya gawang itu, biasanya gawang disiasati menggunakan dua sepeda. Tapi, terlalu banyak gol kontroversial berkaitan dengan tingginya bola di atas jangkauan kiper. Solusinya: bikin gawang portabel. Pembagian tugas pun ada. Salah satu bertugas khusus menyiapkan berbagai logistik. Misalnya minuman. Waktu itu, saya ingat betul betapa hebohnya sepak bola di Surabaya. Semua ribut beli kaus yang sama, dengan paket topi dan syalnya. Tidak ada yang pakai barang non-official alias tidak asli alias palsu. Semua heboh ingin menonton ke stadion. Saya termasuk beruntung, orang tua saya pengurus tim. Jadi bisa nonton semua pertandingan di Surabaya. Pulang sekolah, naik bemo sendirian ke stadion, masuk masih pakai seragam, lalu nonton di kawasan bench pemain atau kadang-kadang duduk di pinggir gawang. Atau kalau terburu-buru dan bemo kelamaan, saya naik angguna. Saya ingat betul, guru-guru saya di SD, tetangga-tetangga, terus heboh minta dicarikan tiket. Tidak harus gratis. Bayar pun mereka bersedia asal dapat tiket. Laki-laki, perempuan, keluarga, segala usia. Semua heboh sepak bola. Lalu, ada heboh tret-tet-tet, istilah resmi pergi bareng untuk mendukung tim bertanding di luar kota. Keren sekali waktu itu. Ada yang carter pesawat. Booking puluhan bus. Dan lain-lain. Semua rapi. Semua tertib. Sulit dipercaya, saya pernah jadi bagian dari tret-tet-tet itu. Masih kelas IV SD, saya dititipkan ke salah satu bus suporter yang akan berangkat ke Jakarta. Sendirian. Karena tidak resmi ikut membeli tiket bus, sifatnya dititipkan, saya tidak dapat jatah kursi. Saya disuruh duduk atau berbaring di ”ruang kosong memanjang” di belakang baris paling belakang. Makan ya ikut jatah makan suporter. Paling ingat dan paling suka saat ada suporter yang membawa mi kering, lalu dibagi-bagikan kepada yang lain untuk dimakan tanpa dimasak. Lalu ikut nonton di Senayan, lalu pulang dengan bus juga di ”tempat berbaring” yang sama. Kelas IV SD. Sendirian. Sebenarnya ada panitia yang dititipi untuk menjaga saya. Tapi, karena dia sangat sibuk dengan berbagai urusan, ya saya cuek-cuek saja. Rasanya saya juga tidak kelaparan. Rasanya saya juga tidak bosan. Dan senangnya luar biasa bisa nonton sepak bola ke Jakarta. Kalau dipikir-pikir, rasanya waktu itu bawa uang juga tidak! Waktu pulang, saya diminta redaksi Jawa Pos (Slamet Oerip Prihadi, yang bagi saya seperti keluarga dan saya panggil dengan sebutan Om Mamet) untuk menulis pengalaman itu. Jadilah artikel pertama saya dimuat. Kode penulis waktu itu ”uli”, belum berubah menjadi ”aza”. Waktu kecil, sampai sekarang sebenarnya, panggilannya memang ”Ulik”. *** Anak laki-laki saya sekarang kelas III SD. Tahun ini juga (seharusnya) naik ke kelas IV SD. Merinding juga berpikir, berani nggak ya melepas dia naik bus sendirian untuk nonton sepak bola ke luar kota, tanpa uang saku? Jangankan ke luar kota. Berani nggak ya membiarkan dia naik bemo (atau taksi atau Uber) sendirian ke stadion untuk nonton sepak bola? Orang tua saya memang gila. Saya mungkin juga termasuk gila. Tapi, apakah saya bisa segila orang tua saya? Ataukah mungkin dulu dunia belum segila sekarang sehingga orang tua gila masih aman-aman saja? Kalau memang dunia ini sudah gila, bisakah kita mengubahnya menjadi seperti dulu lagi? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: