Sejarah Warga Tionghoa di Cirebon (3); Sudah Ada sebelum Ceng Ho
BERDASARKAN catatan yang ada di Wihara Dharma Sukha Plered, Kabupaten Cirebon, komunitas Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Laksamana Ceng Ho. Hal itu ditandai dengan adanya Wihara Dharma Sukha Plered. Hal itu merujuk keterangan Ketua Wihara Dharma Sukha Plered, Kusnadi Halim. Menurutnya, sesuai catatan yang dimilikinya, Kelenteng Plered dibangun pada abad ke-14. Berdasarkan catatan sejarah, Kelenteng Plered atau Hok Keng Tong dibangun tahun 1940 penanggalan Tiongkok. Karena itu, Kelenteng Plered, merupakan kelenteng tertua di pesisir Pulau Jawa. Artinya, sebelum adanya Laksamana Ceng Ho, sudah terlebih dulu ada pemukiman Tionghoa di Cirebon. Kemudian atas dasar perintah kolonial Belanda kelenteng ini dipindah ke dekat jalan pasar lama yang sekarang terkenal dengan pasar kue. Konon pada saat itu, warga Tionghoa dituduh membantu perjuanagan Pangeran Diponegoro. Maka dipindahkan untuk memudahkan Belanda dalam mengawasi aktivitas kaum Tionghoa di wihara tersebut. Dalam perpindahan tersebut, bentuk bangunan balok dan sususnannya dipertahankan. Diperkirakan bangunan tersebut sudah berumur 600 tahun. Halim menyebutkan, setiap wihara memiliki dewa tuan rumah, yang biasa dipakai sebagai nama wihara. Dewa Hok Tek Tjeng Sin dipilih karena keberadaan wihara sangat dekat dengan pasar. Hok Tek Tjeng Sin sendiri merupakan dewa rezeki. Karena mayoritas warga Tionghoa di daerah Plered saat itu berprofesi sebagai pedagang. Sehingga tak heran bila wihara itu dilabeli dengan Dewa Hok Tek Tjeng Sin untuk memudahkan warga meminta rezeki di daerah tersebut. Selain Plered, wilayah kampung pecinan di Jamblang juga terbilang sudah berusia 600 tahun lebih. Hal itu lantaran dulu kawasan Jamblang menjadi jalur perdagangan warga Tionghoa dengan memakai perahu melalui sungai yang bermuara di Celancang. Situasi berubah, tatkala pusat pemerintahan didirikan di wilayah Lemahwungkuk. Saat itu berdiri Kasultanan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati. Para warga pendatang kemudian mulai mendirikan pemukiman di wilayah itu. Maka tak heran jika di wilayah sekitar Pasar Kanoman, Pasuketan, Lemahwungkuk, dan Panjunan masih ada bangunan-bangunan tempo dulu. Menurut sejarawan Mustaqim Asteja, saat ada Belanda, keberadaan warga yang mendekat ke wilayah keraton dibatasi. Ada kelas-kelas yang dibagi. Untuk kelas 1 yaitu bangsa Belanda dan Eropa, kelas dua bangsa Tionghoa, kelas 3 bangsa timur asing seperti India dan Arab, kelas empat adalah warga pribumi. \"Dulu saat zaman VOC berkuasa mereke memonopoli, warga Tionghoa tidak bisa bekerja sama dengan keraton. Semua serba dibatasi Belanda,\" katanya. Tapi setelah VOC runtuh, warga Tionghoa bisa masuk ke sekitar keraton yang ada di kawasan Jl Lemahwungkuk dan Winaon. (mik/jml/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: