Monumen Bu Risma

Monumen Bu Risma

Mohon izin, tulisan ini saya dedikasikan untuk Bu Risma dan Kota Surabaya yang 31 Mei ini merayakan ulang tahun. Kalau yang di kota lain tersinggung, ya mohon maaf. He he he…

***
Saya rasa hampir semua orang akan bangga dengan kotanya sendiri. Apalagi kalau itu kota tempat kelahirannya. Bagaimanapun, tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada kampung halaman sendiri.
Dan saya rasa kita harus bangga dengan orang yang bangga pada kota atau daerahnya sendiri. Walau itu bisa pertanda dua. Satu: Dia akan berjuang untuk memastikan kota atau daerahnya maju, dan lebih maju dari yang lain. Atau: Dia dibutakan oleh cinta, sehingga tidak bisa melihat kalau kotanya sendiri sebenarnya tertinggal jauh dan tak pernah maju. Dan dia tetap bangga membela yang tidak maju-maju. He he he… Masalah di negara kita ini, dan mungkin di banyak negara berkembang atau terbelakang, adalah masyarakatnya punya minim referensi terhadap apa itu kota yang maju, enak, dan nyaman untuk ditinggali. Jangankan ke luar negeri untuk melihat kota di negara maju, pergi ke kota lain di Indonesia saja belum tentu pernah. Dan itu berlaku pula bagi mereka yang sebenarnya tinggal di kota terbesar, yang seharusnya paling maju. Mohon maaf bagi yang tinggal di ibu kota, kita yang tidak tinggal di sana bisa tersinggung apabila Anda-Anda semua bilang ke luar kota itu ”pergi ke daerah”. Seolah-olah daerah itu tertinggalnya gimanaaaa gitu. Apalagi, sampai sekarang saya masih sering bertemu orang Jakarta, yang kalau pergi ke Surabaya bilangnya ”mau pergi ke Jawa”. Lha emangnya Jakarta itu ada di pulau apa? Orang yang bicara seperti itu tidak sekadar terkesan sombong, tapi sebenarnya juga minim pengetahuan geografis, bukan? Kebetulan, karena jaringan perusahaan, saya termasuk yang sudah traveling ke hampir semua kota di Indonesia. Belum semua, tapi sudah lebih banyak dari kebanyakan orang. Setiap kota punya charm-nya sendiri. Ada yang di kota itu makanannya dijamin enak-enak, tapi penataan kotanya minta ampun berantakan. Ada yang memang suasananya benar-benar damai, tapi sulit membayangkan kota itu bakal maju dengan pola masyarakat dan pemerintahannya. Dan memang kita harus bisa merasakan sendiri charm setiap kota itu apa. Karena penilaian lewat penghargaan –apalagi kalau itu penghargaan dari Indonesia sendiri– rasanya sudah sulit dipercaya. Baru-baru ini saya baru terbang ke kota yang barusan menang Adipura. Tapi, setelah keliling kota tersebut, saya justru bertanya-tanya. Adipura itu penghargaan untuk apa? Wong kota ini semrawut dan sampahnya di mana-mana… Tanpa bermaksud menyinggung warga kota lain, khusus di tulisan ini saya akan menyampaikan betapa bangga dan cintanya saya pada kota tempat tinggal saya sendiri. Kota Surabaya dengan wali kotanya yang sudah saya kagumi sejak dahulu kala. Bagi warga kota lain, kalau kurang suka, saya tidak keberatan kalau Anda tidak melanjutkan membaca. Tapi, kalau memilih terus membaca, siapa tahu tulisan ini bisa memberi perspektif yang berbeda. *** Ini beberapa alasan mengapa saya cinta Surabaya. Dan ini yang biasanya saya sampaikan ke tamu-tamu dari negara lain. Pertama, masyarakatnya. Biasanya, saya menyebut Surabaya ini dengan analogi kota besar dan kota kecil di Amerika. Tentu dengan maksud positif. Kalau ada tamu asing, biasanya saya bilang Surabaya ini ”big city with small town mentality”. Sebuah kota besar, tapi dengan masyarakat yang komunal (guyub). Masyarakat yang bisa kompak, apa pun latar belakang agama dan suku bangsanya. Mungkin karena sejarahnya memang ini kota pelabuhan dengan berbagai suku bangsa tinggal di dalamnya. Surabaya akan terus membesar, dan ke depannya mungkin ”komunal”-nya Surabaya bisa terkikis. Tapi, saya sangat berharap tidak. Kedua, dalam belasan tahun terakhir, Surabaya ini kelihatan sekali berkembangnya. Dan itu saya lihat dengan mata kepala sendiri. Waktu pulang seusai kuliah pada 2000, alangkah sedihnya saya dengan kota ini. Sampah ada di mana-mana. Kaki lima bertebaran tanpa pengelolaan yang jelas. Dan berbagai masalah perkotaan lainnya. Bertahap tapi pasti, kota ini berbenah. Sekarang, tidak banyak kota lain yang pengelolaannya seperti Surabaya. Kalaupun ada, kota itu tidaklah sebesar Surabaya, sehingga skala tantangannya agak beda. Saya biasanya bilang kepada rekan dari kota lain, sebenarnya cukup sederhana menilai kotanya itu punya manajemen atau tidak. Satu, kebersihannya seperti apa. Dua, penataan kaki limanya seperti apa. Tiga, penataan reklamenya seperti apa. Sudah itu saja. Bagi kota di Indonesia, kehebatan lain masih bisa dianggap bonus. Surabaya bersyukur punya Bambang D.H. dulu, yang ”bersih-bersih” kota. Kemudian Surabaya sangat-sangat bersyukur lagi punya Bu Risma, yang membuat kota ini menjadi seperti sekarang. Coba pikirkan kota atau daerah lain yang beruntung punya suksesi pemimpin seperti ini. Jangankan punya suksesi pemimpin baik, belum baik saja tiba-tiba sudah bisa ditinggal pemimpinnya. Sebagai alat ukur nyamannya tinggal di Surabaya, saya mau mengambil contoh seorang sahabat yang keturunan asing, punya istri dari provinsi lain, dan besar di Jakarta. Kalau kenal dia saat kuliah, rasanya tidak mungkin orang seperti dia mau tinggal di Surabaya. Dasar nasib, dia dapat kerjaan di Kota Pahlawan. Keluarganya ikut pindah, dan belasan tahun kemudian tidak mau balik tinggal di Jakarta. Walau sebenarnya ada tawaran kerja lebih baik di ibu kota. Alasan tidak mau pindah: Membesarkan anak jauh lebih nyaman dan menyenangkan di Surabaya. Lucu juga sih, melihat anak-anaknya yang bertampang bule, sekarang kalau bicara pakai logat Suroboyoan. Keren! Wkwkwkwk… *** Ya Tuhan, saya benar-benar cinta Surabaya sekarang. Ya, mulai macet, tapi langkah-langkah mengatasinya bertahap ada dan kerjanya kelihatan. Ya Tuhan, terima kasih ada Bu Risma di Surabaya. Entah seperti apa kota ini kalau tidak ada beliau. Walau untuk kesekian kali, ini membuat saya khawatir dengan Surabaya setelah ini. Surabaya yang sekarang sudah aman, luar biasa. Dan saya tahu Bu Risma akan memastikan Surabaya luar biasa sampai akhir kepemimpinannya. Tapi, kekhawatiran tentang setelah Bu Risma ini yang mulai muncul. Apakah Surabaya akan belok ke jalan yang kembali merosot? Apakah segala sistem tiba-tiba berantakan lagi? Bukan hanya Surabaya, kota-kota yang punya pemimpin hebat selama dua periode akan selalu menghadapi tantangan yang sama. Setelah itu bagaimana? Meski khawatir, saya percaya dengan masyarakat Surabaya. Mereka sudah menikmati perkembangan dan kemajuan kota yang begitu jelas. Bukan sekadar ”katanya hebat” berkat kampanye sosmed yang lebih hebat dari kerja aslinya. Masyarakat Surabaya sudah tahu pemimpin seperti apa yang mereka inginkan setelah Bu Risma. Tidak perlu memilih kucing dalam karung, apalagi kucing yang sudah kelihatan (keburukan) kulitnya. Saya percaya masyarakat Surabaya akan kembali memilih yang baik. Yang penting memastikan pilihan-pilihannya baik, dan semoga pihak-pihak yang bisa mengajukan (partai politik) tidak terjebak pada pilihan-pilihan yang tidak baik. Masyarakat Surabaya tidak akan mudah tergoda oleh gosip, kelihaian sosmed. Karena masyarakat Surabaya sudah pernah merasakan pemimpin yang benar-benar bekerja. Selamat ulang tahun, Surabaya! Semoga masa depanmu bisa lebih indah lagi. Dan sebagai masyarakat Surabaya, saya punya usul. Bagaimana kalau kita yang memberikan hadiah untuk Bu Risma, atas segala kerja kerasnya selama ini. Saya usul, ada Monumen Bu Risma. Dan jangan sampai ada uang keluar dari pemerintah untuk mewujudkannya. Melainkan uang dari masyarakat Surabaya sendiri, sebagai bentuk apresiasi untuk beliau. Saya siap ikut urunan secara pribadi. Dan saya yakin banyak teman saya mau ikutan. Dan saya yakin pula masyarakat Surabaya banyak yang mau ikutan. Pokoknya harus nol duit dari pemerintah, karena ini bentuk apresiasi dari masyarakat untuk pemimpinnya. Bagaimana, setuju? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: