Menjadi Kaya karena Tega

Menjadi Kaya karena Tega

MENDENGARKAN ceramah bisa boring. Membaca buku belum tentu ada waktu. Mungkin, belajar bisnis paling enak adalah lewat film. Tema hari ini: Sejarah McDonald’s ala film The Founder.

***
Baru-baru ini, saya mengajak manajer-manajer muda di salah satu perusahaan saya nonton film bareng di ruang meeting. Judulnya The Founder, sebuah film yang belum lama ini beredar, mengisahkan awal mula dan berkembangnya McDonald’s.
Aktor kaliber Oscar, Michael Keaton, memerankan Ray Kroc, sang ’’founder’’ alias ’’pendiri’’ perusahaan tersebut. Mengapa mengajak nonton film itu? Tujuannya tidak muluk-muluk. Bukan untuk sekadar menginspirasi, karena hanya segelintir orang di dunia ini yang akan bisa seperti Ray Kroc itu. Tujuan utama saya adalah untuk mengajak para manajer agar bisa berpikir praktis. Mencari solusi-solusi yang sederhana dan praktis dalam menghadapi masalah sehari-hari. Karena berdasar pengalaman saya pribadi memegang perusahaan selama bertahun-tahun, tidak banyak lulusan Indonesia ini yang bisa berpikir praktis. Bahkan tidak banyak pula orang Indonesia lulusan luar negeri yang bisa berpikir praktis. Yang jago dalam hal teori belum tentu bisa kerja. Yang jago bekerja belum tentu bisa berpikir lebih besar. Mohon maaf, bukan maksud saya menyinggung perasaan, tapi itu berdasar pengalaman saya pribadi. Di film itu, memang digambarkan betapa McDonald’s dimulai dengan cara berpikir praktis. Pada 1955, Ray Kroc adalah seorang salesman keliling, rajin naik mobil jualan mixer milk shake ke restoran-restoran di berbagai wilayah Amerika. Di era itu, belum ada yang namanya ’’fast food’’. Kalau pesan burger dan kentang, bisa menunggu hingga setengah jam. Dia lantas mengunjungi sebuah restoran, bernama McDonald’s, di San Bernardino, dekat Los Angeles, California. Restoran itu milik Richard (Dick) dan Maurice (Mac) McDonald’s, kakak beradik pengusaha restoran yang sangat inovatif. Tidak harus menunggu 30 menit. Burger, kentang, dan minum bisa disajikan dalam 30 detik. Dengan rasa dan standar yang konsisten. Dick adalah seorang ’’genius’’. Dialah konseptor cepat saji itu (dia menyebutnya Speedee System). Caranya? Dengan berpikir praktis! Dia tidak menyewa konsultan mahal. Tidak melakukan banyak rapat dan diskusi. Dia sama sekali tidak berpikir terbang ke langit. Yang dia lakukan, mengajak karyawannya ke sebuah lapangan tenis. Dia lalu menggambar layout dapur restoran baru menggunakan kapur, lalu meminta karyawannya untuk ’’pura-pura’’ bekerja menggunakan layout tersebut. Ketika ada masalah, gambarnya dihapus. Lalu, ada layout dapur versi kedua, dan para karyawan kembali melakukan simulasi kerja. Meski sudah dianggap jalan, Dick minta semua menunggu lagi, dan dia menggambar lagi versi ketiga. Voila! Jadilah sistem cepat saji dengan kualitas konsisten. Total enam jam mereka habiskan untuk menggambar dan menyimulasi pola kerja. Benar-benar pola yang efisien. ’’Symphony of efficiency. Tidak ada gerakan-gerakan yang mubazir,’’ kata mereka. Dick dan Mac pun memesan peralatan dapur secara custom, menyesuaikan dengan layout yang dia rancang di atas lapangan tenis. Selamat datang era fast food! Makanan bisa tersaji dalam 30 detik! (Mengapa saya suka contoh ini? Karena saya dan teman-teman perintis liga basket SMA DBL pada 2007 dulu melakukan simulasi serupa, sebelum mengembangkan kompetisi itu ke seluruh Indonesia.) *** Kalau begitu, Ray Kroc bukan founder McDonald’s dong? Saya jadi ingat waktu SMP dulu, ada seorang guru saya yang dengan lantang bertanya kepada semua murid di kelas: ’’Ada yang tahu bagaimana caranya supaya jadi kaya?’’ Waktu itu, satu kelas diam. Sang guru lantas menulis di papan dalam bahasa Jawa: ’’Mentolo’’. Saya bukan jago bahasa Jawa, nilai bahasa Jawa saya waktu SMP itu hanya 6 (walau bahasa Indonesia dan Inggris sama-sama 9). Tapi, itu artinya kira-kira ’’Tega’’. Kurang lebih, guru saya bilang bahwa kita harus berani tega –dengan nada negatif– untuk menjadi kaya. Mungkin ucapan guru saya itu ada benarnya. Tapi, rasanya kejam ya? Mungkin, ada sejumlah orang yang mencapai kekayaan dengan cara seperti itu. Tapi, saya tahu betul, banyak juga yang mencapainya dengan cara yang lebih menenangkan hati. Kalau mengikuti cerita, Ray Kroc memang melakukan beberapa manuver untuk kemudian bisa mengklaim diri sebagai ’’founder’’ McDonald’s. Saya tidak akan menceritakan secara detail, karena Anda bisa menonton sendiri filmnya atau meriset sendiri ceritanya. Tapi, pada akhirnya ’’McDonald’s’’ adalah milik Kroc. Sedangkan Dick dan Mac tersisih, bahkan tidak boleh menggunakan nama ’’McDonald’s’’, yang notabene nama keluarga mereka sendiri. Dalam diskusi bersama tim, tentu dengan mudah kita menilai kalau Kroc itu ’’mentolo’’. Namun, saya mengajak teman-teman berpikir, mencoba melihat dari sisi yang lain. Bahwa sebenarnya Kroc melakukan langkah-langkah itu karena ’’terpaksa’’. Kalau tidak, dia tidak bisa berkembang, dan McDonald’s tidak bisa berkembang. Bisa dibilang Kroc lebih persistent, lebih ngotot, dalam mengembangkan McDonald’s daripada Dick dan Mac. Menurut saya, berdasar cerita itu, ada tiga kesalahan yang dilakukan Dick dan Mac sehingga mereka ’’kehilangan nama sendiri’’. Satu, mereka memang inovatif dan ’’genius’’, tapi mereka tidak berani mengambil risiko lebih besar. Ketika upaya pertama menerapkan sistem franchise berujung mengecewakan, mereka langsung menyerah. ’’Punya satu restoran hebat lebih baik daripada punya banyak tapi berantakan.’’ Begitu pemikiran mereka. Ray Kroc lantas muncul sebagai orang yang bertekad mengembangkan pola hebat McDonald’s ini ke seluruh Amerika. Dengan meneken kontrak pengembangan bersama Dick dan Mac. Pada perjalanannya, Kroc menyadari kalau pembagian pihaknya –dan sebenarnya pihak Dick dan Mac– tidaklah cukup untuk mengembangkan secara cepat. Plus ada banyak prinsip yang sebenarnya menghalangi pengembangan. Kroc mencoba menawarkan solusi-solusi kepada Dick dan Mac, sekaligus meminta jatah sedikit lebih besar. Dari total 1,9 persen untuk Kroc, Dick, dan Mac, menjadi angka 3–4 persen. Tapi, Dick dan Mac berkali-kali bilang ’’Tidak’’ untuk usulan-usulan itu. Alasannya, mereka ingin para pemegang franchise tidak dirugikan, dan standar-standar makanan serta pelayanan McDonald’s tidak diubah sedikit pun. Walaupun perubahan yang diajukan sebenarnya belum tentu menurunkan kualitas, dan belum tentu merugikan pemilik gerai. Itu adalah kesalahan kedua Dick dan Mac. Mereka telah mempertahankan kebijakan yang justru ’’anti-growth’’. Seandainya Dick dan Mac lebih fleksibel, Kroc mungkin tidak akan menjadi ’’orang kreatif’’. Karena bosan usulan-usulannya ditolak, Kroc pun melakukan manuver-manuver untuk terus mengembangkan McDonald’s ke berbagai negara bagian di Amerika. Ketika Dick dan Mac marah, Kroc hanya bisa bilang: ’’Kontrak itu seperti hati, dibuat untuk disakiti.’’ Dick dan Mac mengancam menuntut, dan Kroc blak-blakan mengaku bakal kalah kalau maju ke pengadilan. Tapi, Kroc mengancam balik: Apakah Dick dan Mac punya cukup uang untuk bertarung di pengadilan? Pada akhirnya, Kroc menyerahkan sebuah cek kosong kepada kedua bersaudara tersebut. Dia ingin membeli semua hak McDonald’s, dan mereka disuruh menuliskan harganya. Merasa sudah tidak mungkin bertarung, Dick dan Mac pun setuju menjual dengan harga USD 2,7 juta. Setelah dipotong pajak, masing-masing akan mendapatkan USD 1 juta. Mereka juga minta royalti, tapi Kroc hanya mau menyepakati royalti lewat jabatan tangan, tidak tertulis (hmmm…). Uang USD 2,7 juta terkesan banyak. Tapi inilah kesalahan ketiga Dick dan Mac. Karena mereka cenderung konservatif, mereka tidak menyadari seberapa besar McDonald’s sebenarnya bisa berkembang. Nilai itu benar-benar tidak ada artinya dengan potensi yang diketahui –dan akhirnya didapatkan– oleh Ray Kroc… Saya benar-benar suka cerita ini. Bagaimana seseorang yang gigih dan berani pada akhirnya bisa mengalahkan mereka yang sebenarnya pintar dan inovatif, tapi tidak punya visi besar. Bahkan, di The Founder, Kroc suka mendengarkan dan mengulangi ucapan inspiratif dari Calvin Coolidge, presiden ke-30 Amerika Serikat (1923–1929). Bunyinya, kalau diterjemahkan sederhana, kira-kira begini: ’’Di dunia ini, tidak ada yang bisa mengalahkan kegigihan. Bakat tidak bisa. Sudah terlalu banyak orang berbakat yang tidak sukses. Genius tidak bisa. Sudah terlalu biasa melihat orang genius yang tidak mendapatkan hasil dari pemikirannya. Pendidikan tidak bisa. Dunia ini penuh dengan orang berpendidikan yang tidak berguna. Tekad dan kegigihan adalah segalanya.’’ Semoga tulisan ini bermanfaat, dan kita semua semakin gigih sambil tetap berpikir praktis. Happy Wednesday! (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: