Hambalang Rugikan Negara Rp243 M

Hambalang Rugikan Negara Rp243 M

JAKARTA - Berbagai dugaan pelanggaran dalam kasus pembangunan sport center Hambalang mulai terkuak. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara gamblang menyebut siapa saja pihak-pihak yang diduga melakukan penyimpangan dalam proyek tersebut. Ketua BPK Hadi Poernomo mengatakan, audit investigatif BPK menunjukkan adanya 11 indikasi penyimpangan terhadap aturan perundang-undangan serta penyalahgunaan wewenang. \"Hal itu menyebabkan indikasi kerugian negara senilai Rp243,66 miliar,\" ujarnya di Gedung DPR, kemarin (31/10). Total indikasi kerugian tersebut terdiri dari Rp116,93 miliar yang merupakan selisih pembayaran uang muka yang telah dilaksanakan (Rp189,45 miliar) dikurangi dengan pengembalian uang muka pada saat pembayaran termin pada tahun 2010 dan 2011 sebesar Rp72,52 miliar. Lalu, indikasi kerugian lainnya sebesar Rp126,73 miliar merupakan pemahalan harga pelaksanaan konstruksi. Tanggal 31 Oktober 2012 kemarin memang menjadi tenggat waktu BPK, untuk menyerahkan laporan hasil audit investigatif tahap I terhadap pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, kepada DPR RI. Kemarin, pihak DPR diwakiliki oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Menurut Hadi, pemeriksaan selama 8 bulan yang dimulai sejak 27 Februari 2012 tersebut mencakup materi sejak awal perencanaan pembangunan, penganggaran, pencairan anggaran, hingga pelaksanaan pekerjaan konstruksi. \"Audit tahap pertama sampai itu dulu, nanti soal aliran dana akan kami lanjutkan pada audit tahap kedua,\" katanya. Apa saja 11 pelanggaran tersebut? Pertama, terkait Surat Keputusan (SK) Hak Pakai tanah Hambalang. Menurut Hadi, BPK menemukan bahwa Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) ketika itu, Joyo Winoto, menerbitkan SK Keputusan Pemberian Hak Pakai tertanggal 6 Januari 2010 bagi Kemenpora atas tanah seluas 312.448 meter persegi di Desa Hambalang. \"Padahal, persyaratan berupa Surat Pelepasan Hak dari pemegang hak sebelumnya patut diduga palsu,\" sebut Hadi. Kedua, terkait izin lokasi dan site plan, bupati Bogor sudah menandatangani site plan, meskipun Kemenpora belum/tidak melakukan studi Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) terhadap proyek Hambalang sehingga diduga melanggar UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta diduga melanggar Peraturan Bupati Bogor No 30 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengesahan Master Olan, Site Plan, dan Peta Situasi. Ketiga, terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Kepala Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor menerbitkan IMB meski Kemenpora belum melakukan Amdal proyek Hambalang, sehingga diduga melanggar Perda Kabupaten Bogor No 12 Tahun 2009 tentang Bangunan Gedung. Ke empat, terkait pendapat teknis, Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU memberikan pendapat teknis yang dimaksud dalam PMK 56/PMK.02/2010 tanpa memperoleh pendelegasian dari Menteri Pekerjaan Umum, sehingga diduga melanggar Peraturan Menteri PU No 45 Tahun 2007. Kelima, terkait revisi Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL) tahun 2010. Audit BPK menyebut, Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Dirjen Anggaran Anny Ratnawati (kini Wakil Menkeu), setelah melalui proses penelaahan secara berjenjang, menyetujui memberikan dispensasi perpanjangan waktu revisi RKA-KL 2010 didasarkan pada data dan informasi yang tidak benar. Misalnya, Sekretaris Kemenpora (Sesmenpora) Wafid Muharam mengajukan revisi RKA-KL 2010 dengan menyajikan volume keluaran yang seolah-olah naik dari semula 108.553 meter persen menjadi 121.097 meter persegi, padahal sebenarnya turun menjadi 100.398 meter persegi. Keenam, terkait permohonan kontrak tahun jamak (multiyears). Dalam hal ini, Sesmenpora menandatangani surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora Andi Mallarangeng, sehingga diduga melanggar PMK No 56/PMK.02/2010. Adapun Menpora diduga membiarkan Sesmenpora melaksanakan kewenangan Menpora dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud PP No 60 Tahun 2008. Ketujuh, terkait ijin kontrak tahun jamak. Audit BPK menyebut, Menkeu menyetujui kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan persetujuan kontrak tahun jamak, setelah melalui proses penelahaan secara berjenjang secara bersama-sama, meskipun diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010. Pelanggaran tersebut di antaranya, tidak seluruh unit bangunan yang hendak dibangun secara teknis harus dilaksanakan dalam waktu lebih dari satu tahun anggaran, permohonan persetujaun kontrak tahun jamak tidak diajukan Menteri/Pimpinan Lembaga, dan RKA-KL Kemenpora 2010 (revisi) yang menunjukkan kegiatan lebih dari satu tahun anggaran belum ditandatangani oleh Dirjen Anggaran. Ke delapan, terkait persetujuan RKA-KL 2010, Dirjen Anggaran menetapkan RKA-KL Kemenpora Tahun 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan proyek tahun jamak disetujui. Dirjen Anggaran diduga melanggar PMK 104/PMK.02/2010. Kesembilan, terkait pelelangan atau tender. Dalam hal ini ada empat poin pelanggaran. Poin pertama, Sesmepora menetapkan pemenang lelang konstruksi dengan nilai kontrak di atas Rp50 miliar tanpa memeperoleh pendelegasian dari Menpora, sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003. Poin kedua, Menpora diduga membiarkan Sesmenpora melaksanakan kewenangan Menpora tersebut dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan. Poin ke tiga, proses evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap penawaran calon rekanan tidak dilakukan oleh Panitia Pengadaan, melainkan diatur oleh rekanan yang direncanakan akan menang, sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003. Poin keempat, BPK mengungkap rekayasan pelelangan proyek Hambalang untuk memenangkan konsorsium dua BUMN Adhi Karya dan Wijaya Karya (Adhi-Wika). Misalnya, dengan mengumumkan lelang dengan informasi yang tidak benar dan tidak lengkap, kecuali kepada Adhi-Wika. Indikasi pelanggaran kesepuluh, terkait pencairan anggaran. BPK menyebut Kabag Keuangan Kemenpora menandatangani dan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) meskipun Surat Permintaan Pembayaran (SPP) belum ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sehingga diduga melanggar PMK 134/PMK.06/2005 dan Perdirjen Perbendaharaan PER-66/PB/2005. Kesebelas, terkait pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Menurut BPK, konsorsium Adhi-Wika menyubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya (konstruksi) kepada perusahaan lain, sehingga diduga melanggar Keppres No 80 Tahun 2003. Selain membeber 11 indikasi pelanggaran tersebut, Hadi juga mengungkap proses pemeriksaan terhadap Menpora Andi Mallarangeng. Menurut mantan dirjen pajak itu, Andi saat diwawancara auditor BPK sempat mengaku tak tahu jika menteri harus terlibat dan menandatangani dokumen kontrak proyek di kementeriannya yang benilai di atas Rp50 miliar. Seperti halnya keharusan memberikan persetujuan lewat tandatangan dalam proyek Hambalang. Namun, Hadi mengatakan, auditor BPK tidak menerima alasan tersebut. Karena sebagai pejabat negara, mestinya Andi mengetahui peraturan perundang-undangan yang masuk dalam berita negara. \"Misalnya, apakah kalau teman-teman mencuri, (kemudian tertangkap, lalu mengatakan, red) maaf Pak, saya belum baca KUHAP, ya kan tidak bisa (seperti itu, red),\" katanya. Karena itu, lanjut dia, BPK tetap menilai Andi telah salah karena melakukan pembiaran atas indikasi penyimpangan dan dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Sesmenpora. \"Jadi, tetap ada kesalahan bahwa dia melakukan pembiaran kepada stafnya untuk tidak ditegur,\" imbuh Hadi. Poin menarik lain yang ternyata tidak masuk dalam kesimpulan laporan audit BPK adalah keterlibatan PT Dutasari Citralaras, subkontraktor Adhi-Wika. Di perusahaan inilah istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Athiyyah Laila menjadi komisaris. Hal itu diungkap oleh Anggota BPK Ali Masykur Musa. Menurut dia, audit BPK menemukan aliran uang sebesar Rp63 miliar ke PT Dutasari Citralaras. \"Padahal, PT DC ini belum melakukan pekerjaan apa-apa, kok sudah mendapat uang Rp63 miliar. Jadi, perusahaan ini sebenarnya patut diduga tidak berhak menerima uang muka itu,\" ujarnya. Menurut Ali Masykur, dana tersebut diberikan oleh konsorsium Adhi-Wika kepada PT DC. Jadi, alur transaksinya, Adhi-Wika mendapat dana dari Kemenpora, lalu Adhi-Wika memberikan sebagian dana itu ke PT DC. \"Untuk lebih jelasnya tentang aliran-aliran uang ini akan kami masukkan di audit tahap dua,\" jelasnya. Lalu, bagaimana tanggapan Menkeu Agus Martowardojo yang namanya masuk dalam hasil audit BPK? Agus mengatakan, mengatakan pihaknya merespon positif atas keluarnya laporan audit resmi atas kasus Hambalang. Sikap kooperatif tetap ditunjukkan meski pada akhirnya laporan tersebut menyangkutkan namanya sebagai salah satu terduga kasus korupsi. \"Audit harus dilakukan secara profesional. Kalau di Kementerian Keuangan (Kemenkeu, red), bahwa ada keterkaitan dengan kasus Hambalang atau kasus yang lain, itu sudah biasa. Tapi nanti kita lihat lagi,\" ungkapnya usai membuka Kongres Perbanas kemarin, (31/10). Agus menambahkan, sejauh ini, sejatinya tidak ada masalah dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi di Kemenkeu. Apalagi, dia menyebutkan bahwa saat ini terdapat 4 ribu proyek yang harus diselesaikan. \"Sehingga kalau ada isu, misalnya Hambalang, yang kita lihat pertama adalah kementerian lembaganya,\" paparnya. Menurut dia, kementerian kelembagaanlah yang seharusnya ditelisik bagaimana jalannya proyek, hingga bagaimana prosedur pencairannya. \"Kita nanti akan lihat lagi. Yang pasti kita sambut baik. Nanti ada jajaran Kemenkeu yang memberikan penjelasan. Nanti kita akan yakinkan,\" tegasnya. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mengunakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai salah satu petunjuk untuk mengembangkan kasus dugaan korupsi Hambalang. KPK akan terus mengembangkan penyidikan dan penyelidikan terkait penyimpangan dalam pelaksanaan megaproyek tersebut.\"Tentu hasil audit ini penting bagi KPK untuk mengembangkan kasus yang tengah disidik KPK,\" kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP, kemarin. Meski sudah disampaikan ke DPR, KPK belum menerima audit dari BPK. Dalam waktu dekat KPK segera menggelar gelar perkara kasus tersebut. Johan mengatakan, gelar perkara tersebut tidak bergantung hasil audit BPK. Namun apabila terdapat informasi yang penting, KPK akan menggunakannya. \"Kalau audit bisa membuat terang, mengapa tidak,\" kata Johan. Dalam kasus Hambalang, KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar. \"Dia diduga berperan dalam pencairan anggaran Hambalang termin pertama senilai Rp200 miliar. Selain penyidikan pengadaan proyek, di kasus Hambalang, KPK juga melakukan penyelidikan terhadap aliran dana. (owi/dyn/gal/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: