Bucket List

Bucket List

SETIAP orang seharusnya punya bucket list. Memberi mereka target, tujuan, dan tantangan. Kalau tidak, alangkah boring-nya hidup ini.

***
Bucket list itu daftar penting. Daftar hal-hal yang ingin kita lakukan atau impikan. Bisa sesuatu yang setinggi langit, seperti terbang ke bulan. Bisa juga sesuatu yang sederhana, seperti menuntaskan event lari 5 kilometer.
Bisa sesuatu yang sangat dreamy, seperti memacari semua artis yang pernah masuk televisi. Bisa juga sesuatu yang sangat realistis, seperti makan daging rendang di semua restoran Padang yang ada di dalam kota. Banyak orang beruntung, dianugerahi keadaan dan kemampuan untuk mewujudkan impian-impiannya. Banyak pula orang yang bisa dibilang error karena menyia-nyiakan keadaan dan kemampuan untuk mewujudkan segala impiannya. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, keluarga. Terima kasih, banyak teman. Saya termasuk orang yang beruntung, dapat banyak kesempatan untuk mewujudkan berbagai hal yang saya inginkan. Tidak semua terwujud, atau hanya belum terwujud. Tapi, ada banyak pencapaian aneh-aneh yang telah terwujud. Berapa banyak anak penggemar balap mobil yang dapat kesempatan liputan langsung ke berbagai lomba, mewawancarai bintang-bintang idolanya, dan bahkan sempat lebih dari sepuluh tahun menjadi komentator F1 di televisi? Sampai hari ini pun, masih terus datang tawaran untuk lanjut jadi komentator, termasuk oleh stasiun televisi asing. Jadi commissioner liga basket profesional? Ternyata juga pernah. Padahal, dulu hanya suka nonton basket dan sebenarnya tidak jago main basket. Walau cita-cita sebenarnya tidak bekerja di media, dan orang tua tidak ingin saya terjun di dunia media, ternyata jalan hidupnya dibawa pula ke media. ”Dibuang” jauh-jauh saat SMA ke Amerika, eh, malah ditampung keluarga media. Dan ternyata lumayan lah. Jawa Pos, yang 1 Juli lalu berulang tahun ke-68, menurut survei Nielsen dan Roy Morgan, dinyatakan sebagai koran dengan pembaca terbanyak di Indonesia. Padahal tidak berbasis di ibu kota. Pada 2011, Jawa Pos juga pernah jadi juara dunia, koran terbaik untuk pembaca di dunia. Mengalahkan koran-koran kondang dari Amerika dan negara lain. Kalau dipikir-pikir, hidup saya ini aneh juga. Lha wong sebenarnya dari daftar itu banyak yang tidak tergolong bucket list. Alias tidak direncanakan. Yang masuk bucket list sebenarnya hanya urusan Formula 1 itu. Yang lainnya mungkin wujud dari pesan utama orang tua, ”Kalau mengerjakan sesuatu, jangan terlalu banyak dipikir. Kerjakan yang serius. Nanti hasilnya datang sendiri.” Tapi, waktu terus berjalan. Umur terus bertambah. Kolom yang Anda baca ini adalah kolom pertama yang diterbitkan setelah saya melintasi garis 40. Tanda-tanda tua, menurut saya, adalah ketika kita mulai sering menatap ke belakang. Padahal, banyak orang yang lebih tua bilang, masih banyak yang bisa diraih atau dilakukan di depan. Dan terus terang, bucket list itu mungkin lebih sering dibuat orang-orang yang usianya di atas saya. Mereka memastikan daftar itu dibuat supaya bisa dikejar untuk diwujudkan sebelum hidupnya berakhir. Mungkin saya sudah mulai ke sana. Karena sekarang saya punya bucket list beneran! Saya tidak akan menceritakan apa saja dalam daftar itu. Beberapa sedang dalam proses pengerjaan dan semoga segera bisa Anda semua saksikan atau rasakan. Tapi, untuk kepuasan pribadi, saya sudah mulai menuntaskan bucket list itu dalam beberapa tahun terakhir. Kalau dulu saat getol F1 atau basket adalah nonton di negara atau stadion mana, belakangan saya punya daftar gunung/tanjakan yang ingin dilewati dengan naik sepeda balap. Seperti kata Dalai Lama, ”Setiap tahun, pergilah ke suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya.” Daftar paling utama, yang sudah saya planning dan booking sejak setahun lalu, adalah melewati salah satu tanjakan paling legendaris di dunia: Passo dello Stelvio di perbatasan Italia dan Swiss. Puncak yang dikenal sebagai puncak ”tiga bahasa”. Sebab, di puncak itu tiga bahasa ”bertemu”: Italia, Jerman, dan Rumania. Dan saya ingin berada di puncak tanjakan di ketinggian 2.758 meter itu pada 4 Juli 2017. Di hari ulang tahun ke-40. Kolom ini ditulis pada 3 Juli 2017, di Kota Bormio, di kaki tanjakan Stelvio. Saya di sini ditemani istri, adik, ipar, dan para sahabat. Semua akan mencoba ikut merasakan siksaan terhebat dalam bersepeda. Menanjak Stelvio dari dua sisi. Naik 20 km dari Bormio, turun ke Swiss, masuk lagi ke Italia, lalu menanjak lagi 24 km dari sisi yang berbeda. Totalnya hampir 100 km, menanjak total lebih dari 3.000 meter. Sakit? Pasti. Kaki akan berteriak, jantung dan paru-paru akan merengek, serta pikiran dipenuhi godaan untuk berhenti dan menyerah. Salah seorang teman saya selalu bercanda soal obsesi menanjak ini. Katanya, ini karena saya ingin selalu naik setinggi mungkin supaya semakin dekat dengan Tuhan. Wkwkwkwkwkwk… Entahlah. Ada orang yang mencapai kepuasan batin dengan makan. Ada yang dengan bersemedi. Kebetulan, saya menemukan keindahan itu saat tersengal-sengal dan kesakitan di tengah upaya menaklukkan tanjakan. Dan kalau dipikir, itu seperti hidup. Harus tersengal-sengal dan kesakitan untuk mencapai tujuan dengan baik. Tidak ada yang mulus lancar dan aman sentosa begitu saja. Mohon maaf, saya tidak bermaksud sombong dengan tulisan ini. Saya benar-benar bersyukur diberi banyak kebaikan dan kesempatan dalam 40 tahun ini. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, orang tua. Terima kasih, keluarga. Juga terima kasih untuk semua rekan dan sahabat. Bahkan terima kasih khusus kepada orang-orang yang pernah meragukan saya, mengganggu saya, dan lain-lain. Semoga benar kata banyak orang, Life begins at 40. Semoga saya bisa terus seperti yang dikoarkan Steve Jobs: Stay hungry, stay foolish. Semoga bisa terus melakukan hal-hal yang berguna untuk banyak orang. Saya bukan orang paling hebat. Keluarga saya bukan paling sukses. Tapi, kami yakin, keluarga kami telah memberi banyak manfaat bagi orang lain. Bahkan lebih banyak daripada orang lain yang lebih hebat, daripada keluarga lain yang lebih sukses. Seperti ayah saya bilang, ”Kita ini bukan business animal.” Anyway, pada 5 Juli 2017 ini Passo dello Stelvio seharusnya sudah saya coret dari bucket list saya. Waktunya untuk move on, menuju nomor berikutnya. Lebih sulit tidak apa-apa. Lebih menatang tidak apa-apa. Seperti sebuah kutipan favorit saya yang kini tertulis di ruang ganti pemain di DBL Arena Surabaya, ”Every man suffers pain. Either the pain of hard work or the pain of regret.” (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: