Harga Garam Melonjak, Pengusaha Ikan Asin Kelimpungan

Harga Garam Melonjak, Pengusaha Ikan Asin Kelimpungan

CIREBON - Sejumlah pengusaha olahan ikan asin terpaksa berhenti beroperasi setelah harga garam makin tidak terkendali. Garam yang jika saat-saat normal paling mahal dihargai seribu hingga seribu lima ratus perkilo, kini harganya melonjak naik hingga hampir 5 kali lipat. Hal tersebut dikatakan salah satu tokoh nelayan Gebang, H Rojudin saat ditemui Radar, Minggu (30/7). Bahkan untuk menyiasati tingginya harga garam, kini tidak sedikit pelaku usaha olahan ikan asin memanfaatkan air sulingan garam untuk memproduksi ikan asin. “Sudah seminggu terakhir kita tidak produksi. Garam harganya sudah tidak masuk akal. Sudah begitu, stoknya pun kosong. Kalau mahal ada masih mending, ini sudah harganya mahal, barangnya tidak ada,” ujarnya. Dikatakannya, untuk mengolah menjadi ikan asin, pertama kali ikan harus dicuci bersih dan kemudian direbus dengan air yang dicampur garam. Pencampuran tersebut, harus menggunakan rumus dua banding satu. Dan setelah itu, ikan baru dijemur sebelum dikemas dan dijual ke pengepul. “Artinya, satu ton garam untuk dua ton ikan. Kalau kurang dari itu, hasilnya kurang bagus. Kita nyari garam sampai ke Randusanga, Brebes. Gudang-gudang di sini garamnya tidak cukup untuk kita. Pas kita cari selalu kosong, kemungkinan mereka jualnya ke industri,” imbuhnya. Bahkan menurut H Rojudin, tidak sedikit pengusaha olahan ikan asin yang akhirnya berhenti sementara, menunggu harga garam turun. Terlebih saat ini angin sedang kencang dan tangkapan nelayan pun tidak maksimal. “Baru sekarang harga garam begini. Terakhir saya beli tiga hari yang lalu sudah Rp4.700/kg, itu garamnya saya ambil sendiri ke gudang. Kalau diantar harganya nambah lagi. Sekarang kami bingung, mau stop kasihan karyawan, mau dipaksakan, babak belur. Lebih mahal garamnya dari ikannya,” tuturnya. Beberapa kali, H Rojudin mengaku untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga garam, sejumlah pelaku olahan ikan asin terpaksa memanfaatkan air sisa rebusan ikan yang sudah dicampur garam, kembali digunakan untuk perebusan selanjutnya. “Biasanya air rebusan hanya untuk sekali masak, langsung dibuang. Sekarang kita manfaatkan, kita saring kembali air rebusan, maksimal cuma sampai 2 kali rebusan. Air sulingan ini, air sisa pengolahan, ini terpaksa dilakukan untuk menekan ongkos produksi,” katanya. Sementara, Calon Bupati Cirebon, Nasihin Masha kepada Radar mengatakan, regulator kebijakan dalam hal ini pemerintah daerah harusnya sudah menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi hal ini. Sehingga solusi yang diambil tidak merugikan pengusaha dan petani. “Cirebon sebagai salah satu sentra garam terbesar saat ini kekurangan garam. Ini tentunya sebuah ironi. Dampaknya pasti ke mana-mana. Petani garam terdampak, pengusaha yang menggunakan garam juga pasti terdampak. Harus ada standarisasi harga, bahkan jika diperlukan, harus ada perusahaan daerah atau BUMD yang mengurusi garam. Ini juga untuk solusi jangka panjang menghadapi kondisi serupa di kemudian hari,” pungkasnya. (dri)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: